Luring dan Daring di Poso, Bersekolah Masa Pandemi

0
1640
Siswa SMP di Rato Ombu belajar berkelompok di masa pandemi Covid-19. Foto: Sirajudin

“Guru harus beradaptasi, itu wajib. Karena anak-anak harus tetap dapat akses pendidikan” ungkap Ezron Boka, kepala SMP Negeri Lore Selatan, kepada mosintuwu.com tentang bersekolah di masa pandemi.  

Pandemi Covid-19 mengubah cara hidup setiap orang di muka bumi, demikian juga cara bersekolah. Sejak tahun ajaran baru 2020-2021 yang dimulai bulan Juni 2020, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 15 tahun 2020  tentang mekanisme pembelajaran jarak jauh. Surat Edaran ini mengatur tentang pedoman penyelenggaraan belajar dari rumah dalam masa darurat penyebaran covid-19. Daring atau sistem dalam jaringan , serta luring atau sistem luar jaringan menjadi metode yang diperkenalkan sebagai cara belajar atau bersekolah di masa pandemi. 

Di kabupaten Poso, belum semua wilayah bisa menggunakan sistem dalam jaringan (Daring) yang mengandalkan akses internet. Desa-desa di kecamatan Lore Selatan dan Lore Barat misalnya, sebagian besar belum memiliki akses internet. Selain itu, belum semua murid memiliki gawai atau telepon genggam pintar yang bisa mengakses internet. Kepada mosintuwu.com, kepala SMP Negeri Lore Selatan, Ezron Boka, mengatakan, dari 285 orang muridnya, lebih dari 35 persen diantaranya belum memiliki gawai. Dari pendataan awal yang dilakukan pihak sekolah menemukan, ada keluarga yang memang tidak memiliki telepon genggam.  

Padahal, untuk bisa menggunakan sistem daring, setiap siswa harus memiliki telepon genggam. Guru akan mengirimkan tugas atau pesan kepada siswa melalui telepon genggam. Bukan sekedar telepon genggam, melainkan jenis telepon genggam pintar yang bisa mengakses internet. Ini dikarenakan sebagian besar tugas yang diberikan oleh guru, jawabannya dicari melalui internet. Setidaknya demikian pengamatan mosintuwu.com terhadap soal-soal yang dibagikan kepada siswa. Kalaupun seorang siswa memiliki telepon genggam pintar,  karena gawai mewajibkan akses internet untuk bisa mendapatkan informasi yang dikirimkan, maka ada kewajiban untuk bisa membeli pulsa data. 

Tidak semua orang tua bisa membeli pulsa data untuk kebutuhan akses internet bagi anak-anak mereka untuk bisa tetap bersekolah dengan sistem daring. 

“Masa pandemi ini, jualan tidak laku susah cari pelanggan, tapi kami harus beli pulsa data untuk anak-anak bisa sekolah. Darimana uangnya kalau kami tidak bisa bekerja?” celutuk Mama Ge, salah satu orang tua murid. 

Baca Juga :  “Boskuuh, Adakah…Brrrr….?” : Cerita Narkoba Menjangkau Desa

Persoalan sistem daring bukan hanya soal adanya telepon genggam dan pulsa data. Mosintuwu.com mendapati banyak orang tua yang mengeluh ketika anaknya mendapatkan banyak pekerjaan rumah ( PR ). Bukan karena anak-anaknya sulit mengerjakan soal yang diberikan gurunya.  

“Semua pekerjaan rumah yang diberikan, jawabannya sudah tersedia di internet. Anak-anak tinggal akses internet untuk menyalinnya. Tidak ada pelajaran apapun yang didapatkan kecuali menyalin jawaban” keluh Mama Opi, yang anaknya bersekolah di salah satu sekolah tingkat pertama di Tentena. 

Dalam situasi dimana anak-anak lebih banyak berada dirumah, Sirajudin Sidora, guru di SD/SMP Satu Atap Watuawu di desa Rato Ombu kecamatan Lag, mengatakan sebenarnya tidak yakin, kalau muridnya benar-benar serius mengerjakan PR yang diberikan. Sebab, ada kebiasaan baru yang muncul di era internet. Dari pelajar hingga mahasiswa mulai tidak terbiasa berpikir, memutar otak apalagi membaca buku atau referensi untuk mengerjakan PR. Tinggal mengetik kata-kata kunci dari tugas yang diberikan. Lalu, semua jawaban muncul. Tentu saja, tidak semuanya mengerti apa sebenarnya yang ditanyakan dalam PR itu.

Pandemi Corona ini memang membuka cerita sebenarnya tentang bagaimana praktek belajar di sekolah selama ini. Sebagai contoh, murid-murid diberikan PR tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diajarkan. Para murid lalu mencari jawaban dari internet. Menemukan jawaban lalu menyalinnya. Tidak ada proses yang membuat murid menalar apa yang ditanyakan untuk mendapatkan pengetahuan dari tugas itu.

Bersekolah di masa pandemi Covid-19 di Desa Ratoumbu dengan cara berkelompok, didatangi oleh guru. Foto : Sirajudin

Sementara itu, dalam sistem luar jaringan (Luring), yakni guru yang mendatangi rumah-rumah murid, meskipun lebih interaktif, juga mengalami kendala. Khususnya di wilayah Lembah Bada, beberapa guru yang menemui siswa di rumah, sering tidak bertemu. Ezron mengatakan, karena pandemi ini, banyak muridnya yang mengikuti orang tua pergi ke kebun. Untuk mengatasi masalah ini, wali kelas di SMPN Lore Selatan kemudian membuat SMS grup untuk membagikan informasi sekolah dan tugas-tugas yang diberikan kepada murid-murid. Namun cara ini juga belum terlalu efektif. 

Baca Juga :  Gusdurian Peduli Berbagi Bahan Pokok di Masa Sulit

Karena belum terbiasa dengan sistem sekolah dari rumah, banyak diantara anak-anak yang kesulitan ketika mengerjakan tugas sekolah. Apalagi mereka terbiasa mengerjakan tugas langsung didalam kelas. Akibatnya, banyak yang tidak menyetor tugas, penilaian pun terhambat. Upaya guru mendatangi murid, terutama yang ada di kampung-kampung di lembah Bada itu harus dilakukan berulang-ulang. Selain untuk menanyakan hasil pekerjaan rumah mereka. Juga harus mengajar singkat ketika ada murid yang bertanya mengenai tugas yang diberikan.

“Guru-guru juga beradaptasi dengan keadaan baru ini. Pada awalnya kita memang khawatir terutama dimasa-masa awal pandemi ini. Tapi tentu harus tetap memberikan pendidikan kepada anak-anak”kata Ezron. 

Situasi baru ini membuat guru harus menggunakan metode mengajar baru. Meskipun belum ada pelatihan khusus mengenai bagaimana menghadapi kelas dimasa pandemi, Ezron mengatakan mereka baru mengikuti petunjuk mengenai penggunaan dana-dana sekolah. Belum ada yang khusus bagaimana menghadapi kelas di masa pandemi.

Lamanya waktu dirumah karena sekolah tutup, rupanya membuat banyak anak-anak punya kebiasaan baru. Mengikuti orang tua berkebun. Sebagian besar warga desa di lembah Bada adalah petani yang biaanya memang menginap hingga berhari-hari di pondok mereka di kebun. Jaraknya biasanya memang jauh dari rumah. 

Kesulitan juga dirasakan, Sirajudin Sidora, guru di SD/SMP Satu Atap Watuawu di desa Rato Ombu kecamatan Lage yang punya 200 murid dengan 14 orang guru. Di wilayah ini, sistem Daring tidak dimungkinkan karena belum terjangkau jaringan internet. Akhirnya, sistem Luring yang dilakukan. Setiap hari murid-murid yang rumahnya berdekatan dijadikan berkelompok untuk menerima pelajaran dari guru yang datang. Sirajudin mengatakan, para guru membagikan jadual kepada kelompok-kelompok murid ini. Para guru juga mengajar sesuai jadual di kelompok-kelompok murid.

Cara mengajar juga berubah. Sirajudin mengatakan, waktu mengajar jadi lebih pendek. Hanya 2 jam untuk satu mata pelajaran. Satu hari ada 2 mata pelajaran. Kadangkala mereka hanya datang untuk memberikan tugas. Memberikan tugas ini menjadi tantangan yang sulit bagi guru. Sirajudin merasakan betul kesulitan itu. Sebagai guru, dia juga tidak yakin apakah para murid itu mengerti isi mata pelajaran yang harus dikerjakan itu.

Baca Juga :  Festival Mosintuwu : Mengingat dan Merayakan Pengetahuan dan Alam Poso

“Jadi itulah tantangan kami. Bingung juga kita. Tinggal kita kasih tugas. Misalnya bahasa Inggris yang sebenarnya harus dijelaskan dahulu kepada murid-murid ini. Jadi inilah kekurangannya. Pada saat kami mengajar di kelompok itukan tidak ada papan tulis. Padahal kami tidak biasa mengajar tanpa papan tulis. Akhirnya tiba-tiba, kasih tugas” katanya mengenai kesulitan guru dalam beradaptasi dengan cara mengajar baru dimasa pandemi ini. Salah satu upaya yang mencoba membuat para murid merasa seperti di dalam kelas adalah meminta mereka tetap memakai baju sekolah saat ada jadwal belajar mengajar.

Meski ada semacam tutorial bagaimana mengajar dimasa pandemi. Sirajudin maupun Ezron Boka mengakui kalau hal itu masih sulit mereka terapkan. Akhirnya mereka hanya melaksanakan saja apa yang diberikan kepada mereka oleh pemerintah.

“Sebagai guru, kita memang harus memastikan kalau anak-anak ini betul-betul mengerti apa yang kita ajarkan. Kita mengajar dihadapan murid itukan harus diulang, supaya kita yakin mereka mengerti”kata Sirajudin.

Banyak keluhan yang muncul dari para murid. Yang paling banyak adalah kesulitan menyesuaikan diri karena tidak biasa belajar dengan situasi dan kondisi baru ini. Beberapa orang murid mengakui sulit menerima atau memahami apa yang diajarkan oleh guru dalam waktu singkat. Sirajudin mengakui hal itu. Menurutnya, ada beberapa muridnya yang baru mengerti ketika penjelasan dilakukan berulang. 

Karena itu metode baru belajar dan mengajar bukan hanya diuji kualitas dan efektifasnya di masa pandemi Covid-19, tapi juga menjadi refleksi metode yang selama ini dikembangkan sekolah sebelum masa pandemi Covid-19.  Bersekolah menggambarkan tentang berkembangkan pengetahuan dan karakter seseorang dengan kondisi sosial, ekonomi, lingkungan , budaya yang ada di sekitarnya. Mekanisme luring terasa lebih tepat, sementara metode daring menjauhkan siswa dari konteksnya meskipun lebih mudah dilakukan. Guru yang berhasil melakukan kedua sistem baru dalam belajar mengajar di masa pandemi ini tanpa kehilangan konteks dengan tetap menjalankan protokol kesehatan adalah sesungguhnya pahlawan tanpa tanda jasa para siswa di masa pandemi Covid-19. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda