Menyebut Bontinge, bagi sebagian besar orang Pamona sejak tahun 1990-an akan merujuk pada nama marga / fam. Tapi bagi kalangan ilmuwan biologi, Bontinge adalah sebuah spesies ikan endemik Danau Poso yang sangat dicari. Meletusnya Gunung Colo tahun 1983 diikuti dengan cerita tentang punahnya beberapa ikan endemik Danau Poso, termasuk ikan Bontinge dan Bungu. Tidak heran dalam berbagai pertemuan yang membicarakan habitat ikan di Danau Poso, muncul candaan seperti “ Bontinge sekarang sudah tidak di Danau tapi sudah naik di daratan” .
Dr. Meria, seorang ahli iktiologi dari Universitas Sintuwu Maroso mengatakan “keberadaan ikan buntinge dan bungu saat ini langkah, jarang dijumpai sehingga status konservasinya endangered”
Rawa-rawa, sungai, danau hingga selokan yang mengalirkan air dari muara sungai menjadi lokasi tim Biologi Ekspedisi Poso. Dr. Meria , Kurniawan Bandjolu, S.Si (Peneliti Etnobotani) dan Evans Madiyono S.Si ( Peneliti Ikan / Family Gobidae dari Universitas Tadulako), ketiganya berendam cukup lama di air. Mata mereka sibuk mencari ikan-ikan kecil , menjaring dengan perlengkapan yang dibawa, mengamati sebentar dan memasukkan dalam botol sampel ikan. Masuk lagi ke dalam air. Bolak balik menatap air , mengamati hilir mudik ikan. Dengan mudahnya mereka menunjuk dan menyebutkan nama-nama jenis ikan yang hilir mudik di samping perahu. Tidak lupa memeriksa apakah spesies ikan yang dilihat sudah terjaring atau belum.
Tidak mudah menghafal nama-nama spesies ikan yang disebutkan ketiganya, semuanya dalam bahasa biologi. Untuk mempermudah, nama-nama lokal seperti rono, lamale, wuriri disebutkan mendampingi nama-nama latin tersebut.
“Bagi sebagian besar masyarakat, jenis ikan rono hanya disebut rono saja, tapi bagi kelompok biologi rono punya 4 jenis , kadang tergantung pada mata, ekor, sisik dan sebagainya” Evans menjelaskan. Kami yang mendengarkan serempak berseru “Oh begitu”
Saat sedang melakukan pengamatan di air di wilayah Desa Tokilo, ketiganya terlihat langsung berdiskusi serius. Sambil membolak-balikkan ikan kecil yang baru saja dijaring. Mata sebagai ahli Iktiologi Dr. Meria lalu berkata :
“ini keluarga ikan bungu”
Namun Dr. Meria mengingatkan, Ikan bungu yg ditemukan merupakan ikan bungu masiwu, spesies yg berbeda dgn spesies yg sudah langkah atau diduga punah.
“Apabila ada indikasi kemiripan dengan spesies bungu yg diduga punah tersebut perlu justifikasi ahli melalui prosedur ilmiah” tambahnya.
Di air terjun Saluopa, Evan dan Eko, kembali berdiskusi cukup lama untuk menentukan ikan kecil yang baru saja mereka temukan. Meskipun menemukan beberapa endemik habitat sungai dan Danau Poso, kali ini ikan kecil yang mereka temukan membutuhkan ekstra perhatian agar mereka tidak keliru menyebutkan. Setelah bolak balik mengeceknya, mereka berdua bersepakat.
“Ini keluarga Adrianichthys Oophorus”
Mereka menemukan keluarga spesies ikan Buntinge atau Buntingi . Seperti Dr. Meria, mereka juga menyatakan bahwa spesies ini perlu justifikasi ahli melalui prosedur ilmiah. Mereka menyimpan dengan sangat hati-hati di dalam toples yang selalu dibawah kemana-mana, untuk diperiksa kembali di laboratorium.
Menemukan spesies ikan dan habitat danau, bagi ketiganya seperti mendapatkan hadiah yang tidak terhingga nilainya.
Tidak ada yang paling sering mengganti baju karena basah selain kedua anak muda anggota Tim Ekspedisi Poso, Evans dan Eko. Semangat mereka bertemu spesies ikan mengalahkan rasa dingin dan capek. Maklum, perjalanan ekspedisi Poso menelusuri keberagaman hayati alam di Danau Poso berlangsung sejak tanggal 16 – 22 Mei 2019. Pada setiap hari itu, mulai pagi, siang hingga menjelang malam, keduanya turun ke sungai, rawa dan danau.
Menjadi bagian dari perjalanan Ekspedisi Poso menjadi sangat penting bukan hanya bagi bidang keilmuan yang sedang mereka tekuni tapi juga karena mendapatkan keanekaragaman hayati di sungai dan danau Poso akan menunjukkan bagaimana peristiwa alam seperti bencana, termasuk kerusakan alam akan mempengaruhi habitat yang ada di dalamnya.
“Habitat sungai dan danau yang beragam akan mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial, budaya di masyarakat. Karena itu menemukan keberagaman habitat, apalagi habitat yang endemik Danau Poso akan mendorong kebijakan pembangunan daerah dan wilayah yang memastikan perlindungan atasnya” sambung Eko.
Perjalanan Ekspedisi Poso, menemukan keanekaragaman hayati yang dibutuhkan bagi habitat yang kaya di Danau Poso. Temuan tim biologi Ekspedisi Poso membuktikan kekayaan habitat Danau Poso.
Selain keluarga spesies Adrianichthys Oophorus yang lazim disebut Buntinge atau Buntingi , perjalanan tim biologi Ekspedisi Poso menemukan juga endemik lainnya, yaitu Oryzias Orthogonatus dan Oryzias nigrimas, dalam bahasa lokal disebut rono; Nomorhamphus Celebensis , dalam bahasa lokal disebut anasa atau didisa. Selain ikan, terdapat jenis endemik Danau Poso lainnya, yaitu siput, lamale jenis Caridina Longidigita dan Caridina Ensifera.
“Danau Poso ini sangat kaya dengan spesies ikan , karena itu pembangunan di wilayah ini harus benar-benar ikut memikirkan habitat ikan dan tumbuhan lainnya” tegas Eko.
Evans menjelaskan, habitat ikan membutuhkan sebuah ekosistem yang khusus untuk dapat berkembang biak.
“Misalnya ikan gobi sejenis Bungu Masiwu membutuhkan batu-batuan , untuk berlindung, tinggal dan bertelur. Demikian pula ikan jenis Oryzias Nigrimas atau rono yang membutuhkan rerumputan , untuk berlindung, tinggal dan bertelur. Jika ekosistem bagi jenis ikan tersebut dihancurkan atau tidak dilindungi, hanya ada dua yang terjadi , migrasi atau punah” ujarnya.
Sementara Eko menyinggung rencana pengerukan Danau Poso yang dipastikan akan mengganggu ekosistem Danau Poso . Terganggunya ekosistem Danau Poso akan dipastikan habitat ikan akan bermigrasi atau punah, bahkan mempengaruhi pola produksi masyarakat di Danau Poso.
Pernyataan Eko dan Evans, kedua peneliti muda ini, selaras dengan pola produksi yang berkembang di desa-desa seputaran Danau Poso. Ikan, bagi masyarakat di desa-desa sekitar Danau Poso sangat penting dan mempengaruhi hidup mereka. Demikian pula ekosistem tempat ikan berkembang biak akan menjadi menentukan.
Papa Oka (65 tahun), seorang nelayan mengatakan, di teluk Dongi inilah ikan-ikan endemik danau Poso, mulai dari ikan Mas, Bungu, Lele, Gabus hingga ikan Mujair berdiam didalam liang-liang batu yang banyak ditemukan dikawasan ini.
“Kalau lokasi itu ditimbun, hilang sudah tempat kami mencari ikan. Di sana, ikan-ikan yang dibilang sudah hilang dari danau Poso itu banyak dan masih ada sampe sekarang”kata papa Oka yang sudah menjadi nelayan sejak umur 15 tahun. Dari mencari ikan di lokasi itulah dia berhasil menyekolahkan anaknya sampai kuliah.
“Menjaga habitat atau ekosistem Danau Poso itu akan membantu masyarakat menjaga kehidupannya” tegas Eko. Perjalanan tim Ekspedisi Poso khususnya tim biologi menegaskan kebutuhan menjaga kekayaan biota Danau Poso agar tidak punah.
Dr. Meria menguatkan dengan menyampaikan salah satu temuan dalam ekspedisi Poso perjalanan yang pertama di wilayah barat Danau Poso ini adalah pentingnya menjaga zona atau daerah transisi perairan dan daratan.
“Di Danau Poso ada yang disebut sebagai zona transisi perairan. Zona ini adalah daratan yang terendam air karena adanya luapan air danau yang terjadi setiap musim hujan. Zona ini biasanya berlangsung selama 2 – 3 bulan” Jelas Dr. Meria.
” Penting untuk menjaga zona ini dimanfaatkan sebagai tempat bertelur, mencari makan, berlindung oleh semua biota perairan danau, termasuk ikan asli dan ikan pendatang di danau poso, sehingga tdk heran kalau wilayah/zona ini dijadikan zona budaya yg dimanfaatkan sebagai lokasi penangkapan tradisional misalnya mosango, karena memiliki produktivitas perikanan yg tinggi”
Dr. Meria melanjutkan, zona ini ditemukan di sekeliling Danau Poso termasuk di wilayah outlet danau. Menurutnya, karena vitalnya fungsi ekologis yg diemban zona ini maka penting utk mempertimbangkan secara matang berbagai kegiatan pembangunan yg berdampak langsung terhadap perairan secara fisik, kimia maupun biologi.
Ketika hadil ekspedisi danau poso selesai dan dituangkan dalam satu dokumen tertulis yang memiliki nilai”ilmiah”maka setiap rekomendasi yang disampaikan hendaknya dapat dijabarkan dalam kebijaka pemda kab.poso utamanya yang terkait penyelamatan dan pelestarian: lingkungan hidup,ikan endemik,sosial budaya,obyek wisata yg tebentuk karena alam.untuk itu masyarakat yang tinggal dan hidup disekitar danau poso perlu dilibatkan secara aktif dalam kegiatan penyelamatan dan pelestarian hal-hal tetsebut diatas dengan diawali sosialisas dan konsultasi publik secara komprehesip dan terus menerus ketika pemda akan menyusun rencana aksi nya.
Di desa watuawu juga ada situs pemakaman di goa gunung lebanu. Tim expedisi mungkin bisa meneliti di sana.
Halo kak, terimakasih. Menurut informasi dari Tim Ekspedisi, Desa Watuawu juga akan menjadi bagian dari perjalanan kedua Tim Ekspedisi Poso pada akhir bulan Juni 2019. Nantikan ya. Terimakasih sudah menyebutkannya
di desa taipa dan bancea ada yg namanya watu melulu, watu motini dan watu baula… Tim mngkin bsa telusuri… kami sbagai warga taipa yg masih muda2 ingin skali mngetahui sejarahnya…
Halo Wasty, terimakasih untuk infonya. Menurut catatan dari Tim Ekspedisi, mereka sudah melakukan ekspedisi di Desa Taipa dan Bancea termasuk pada ketiga batu tersebut.