Tidak banyak yang tahu tentang apa yang terjadi di desa. Siapa dan mengapa banyak orang desa mengalami sakit?, bagaimana pelayanan kesehatan? berapa orang yang tidak sekolah, apakah ada pungli liar di pemerintahan desa, atau apakah tanah-tanah masih menjadi milik orang desa? Tidak tahu bukan berarti karena tidak mau tahu. Namun seringkali keingintahuan tentang dinamika dan perkembangan di desa tidak disertai dengan adanya informasi. Kalaupun ada informasi yang disampaikan, seringkali adalah informasi yang terseleksi sesuai dengan kepentingannya. Singkat kata, media massa mainstream/umum sangat jarang membicarakan desa dengan seluruh kompleksitas dan keunikannya.
Membicarakan desa adalah membicarakan perempuan, mereka yang tinggal di desa. Karena itu tidak membicarakan desa atau membicarakan desa dalam seleksi kepentingan, juga berarti tidak membicarakan perempuan.
Kesadaran ini yang mendorong Institut Mosintuwu menyelenggarakan training menulis bagi anggota sekolah perempuan. Training menulis ini sekaligus menindaklanjuti kebutuhan koran Mosintuwu untuk dapat menulis cerita , mengangkat berita dari desa oleh orang desa (baca: perempuan). Tujuh perwakilan anggota sekolah perempuan yang sudah diseleksi mewakili kelas dan wilayah sebaran aktivitas Mosintuwu menjadi langkah awal untuk mewujudkan mimpi desa bisa menulis. Melalui perempuan.
Training yang difasilitasi oleh Sofyan, wartawan koran lokal dan Lian Gogali, penulis sekaligus pendiri sekolah perempuan Mosintuwu, dilaksanakan pada tanggal 23 – 24 April di Dodoha Mosintuwu. Bertema “Perempuan menulis desa” membicarakan pada hari pertama membicarakan hal-hal teknis tentang mengapa menulis penting dalam kehidupan bermasyarakat. Diskusi mengenai apa pentingnya menulis dilanjutkan dengan bagaimana agar tulisan memiliki dampak yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Menulis resep masakan, surat pemberitahuan anak ke sekolah, atau lagu-lagu dan ayart-ayat kitab suci adalah sebagian dari kebiasaan menulis yang dilakukan oleh kelompok perempuan. Kali ini mereka ditantang untuk bisa menulis kehidupan di desa.
Menulis adalah hal yang baru bagi sebagian besar masyarakat Poso tidak terkecuali kelompok perempuan. Meskipun pada awalnya mengalami kesulitan dalam memahami proses menulis, namun tujuh perempuan yang mewakili anggota sekolah perempuan ini tidak menyerah. Ibu Rahel dari Morowali mengatakan “awalnya saya pikir lebih baik saya disuruh mencangkul di sawah daripada menulis, tapi sekarang menulis itu seperti menanam, supaya ada hasilnya yang bisa diingat dalam sejarah” . Sebaliknya ibu Bertha dari Poso Pesisir sepakat “ kita semua ini baru belajar tapi kita sudah punya modal yaitu kita tinggal di desa, jadi kita yang akan menulis tentang desa”
Semangat ini dilanjutkan dengan niat bersama untuk menuliskan kabar dari desa setiap bulannya. Menulis adalah mencatatkan sejarah kehidupan. Karena itu menulis menjadi langkah awal bagi kelompok perempuan di desa menciptakan sejarah dari ingatan dan laku mereka sendiri.ak banyak yang tahu tentang apa yang terjadi di desa. Siapa dan mengapa banyak orang desa mengalami sakit?, bagaimana pelayanan kesehatan? berapa orang yang tidak sekolah, apakah ada pungli liar di pemerintahan desa, atau apakah tanah-tanah masih menjadi milik orang desa? Tidak tahu bukan berarti karena tidak mau tahu. Namun seringkali keingintahuan tentang dinamika dan perkembangan di desa tidak disertai dengan adanya informasi. Kalaupun ada informasi yang disampaikan, seringkali adalah informasi yang terseleksi sesuai dengan kepentingannya. Singkat kata, media massa mainstream/umum sangat jarang membicarakan desa dengan seluruh kompleksitas dan keunikannya.
Membicarakan desa adalah membicarakan perempuan, mereka yang tinggal di desa. Karena itu tidak membicarakan desa atau membicarakan desa dalam seleksi kepentingan, juga berarti tidak membicarakan perempuan.
Kesadaran ini yang mendorong Institut Mosintuwu menyelenggarakan training menulis bagi anggota sekolah perempuan. Training menulis ini sekaligus menindaklanjuti kebutuhan koran Mosintuwu untuk dapat menulis cerita , mengangkat berita dari desa oleh orang desa (baca: perempuan). Tujuh perwakilan anggota sekolah perempuan yang sudah diseleksi mewakili kelas dan wilayah sebaran aktivitas Mosintuwu menjadi langkah awal untuk mewujudkan mimpi desa bisa menulis. Melalui perempuan.
Training yang difasilitasi oleh Sofyan, wartawan koran lokal dan Lian Gogali, penulis sekaligus pendiri sekolah perempuan Mosintuwu, dilaksanakan pada tanggal 23 – 24 April di Dodoha Mosintuwu. Bertema “Perempuan menulis desa” membicarakan pada hari pertama membicarakan hal-hal teknis tentang mengapa menulis penting dalam kehidupan bermasyarakat. Diskusi mengenai apa pentingnya menulis dilanjutkan dengan bagaimana agar tulisan memiliki dampak yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Menulis resep masakan, surat pemberitahuan anak ke sekolah, atau lagu-lagu dan ayart-ayat kitab suci adalah sebagian dari kebiasaan menulis yang dilakukan oleh kelompok perempuan. Kali ini mereka ditantang untuk bisa menulis kehidupan di desa.
Menulis adalah hal yang baru bagi sebagian besar masyarakat Poso tidak terkecuali kelompok perempuan. Meskipun pada awalnya mengalami kesulitan dalam memahami proses menulis, namun tujuh perempuan yang mewakili anggota sekolah perempuan ini tidak menyerah. Ibu Rahel dari Morowali mengatakan “awalnya saya pikir lebih baik saya disuruh mencangkul di sawah daripada menulis, tapi sekarang menulis itu seperti menanam, supaya ada hasilnya yang bisa diingat dalam sejarah” . Sebaliknya ibu Bertha dari Poso Pesisir sepakat “ kita semua ini baru belajar tapi kita sudah punya modal yaitu kita tinggal di desa, jadi kita yang akan menulis tentang desa”
Semangat ini dilanjutkan dengan niat bersama untuk menuliskan kabar dari desa setiap bulannya. Menulis adalah mencatatkan sejarah kehidupan. Karena itu menulis menjadi langkah awal bagi kelompok perempuan di desa menciptakan sejarah dari ingatan dan laku mereka sendiri.