Hadrah : Pengumpul Sampah yang Melindungi Lingkungan

0
1578
Hadrah, anggota Sekolah Perempuan Mosintuwu yang menginisiasi bank sampah di desanya . Foto : Mosintuwu/Sue

Untuk ke Sulawesi Selatan, tempatnya dilahirkan dan tempat dimana sebagian besar keluarganya tinggal, Hadrah harus melewati wilayah Tentena . Di wilayah ini , gereja bukan hanya terdapat di hampir 100 meter rumah, tetapi juga menjadi pusat aktivitas kekristenan. Maklum , Tentena adalah kantor pusat gereja Kristen Sulawesi Tengah yang membawahi ribuan gereja yang tersebar di Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Selatan, dengan jutaan anggotanya. 

Pada suatu hari, saat itu pembunuhan dan penembakan misterius serta bom terjadi hampir setiap bulan di Poso, suami Hadrah singgah sebentar di sebuah rumah di Tentena. Hadrah ikut turun. Begitu memasuki rumah, matanya menangkap patung salib, simbol yang sangat lazim di wilayah itu. Wajah Hadrah berubah merah padam, dia memberontak dan segera mengajak suaminya pergi saat itu juga. Di mobil, Hadrah marah-marah hampir menangis sambil menceritakan semua kisah mengerikan yang pernah didengarnya. Cerita tentang bagaimana orang Kristen membunuh dan menculik serta menyiksa umat muslim dalam konflik Poso. 

Amarah Hadrah tidak berhenti dalam peristiwa itu. Hatinya penuh kemarahan. Ketika mengetahui akan dibuka kelas sekolah perempuan Mosintuwu, Hadrah memutuskan untuk ikut. “Saya ingin tahu langsung dari orang Kristen” ujarnya dalam kesempatan berbincang dengan saya. Belum jelas apa yang ingin diketahuinya. “ Hati saya belum tenang, mungkin saya sudah akan tenang kalau saya mengetahui sesuatu di sekolah perempuan ini” lanjutnya.

Apalagi menurut Hadrah, dia sempat melihat saya di layar televisi menerima penghargaan kategori perdamaian dari sebuah stasiun televisi di Indonesia. Dia sempat berujar “ Dimana perempuan ini, saya kok tidak pernah merasakan damai disini ?”

Baca Juga :  Bersahabat dengan SampahFriends with Garbage

Pertanyaannya mulai terjawab. Hadrah sekali lagi menangis, kali ini bukan karena amarah. Dia lega. Kakinya melangkah memasuki gereja. Saat itu bersama anggota sekolah perempuan Mosintuwu lainnya, mereka berkesempatan mengunjungi gereja. Ini pengalaman pertama kali seumur hidupnya. Hadrah mendengarkan penjelasan seorang Pendeta tentang nilai-nilai dalam kekristenan. Sambil menarik napas lega, Hadra menyahut dengan Ohhhhh, sebuah penanda bagaimana dia mulai mengerti dan memahami dengan cara lebih baik tentang Kekristenan. 

Hadrah lalu mengingat

“Iya, kalau kita yang muslim mengungsi di hutan, lalu yang Kristen juga mengungsi, lalu dari siapa kita lari ini? Lagipula betul juga yang terbakar rumahnya bukan hanya Islam, yang terbunuh bukan hanya kita, tapi kita semua. Ini tidak betul”

Pemahaman dan pengertiannya membuat Hadrah semakin mantap untuk membangun komunikasi dengan kelompok perempuan Kristen yang satu kelas dengannya di Sekolah Perempuan Mosintuwu. Belajar bersama melakukan analisis di kelas sekolah perempuan membuat Hadrah menjadi terbuka. Hadra melampaui rasa takut dan traumanya pada agama lain dan memberikan contoh hubungan harmonis yang saling menghormati dan menghargai antar komunitas. Jika awalnya tidak mendapatkan pengakuan dari masyarakat, sekarang Hadra menjadi contoh bagi masyarakat di desanya untuk membangun persaudaraan. 

Transformasi Hadra mengantarkannya pada kemauan untuk mengabdikan dirinya pada perkembangan di masyarakat melalui ekonomi. Hadra mengorganisir beberapa perempuan di desanya untuk mengembangkan ekonomi melalui pengelolaan sampah daur ulang. Pengelolaan sampah daur ulang yang menghasilkan beragam ketrampilan unik yang membuka lapangan pekerjaan alternatif bagi kelompok perempuan di desanya. Kegiatan Hadra menjadi inspirasi bagi sebagian besar masyarakat untuk menjaga lingkungan dari sampah, serta menjadikan sampah memiliki nilai guna. Hadrah bersama kelompok perempuan di desanya sekarang membangun Bank Sampah. 

Baca Juga :  Mudik, Supaya Tidak Dianggap Lupa
Hadrah (kiri) saat mengikuti Festival Mosintuwu, berfoto bersama ibu yang beragama Kristen dari Desa Didiri tanpa canggung. Foto : Mosintuwu/Sue

“Saya memikirkan anak-anak dan cucu-cucu ke depan, apa yang kita wariskan buat mereka nantinya?masak sampah yang kita wariskan” ujarnya sambil menunjuk sampah-sampah plastik yang dibawa oleh masyarakat ke bank Sampah. Menurut Hadrah, nasib sampah-sampah plastik ini akan menjadi racun di tanah ketika tidak diolah, padahal plastik tidak bisa terurai selama puluhan hingga ratusan tahun.

Berkomunikasi dengan program Ekonomi Solidaritas Institut Mosintuwu, Bank Sampah yang dikelola oleh Hadrah dan teman-temannya mengajukan konsep bersolidaritas. Sampah-sampah yang dikonsumsi dari hasil membeli sabun, dan bahan makanan lainnya dibawah ke bank sampah ditukarkan dengan bahan-bahan pokok makanan seperti beras, telur, minyak goreng dan alat tulis. Sebagian besar pelanggan tetap bank sampah bernama Roppo Magali ini adalah anak-anak sekolah. 

“anak-anak sekolah tidak perlu meminta uang lagi kepada orang tuanya, cukup mereka kumpulkan sampah yang ada di desa dan bawa ke sini mereka bisa menukarkan dengan buku, pensil, pena” jelas Hadrah dengan bangga. 

Tidak ragu, Hadra menjadi lebih aktif  dalam menyuarakan gagasan kelompok perempuan dalam pertemuan di desanya, dan sanggup mempengaruhi beberapa kebijakan di dalam desanya. Hadra juga membuka ruang belajar dan kreativitas bagi anak-anak di desanya.

Baca Juga :  Konferensi Perempuan Poso: Kami Diabaikan dan Dimiskinkan oleh Pembangunan

“Saya tidak perlu dan tidak mau menjadi pengurus di pemerintahan desa” demikian sikap Hadrah menanggapi isu kepemimpinan perempuan di desa. “ bagi saya, menjadi pemimpin di desa itu tidak harus dengan menjadi pejabat pengurus di dalam desa, tapi apa yang kita miliki kita sumbangkan kepada desa. Begitu caranya”

_

Keterangan editor : Simak cerita perempuan Poso lainnya di seri Cerita Perempuan Poso, Kabar Baik dari Poso. Cerita Perempuan Poso ini menghimpun cerita-cerita dari masyarakat akar rumput di Poso yang bergerak memperjuangkan perdamaian yang berkelanjutan dan keadilan bagi masyarakat. Mereka adalah para petani, nelayan, buruh, ibu rumah tangga. Sebagian besar dari mereka bergabung di kelas sekolah perempuan Mosintuwu yang digagas oleh Institut Mosintuwu sejak tahun 2010, di 81 desa di Kabupaten Poso dan telah meluluskan 500 anggota sekolah perempuan. Sekolah perempuan Mosintuwu adalah ruang bersama para perempuan akar rumput untuk belajar bersama topik-topik dalam kurikulum : perempuan dan perdamaian, gender, perempuan dan politik, perempuan dan budaya, hak layanan masyarakat , hak ekonomi sosial budaya dan politik, ketrampilan berbicara dan bernalar, kesehatan seksual dan hak reproduksi, serta ekonomi solidaritas. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda