Poso – Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Mosintuwu Poso mengajak masyarakat menghentikan pemberian stigma terhadap perempuan korban, salah satunya stigma Pelakor (Perebut Lelaki Orang). Petisi ini ditandatangani oleh 50 Perempuan yang terlibat dalam jaringan RPPA di Poso, Sulawesi Tengah.
Pemberian stigma terhadap perempuan korban sama halnya dengan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.
“Saat ini banyak sekali terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan yang terhambat proses hukumnya dikarenakan salah satunya adalah stigma korban adalah perempuan yang lalai, penggoda, Pelakor, dan lain sebagainya,” kata Kordinator RPPA, Evi Tampakatu
Petisi itu, tambah Evi dilakukan dalam rangka merayakan International Women’s Day (IWD) yang jatuh pada 8 Maret. Penandatanganan petisi sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma yang menghambat proses perempuan korban kekerasan memperoleh keadilan.
“Di Poso praktek stigma bahkan dilakukan oleh tokoh adat hingga aparat kepolisian,” tambahnya.
Evi menceritakan, perempuan korban perkosaan dalam hukum adat kerap dianggap lalai dalam menjaga kehormatannya sehingga dia dikenakan denda atas apa yang menimpanya. Saat berhadapan dengan aparat hukum, perempuan sering dianggap “sudah terlanjur kotor” sehingga sering sekali mereka justru memediasi antara pelaku dengan korban agar pelaku menikahi korban.
“Bahkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat lamban dan terkesan tidak serius. Padahal, setiap hari di Kabupaten Poso, terjadi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, kekerasan fisik, psikologi, dan ekonomi,” kata Evi.
RPPA Mosintuwu Poso mencatat selama tahun 2016 – 2017 terdapat 20 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 15 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Bahkan, di antaranya terdapat 4 kasus pemerkosaan anak yang menyebabkan kehamilan, salah satunya masih berusia anak 13 tahun.
“Catatan ini belum termasuk kasus kekerasan yang tidak dilaporkan oleh korban karena takut, dibawah tekanan, atau malu. Apalagi, para pelaku kekerasan sebagian besar adalah orang dekat korban, seperti guru, paman, teman dari orang tua, bahkan ayah kandung,” tandasnya.
Selengkapnya petisi berbunyi :
Petisi Perempuan Poso :
Stop Gunakan Kata Pelakor dan Stigma Terhadap Perempuan!
Bagaimana rasanya kalau anak perempuan atau saudara perempuan atau istri anda diperkosa? Sakit, marah, sedih, dan pastilah ingin rasanya membalas sakit hati dan kehormatan anak atau istri anda kepada pelaku. Bahkan, tak jarang dorongan rasa ingin langsung membunuh saja si pelaku saking geramnya. Akan tetapi, anda kemudian bisa mencoba lebih tenang dan bijaksana dengan memilih menempuh jalur hukum.
Saat anda meminta bantuan aparat hukum untuk mendapatkan keadilan, pertama-tama anda akan dihalangi oleh tokoh masyarakat dengan hukum adat. Masalahnya, hukum adat di Poso melihat kasus perkosaan sebagai kasus asusila yang meyakini ada peran perempuan sehingga dia bisa diperkosa. Dalam hukum adat perempuan korban perkosaan dianggap lalai dan dia harus membayar denda! Jangan heran kalau dalam masyarakat tumbuh subur pemikiran (stigma) kalau ada korban pelecehan atau perkosaan ya salah perempuan sendiri mengundang pemerkosa… Jadi, di sini anda dibuat percaya, kalau anak anda diperkosa itu salah anak anda!
Stigma itu ternyata bisa mempengaruhi aparat penegak hukum juga. Di Poso banyak sekali aparat yang bukannya memberi jaminan hukuman kepada pelaku, tetapi pihak korban justru dibantu mediasi dengan pelaku. Bayangkan, anda diminta “mengobrol” dan “bersepakat” untuk meringankan hukuman pelaku. Bahkan banyak yang meminta anda untuk menikahkan saja korban dengan pelaku! Katanya untuk menutupi aib perempuan dan keluarga. Padahal sudah jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285-298 menghukum pelaku sampai dengan 12 tahun penjara.
Tidak mengherankan kalau penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat lamban dan terkesan tidak serius. Padahal, setiap hari di Kabupaten Poso, terjadi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, kekerasan fisik, psikologi, dan ekonomi. Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Mosintuwu Poso mencatat selama tahun 2016 – 2017 terdapat 20 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 15 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Bahkan, di antaranya terdapat 4 kasus pemerkosaan anak yang menyebabkan kehamilan, salah satunya masih berusia anak 13 tahun. Catatan ini belum termasuk kasus kekerasan yang tidak dilaporkan oleh korban karena takut, dibawah tekanan, atau malu. Apalagi, para pelaku kekerasan sebagian besar adalah orang dekat korban, seperti guru, paman, teman dari orang tua, bahkan ayah kandung.
Lalu, bagaimana nasib anak, saudara perempuan atau istri anda yang telah diperkosa? Mereka sudah hancur dan semakin dihancurkan oleh budaya, hukum, dan pemikiran yang jahat dengan menyebut perempuan korban sebagai aib, memalukan, kotor, dan bahkan sebagai “pelakor” (Perebut Lelaki Orang).
Institut Mosintuwu bersama RPPA mengajak untuk semua orang untuk menghentikan stigma kepada perempuan korban. Kalau kita beramai-ramai mendukung korban mendapat keadilan, maka aparat hukum dan tokoh masyarakat yang lalai itu bisa dengan tegas diingatkan.
Poso, 8 Maret 2018
Yang bertandatangan :
- Evi Tampakatu
- Lian Gogali
- Sri Ratna Mbaresi
- Sin Budjalemba
- Gina
- Vin Budjalemba
- Astin
- Feibe
- Novianti
- Martasesa
- Ni Ketut Sri Armini
- Merry
- Vin Sumbaoni
- Urni Ruagadi
- Nevil Pamona
- Leliana
- Satria Ruagadi
- Alce
- Emi Tanggola
- Nurmin
- Ellen
- Suriati
- Wilantowe
- Meri Bintiri
- Alfrida Sambi
- Marlice Metole
- Eva Nurdiani
- Rus Tomini
- Ni Made Rahel
- Fadlian
- Muriati
- Yulen
- Zubaedah
- Sri Ratna Mbresi
- Martince Baleona
- Yeni Tara’u
- Sofyan A
- Felliks Anthonie
- Ray Rarea
- Reflin Mandala
- Lani Mokonio
- Margareta
- Nur Dalia
- Nurlian
- Marta Sapukalani
- Erni
- Alfrida
- Plistin
- Helpin
- Krisda
- Djane Penyami
- Suciati