Mediasi Konflik: Win-win Solution?

0
5398

Saya orang yang mungkin tidak paham, tidak terampil dan tidak berbakat menjadi mediator. Tapi boleh lah dalam kelemahan ini saya menguraikan pandangan saya sendiri. Posisi saya sebagai mediator mungkin bisa digambarkan seperti anak SD yang sudah bersekolah sampai kelas 6, lalu ternyata setelah ditest praktek, saya dinyatakan tidak lulus. Kemudian anak kelas 6 SD ini mau menyampaikan alasan kegagalannya berdasarkan pandangannya sendiri. Mirip-lah dengan sebuah pleidoi. Mudah-mudahan ada orang yang mau sekedar menyimak.

Lagi-lagi mudah-mudahan saya tidak salah merujuk asal katanya. Mediator berasal dari kata “medio”, media, tempat, atau “mid”, yang berada di tengah. Sehingga kalau merujuk dari dua asal kata itu, seorang mediator adalah seseorang yang berada di tengah, seseorang yang menjadi tempat, wadah, dan tempat itu ada di tengah. Tengah berarti ada di antara dua. Dua apa? Kalau dalam konteks konflik, maka di antara dua orang/pihak/kepentingan yang sedang tidak selaras, kalau tidak sedang berseberangan. Maka seorang mediator konflik akan menengahi atau menyelarasi dua orang/pihak/kepentingan yang sedang tidak selaras/sedang bertentangan itu. Mungkin tidak hanya dua, bisa saja lebih. Sampai sejauh ini, masih benar?

Yup, sampai sejauh ini saya juga masih sepakat! Tapi sebelumnya, bagaimana perjalanannya untuk sampai ke sejauh situ? Bagaimana sebuah proses mediasi konflik mungkin mencapai win-win solution? Jika tidak mungkin win-win, apakah ada alternatif lain? Karena saya tidak memegang buku apa-apa atau referensi apa pun di hadapan saya, maka saya pakai common sense saya saja, yang dibentuk dari pengalaman dan penghayatan saya. Saya akan memakai rangkaian ilustrasi yang cukup sederhana agar mudah dipahami. Tapi saya menyarankan, ketika membaca tokoh-tokoh dan peristiwa dalam ilustrasi-ilustrasi di bawah ini, cobalah analogikan dengan tokoh-tokoh dan peristiwa lain dalam kasus-kasus sosial yang berskala lebih besar dan lebih kompleks dalam kehidupan kita.

Andaikanlah saya seorang ibu dengan dua anak. Kedua anak saya sudah saya coba besarkan dengan prinsip kesetaraan, untuk mereka memiliki kekuatan atau kekuasaan yang setara dengan konsekuensi-konsekuensinya. Suatu hari mereka berdua berkelahi memperebutkan 10 buah kelereng yang bukan milik mereka, jatuh tiba-tiba saja dari langit dan mereka berdua sama-sama menemukannya. Maka saya tinggal membagi dua kelereng itu, masing-masing anak dapat lima. Lalu saya tanya mereka apakah mereka puas dengan keputusan itu? Apakah sudah memenuhi rasa keadilan mereka? Jika ya, perkara selesai. Silakan bersalaman. Logika matematis. Sederhana.

Sore harinya si bungsu pulang berseri-seri, si sulung cemberut. Rupanya si bungsu berhasil mengalahkan si sulung dalam permainan kelereng. Bukan itu saja, karena si bungsu memang jago, dia memenangkan kelereng teman-temannya juga. Jadilah si bungsu punya 50 kelereng, dan si sulung bangkrut. Entah karena iri dengan kepemilikan si bungsu akan kelereng, atau karena tidak rela dikalahkan oleh si bungsu, si sulung merebut kelereng si bungsu dan kali ini mereka bertengkar lagi. Karena si sulung merasa sulung dan lebih kuat, maka si sulung merasa boleh-boleh saja menggunakan kesulungannya untuk mengambil kelereng si bungsu. Tentu saja si bungsu tidak rela. Apa-apaan? Apa hubungannya kesulungan dengan pertandingan kelereng?

Sekali lagi saya merasa harus menengahi sebagai ibu mereka yang tidak rela melihat mereka baku hantam. Kali ini perkaranya tidak sesederhana kali yang pertama dengan logika matematikanya. Usut punya usut, si sulung mengaku tidak rela kalah habis-habisan dari bungsu. Kalau di pertandingan kelereng dia kalah, maka dia merasa boleh menantang si bungsu adu kekuatan fisik, memperebutkan kelereng itu. Yang kuat fisiknya boleh memiliki semua kelereng itu. Si bungsu nyolot, dia merasa tidak pernah sepakat dengan tantangan itu. Mereka berdua adu keras suara karena tidak bisa berkelahi dengan adanya saya di tengah mereka. Sampai-sampai si bungsu mulai menangis tapi masih meracau dengan suara terputus-putus dijeda sesunggukan. Ah, dalam keadaan dilanda emosi begitu, mana bisa mereka diminta berpikir jernih? Maka saya, dengan menggunakan kuasa keibuan meminta mereka menunda dulu proses perundingan sampai nanti malam sebelum tidur. Mereka patuh, karena mereka tahu saya akan menepati janji, seperti biasanya saya. Mereka kotor, lelah dan lapar setelah seharian bermain. Biar mereka bebersih, makan dan istirahat sebentar dulu, agar suasana hati mereka berangsur lebih baik untuk bisa diajak berpikir. Saya pernah mendengar strategi memenangkan musuh yang datang dalam keadaan lapar adalah beri mereka makanan dan minum dulu sampai kenyang, baru ajak duduk bicara baik-baik.

Selama menunggu waktu menjelang tidur, saya harus berbicara empat mata pada masing-masing anak saya. Yang mana duluan? Sayang si ayah belum pulang dari luar kota, saya bisa berbagi tugas dengannya kalau dia di sini. Saya memilih untuk datang kepada si bungsu, yang nampaknya merasa dikhianati oleh si sulung, yang paling merasa ada sesuatu yang tidak adil yang sedang terjadi. Dia-lah yang lebih butuh perasaannya diamankan dulu. Sebelum menemui si bungsu, saya memberitahu si sulung bahwa saya akan bicara dengan si bungsu, lalu setelahnya giliran dengan si sulung. Baru mereka berdua akan saya pertemukan untuk berunding lagi. Si sulung mengiyakan saja. Dia sudah asik dengan mainannya yang lain.

Baca Juga :  Padungku, Karena Semua Sudah Selesai

Di dalam kamar saya minta si bungsu bercerita tentang kejadiannya, lalu bercerita tentang perasaannya juga. Benar dugaan saya, dia merasa dizalimi si sulung. Bahkan lihat, dia bilang dia akan balas dendam ke si sulung. Saya tenang-tenang saja, saya dengarkan terus luapan emosinya. Dengan sendirinya dia berangsur tenang. Giliran saya bicara. Saya minta dia memikirkan konsekuensi-konsekuensinya kalau dia balas dendam, yang kemungkinan besar tidak akan berhenti satu lingkaran penuh siklus, melainkan berulang-ulang dan mungkin jadi makin parah. Saya minta dia memikirkan alternatif lain dengan konsekuensi-konsekuensi yang dia harapkan. Kali ini dia sudah bisa berpikir. Saya minta dia memikirkan rumah seperti apa dan hubungan seperti apa yang dia harapkan dengan orang-orang di dalamnya. Saya tinggalkan dia dan berkata saatnya saya bicara dengan si sulung. Dia mengangguk, masih berpikir.

Dengan si sulung, prosesnya hampir sama. Dia bercerita tentang kejadian dari sisinya dan perasaannya. Karena saya sudah tahu pengalaman dan penghayatan si bungsu, saya sampaikan itu juga pada si sulung. Saya mintakan pendapatnya mengenai alternatif apa saja yang dia pikirkan untuk penyelesaian pertikaian ini, tidak lupa beserta konsekuensi-konsekuensinya. Tidak ketinggalan saya minta dia memikirkan rumah seperti apa dan hubungan seperti apa yang dia harapkan dengan orang-orang di dalamnya. Saya tinggalkan dia saat masih berpikir.

Selanjutnya ternyata cukup mudah. Saat saya rasa waktunya sudah cukup dan mereka bisa dipertemukan, si sulung dengan kepala tertunduk minta maaf pada si bungsu. Si bungsu, mungkin karena tersentuh, selain menerima permintaan maaf juga memberikan si sulung sepuluh kelerengnya. Dia minta si sulung berlatih lebih keras lagi agar suatu saat bisa mengalahkannya. Oke, si sulung menerima tantangan si bungsu. Mereka tersenyum. Saya tersenyum. Tidak sia-sia selama ini saya membesarkan mereka dengan nilai-nilai keadilan, tanggung jawab dan berbagi.

Di suatu hari yang lain, saya melihat si Anu menangis di dapur. Anu pembantu baru kami yang baru berusia 19 tahun, dia baru bekerja di rumah kami karena pembantu kami yang lama minta berhenti kerja untuk menikah di kampung. Si bungsu. Dia sedang mencak-mencak ke Anu sambil mengacung-acungkan seragam putih drum band yang sekarang sudah terluntur warna merah dengan pola tidak beraturan. Si bungsu membeli seragam itu dengan uang tabungannya sendiri selama tiga bulan, puasa jajan di sekolah. Dia ingin membuktikan kepada ibu dan ayahnya bahwa kali ini dia serius dengan satu ekstrakurikuler sekolah setelah berpindah dari satu mata ekstrakurikuler ke yang lainnya. Dia menyuruh Anu mengganti seragamnya dengan yang baru. Tidak, Anu tidak punya uang. Keluarganya yang miskin, orang tua dan adik-adiknya di kampung menunggu kiriman gajinya tiap bulan dan tersisa tak seberapa untuk Anu sendiri. Tapi si bungsu tidak mau tahu, menurut dia konsekuensi kelalaian Anu adalah mengganti seragamnya.

Saya tidak bisa tinggal diam. Kali ini ada dua korban: satu korban aktual, satu korban potensial, dengan perbedaan relasi kekuasaan dan sumber daya yang cukup besar. Saya minta si bungsu diam dan pergi dulu dari situ. Saya bilang akan bicara dengannya sebentar lagi. Kulihat mata berkaca-kaca si bungsu mata frustrasi, tak rela, marah. Kudengar tangis si Anu tangis tak berdaya, takut, bersiap dijatuhi hukuman. Kali ini, saya akan bicara dengan Anu dulu.

Anu yang baru di rumah itu tidak tahu bahwa kaos merah baru si sulung masih luntur hebat. Bahkan saya dan sulung pun tidak tahu sebelumnya. Tidak ada yang memberikan peringatan pada Anu. Tapi Anu juga lalai mencampur baju putih dengan yang lain. Berkali-kali Anu memohon ampun, dia minta dia jangan dipecat, keluarganya akan kelaparan. Dia memohon jangan dihajar. Ah, di rumah ini tidak ada orang yang boleh dihajar, Anu. Saya terenyuh. Dia rupanya sudah pernah atau mungkin malahan sering dihajar bila lalai (atau bila tak lalai sekalipun?). Ya, setelah diamati lebih teliti, saya bahkan mulai bisa melihat jejak luka-luka di tubuhnya yang tidak ditutupi baju. Saya tidak menyadari ini sebelumnya. Saat ini Anu tidak bisa berbuat lain selain minta maaf, karena dia hanya punya itu, penyesalan dan janji tidak mengulangi kesalahan yang sama. Saya minta dia menenangkan diri di kamarnya untuk saya lalu bicara dengan si bungsu. Nanti tiba saatnya dia akan didudukkan di meja runding dengan si bungsu dan dengan saya sebagai perantara.

Baca Juga :  Geospasial, Cara Anak Muda Rencanakan Desa Membangun Paska Bencana

Saya sudah menduga bahwa pembicaraan dengan si bungsu akan lebih panjang dan rumit dibanding dengan Anu. Si bungsu belum pernah punya penghayatan tentang kemiskinan dan tentang korban kekerasan yang tanpa kedayaan menuntut keadilan. Dia baru belajar tanggung jawab dan konsekuensi perbuatan di tingkatan personal. Kalau dia hakim dan dia baru punya modal pembelajaran seperti itu, dia akan jadi hakim yang kejam bagi terdakwa seperti Anu. Sampai dia mampu belajar dan paham tentang latar belakang Anu, saya memutuskan untuk menyeimbangkan dulu kedudukan Anu sebelum solusi dirundingkan bersama nanti. Akibatnya mungkin si bungsu akan melihat saya berat sebelah, tidak adil, membela si Anu. Apalagi kalau si bungsu tidak mendapatkan ganti seragamnya yang rusak. Ya, itu akan jadi PR buat saya garap untuk si bungsu belajar.

Sebetulnya mau si bungsu cuma satu: seragam drum band baru. Dua minggu lagi drum band sekolahnya akan tampil di perayaan nasional. Saya meminta dia untuk memahami bahwa Anu saat ini tidak mungkin mengganti seragam drum band-nya. Saya menanyakan usulan pemikiran si bungsu untuk bisa memakai seragam drum band bersih di perayaan nanti. Tidak, si bungsu sedang tidak mau berpikir. Dia hanya mau seragam baru. Titik. Dia diam, ngambek. Saya diam, berpikir. Bukan berpikir solusi seragamnya, karena di kepala saya sudah ada solusi. Tapi berpikir bagaimana si bungsu bisa memahami mengapa ada solusi-solusi semacam itu. Solusi yang lebih dari sekedar perkara tanggung jawab dan konsekuensi perbuatan individual. Solusi yang berpihak pada si lemah.

“Ibu akan ganti seragam drum band-mu, ya. Tapi ibu minta kamu mau memahami, Anu tidak punya uang. Dia miskin. Dia juga tidak tahu kaos merah itu masih luntur. Ya, memang dia lalai mencampur baju putih dengan yang berwarna. Tapi dia tadi sudah minta-minta maaf dan tidak akan mengulangi kelalaian itu lagi. Kamu bisa memaafkan Anu?” Ah, pada dasarnya si bungsu memang bukan anak pendendam, matanya langsung berseri karena dia akan punya seragam baru lagi, tentunya. Tentang kesalahan Anu, dia sama sekali tidak keberatan untuk menghadiahkan maaf.

Ketika kami bertiga duduk bersama, tanpa menunggu komando, si bungsu bilang bahwa dia sudah memaafkan kesalahan Anu. Dia bilang itu karena saya sudah bersedia mengganti seragamnya dengan yang baru. Dia cuma minta Anu lain kali berhati-hati. Anu tetap menunduk saja sewaktu bilang terima kasih dan janji tidak mengulang lalainya. Saya? Saya belum bisa lega. Masih ada satu PR lagi, yaitu bagaimana si bungsu bisa menghayati posisi Anu. Mungkin kapan-kapan akan saya sempatkan berkunjung ke rumah Anu di kampungnya dengan membawa serta si bungsu (dan si sulung). Biar mereka melihat sendiri seperti apa keadaannya di sana. Ya, saya tidak boleh lupa tugas yang tertinggal itu. Tapi tidak, masih ada lagi, dan ini lebih sulit. Tugas untuk Anu, untuk membebaskannya dari perasaan senantiasa tanpa daya, takut dan terhukum. Demikianlah, saya percaya, di rumah ini jalan keluar bagi pembebasan Anu akan lebih mungkin. Untuk saat ini, dimulai dari rumah ini dulu saja. Lapisan lebih luar lagi dari rumah ini, biar kami lihat sama-sama nanti bagaimana bisa mengusahakannya.

************

Suatu hari, datanglah si sulung dan si bungsu terengah-engah. Mereka membawa berita gawat bahwa bapak dan ibu si Polan, tetangga kami, bertengkar hebat. Ibu si Polan diseret-seret oleh ayah si Polan di ujung jalan komplek perumahan kami. Kedua anak saya sampai ngeri melihat kejadian itu dan oleh kata-kata makian yang terlalu kasar untuk telinga anak-anak yang diteriakkan oleh ayah si Polan pada ibu si Polan. Si Polan, kawan main si sulung, sekarang dibawa masuk oleh si sulung ke dalam rumah kami dalam keadaan pucat dan gemetar. Saya memeluknya dan membawa masuk badannya yang berkeringat dingin. Suami saya langsung berlari keluar rumah untuk melerai suami-istri itu. Suami saya mengajak ayah si Polan masuk ke rumah si Polan, dan saya kemudian diam-diam membawa ibu si Polan ke rumah kami. Si sulung membawa Polan ke kamarnya. Biarkan badai lewat dulu sambil berlindung, baru berpikir.

Ibu si Polan pada awalnya tidak mau menceritakan duduk perkaranya. Malu, katanya. Setelah beberapa saat barulah dia mengakui permasalahan rumah tangganya yang selama ini disembunyikannya. Setelah dua tahun pernikahan mereka, makian, pukulan, segala macam tuduhan dari suaminya sudah sering dialaminya, dengan atau tanpa alasan yang jelas. Namun karena malu, dan karena merasa sudah takdirnya menerima akibat dari pernikahan dengan lelaki yang sebenarnya tidak disetujui kedua orang tuanya, dia merasa bahwa sudah wajar kalau dia menanggung derita itu seorang diri. Kasihan, kasihan, kasihan… Bagi saya, inilah salah satu perwujudan pemahaman yang keliru dari “menanggung konsekuensi”. Ini namanya sudah mengambil alih semua tanggungan konsekuensi dengan membabi buta. Yang punya ulah seenaknya saja menjatuhkan beban itu ke pundak si korban, tanpa limit.

Baca Juga :  Cerita Damai dari Bakul Ikan

Singkat cerita, pak Lurah menengahi kasus orang tua si Polan. Bisa kuduga, ibu si Polan tetap memilih rujuk dengan suaminya, apalagi suaminya di depan pak Lurah minta maaf dan janji tidak akan mengulangi ulahnya. Nampaknya win-win solution, ya? Tapi coba lihat, dari waktu ke waktu saya amati ibu si Polan makin jarang saja keluar rumah dan mengurangi kegiatannya di luar rumah. Dia makin pendiam, menyembunyikan pandangannya dari mata orang lain. Tidak pernah ibu si Polan memakai daster lengan pendek lagi, selalu hampir semua bagian tubuhnya tertutup. Mungkinkah ada luka-luka di situ? Sekali-sekali masih terdengar suara-suara yang mengkhawatirkan dari rumah mereka, tapi ibu si Polan menyangkal ada sesuatu yang salah. Saya juga mendengar dari si sulung bahwa si Polan punya masalah akademis dan perilaku di sekolah. Coba tebak apa? Saya tidak akan tinggal diam. Sesuatu harus dilakukan untuk menolong ibu si Polan dan si Polan. Ini bukan lagi masalah keluarga yang pribadi sifatnya. Jika sudah menyangkut keselamatan nyawa seseorang, maka itu sudah menjadi masalah umat. Kebutuhan ibu si Polan bukan lagi mediasi konflik. Dia butuh pertolongan lain sebelum semuanya jadi terlambat belaka…

***************

Banyak kejadian konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan logika matematika sederhana, atau dengan kerangka pikir win-win solution. Kita hidup dalam konteks di mana negara ini, dunia ini (sampai ke lapisan terkecil yaitu keluarga, bahkan ke hubungan antar personal) memuat ketimpangan relasi kuasa antara pihak-pihak yang berkonflik atau yang tidak memiliki keselarasan kepentingan. Kita tidak bisa senaif itu memandang konflik dalam masyarakat kita. Untuk menggunakan logika matematika sederhana dalam mediasi konflik, maka hanya boleh dalam kasus-kasus di mana pihak-pihak yang bertikai memiliki relasi kuasa yang setara, yang aksesnya seimbang terhadap sumber-sumber daya yang diperebutkan. Maka, seimbangkan dulu relasi kuasa dan akses ke sumber daya sebelum mendudukkan pihak-pihak berkonflik ke meja perundingan untuk solusi yang win-win.

Pernahkah terpikir bahwa sejarah pun memuat sendiri ketimpangan-ketimpangannya? Siapa yang membuat dan menyebarkan sejarah? Bukankah pihak-pihak yang berkuasa yang berkepentingan untuk itu? Banyak sekali bagian-bagian dalam sejarah kita yang perlu ditelaah lagi dan diluruskan kepada publik, karena mereka yang dirugikan oleh kampanye hitam sejarah menanggung begitu banyak beban sanksi sosial, politik dan hukum. Mediasi konflik tidak akan pernah adil tanpa memakai informasi sejarah yang benar.

Ketika tafsir hukum agama dan hukum adat tidak dipelajari secara jernih konteks sejarah perumusannya, lalu ketika dalam konteks mutakhir tidak ditafsir ulang dalam kepentingan penyelesaian masalah-masalah masa kini, maka tafsir hukum agama dan hukum adat itu adalah tidak adil dan tidak lagi bisa dipakai untuk mediasi konflik. Semangat menghidupkan kembali “local wisdom” atau nilai-nilai tradisional untuk penyelesaian konflik dalam masyarakat seringkali menjadi salah kaprah dan korban ketidakadilan pun berjatuhan. Perumusan dan pengesahan peraturan daerah dan rancangan undang-undang banyak yang tidak relevan, tidak lagi kontekstual dan menyimpan potensi-potensi konflik yang lebih serius di masa depan.

Ketika pengasuhan dan pendidikan, lalu dunia pekerjaan, masih memakai paradigma memenuhi kebutuhan pasar, maka survival of the fittest, hukum rimba-lah yang berlaku. Yang lemah, yaitu yang tidak terampil, tidak pandai, tidak kuat atau sempurna fisiknya, tidak muda lagi, yang bukan laki-laki, yang bukan anggota dari kelompok mayoritas, yang jauh dari pusat kekuasaan, yang miskin, mereka semua boleh diperlakukan semena-mena. Pada awalnya mungkin tidak ada konflik antara yang kuat dan yang lemah. Atau mungkin memang terjadi konflik-konflik kecil tapi dianggap remeh dan dimediasi dengan win-win solution sama rata yang terburu-buru. Berhati-hatilah, bahkan bara kecil dalam sekam pun menyimpan potensi kebakaran yang dahsyat.

Oleh karena itu, untuk saat ini saya pikir saya tidak mau tergesa-gesa memediasi konflik. Saat ini saya belum mampu. Serangkaian tugas yang masih terlupakan harus dirampungkan dahulu sebelum saya bisa melakukan mediasi konflik. Jadi, kalau saya harus diuji kemampuan memediasi konflik sekarang ini, saya ragu saya akan lulus ujian.

—  Personal is political — 

Depok, 22 Juli 2010

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda