Minat Baca di Desa dan Ketersediaan Perpustakaan di Poso

0
799
Perpustakaan Sophia yang dikelola oleh Institut Mosintuwu. Foto: Dok.Mosintuwu

Sejak Cai Lun membuat kertas pertama sekitar tahun 101 M atau 2.000 tahun lalu, sejak itu juga sejarah dunia semakin terdokumentasi, ilmu pengetahuan maju pesat. Di nusantara, kertas pertama kali di buat di Ponorogo, digunakan para biksu belajar agama Budha di kerajaan Sriwijaya. Baru 7 abad kemudian, abad ke-14 kertas diproduksi di Eropa.

7 abad lebih dulu mengenal kertas daripada bangsa eropa, tidak bikin minat baca tinggi dan akses buku merata, meskipun infrastuktur pendukung membaca di Indonesia disebut sudah baik dalam riset tahun 2016 berjudul World’s Most Literate Nations Ranked oleh Central Connecticut State Univesity. Banyak desa bahkan punya perpustakaan sendiri.

Hari Buku diperingati setiap tanggal 17 Mei. Berselang 24 hari dengan hari buku sedunia yang diperingati setiap 23 April. Jika hari buku sedunia diajukan Unesco 23 April 1995 untuk menghormati para penulis dan buku itu sendiri, di Indonesia diajukan oleh Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar tahun 2002 bersamaan dengan Hari Perpustakaan Nasional yang berdiri 17 Mei 1980.

Di kabupaten Poso juga ada perpustakaan yang secara fisik cukup baik. Gedung luas, ruang baca dengan fasilitas berpendingin udara yang nyaman. Tapi hanya bikin lebih banyak orang swafoto dengan buku ketimbang membacanya.

Tentu bukan hanya yang terbuat dari kertas, dunia digital kini menyediakan bermacam format buku yang bisa diakses dan disimpan diperangkat elektronik. Namun lagi-lagi kemajuan ini belum juga menaikkan minat baca di Indonesia. Padahal membaca adalah langkah pertama untuk mendapatkan pengetahuan.

Rendahnya minat baca juga tergambar dari Survey UNESCO tahun 2020 yang menyebut, hanya 1 orang dari 1.000 orang di Indonesia yang aktif membaca buku. Bandingkan dengan survey wearesocial per Januari 2017 yang menunjukkan warga Indonesia bisa menatap layar gadget hingga 9 jam sehari. Sedangkan rata-rata lama membaca buku hanya 1 jam 23 menit per hari.

Lama menatap layar gadget menunjukkan orang kini lebih percaya sumber-sumber informasi dengan akurasi rendah yang melimpah di internet. Riset tentang kecakapan digital yang dilakukan Kominfo bersama katadata.co.id tahun 2020 dengan 10 ribu orang responden menunjukkan, 76 persen sumber informasi responden adalah media sosial. Adapun website resmi pemerintah hanya 14 persen.

Baca Juga :  Buku dan Kebahagiaan Tersembunyi di Desa

Media sosial juga paling dipercaya yakni 20,3 persen ketimbang website resmi pemerintah yang hanya 15,3 persen.

Literasi tentu bukan hanya kemampuan membaca, tapi bagaimana memilah informasinya menjadi pengetahuan yang penting. Sayangnya pilihan pada media sosial membuat proses memilah informasi yang benar jadi semakin sulit. Apalagi sampai pada tahap memahami isi informasi. Beberapa orang teman diskusi menyodorkan beberapa sumber yang tidak terverifikasi sebagai hal yang dipercayainya.

Perpustakaan Daerah di Poso sepi pengunjung. Foto : Dok.Mosintuwu/Pian

Dewi Mowose, pustakawan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan kabupaten Poso menjelaskan beberapa penyebab, kondisi literasi atau minat baca masyarakat wilayah Kabupaten Poso masih rendah. Pertama, pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Indonesia (PPKM) selama   2 tahun terakhir di kabupaten Poso disebut turut berkontribusi terhadap menurunnya minat baca, termasuk kunjungan ke perpustakaan dan peminjaman buku.

Soal kedua adalah, pemahaman pada sebagian masyarakat, bahwa perpustakaan hanya milik pelajar saja. Pandangan ini jadi semacam tembok pemisah antara perpustakaan dengan masyarakat secara umum.

Ketiga, berkaitan erat dengan informasi mengenai keberadaan perpustakaan itu sendiri. Termasuk diantaranya letak perpustakaan yang tidak berada di jalur utama yang mudah diakses membuat publik sulit menjangkaunya. Tapi sepertinya ini problem yang sangat kecil, mengingat teknologi pencari alamat sudah begitu canggih.

Pendapat lain dikemukakan Floris Frindiani. Pustakawan di SMK GKST 2 Tentena. Flori menuturkan, masalah utama literasi pelajar di sekolah erat kaitannya dengan ketersediaan bacaan yang menarik minat. Menurutnya, pelajar lebih menyukai novel dan komik. Namun, perpustakaan sekolah belum menyediakan bacaan seperti itu. Ditempatnya hanya tersedia buku pelajaran saja, sehingga kurang menarik minat.

“Kebanyakan sekarang, siswa suka baca novel , komik. Nah, sedangkan di sini di dalam perpustakaan ini kebanyakan buku pelajaran semua . Kebanyakan siswa yang masuk sini bertanya ada buku ini? oh tidak ada, semua buku pelajaran di sini” ujarnya.

Baca Juga :  Jika Bahasa Pamona Hilang, Peradabannya Ikut Serta

Selain sekolah dan kampus, di Tentena ada beberapa perpustakaan komunitas. Salah satunya, Perpustakaan Rano Poso, berlokasi dibelakang kantor Sinode GKST di kelurahan Sangele, kecamatan Pamona Puselemba. Meski punya buku beragam, sayangnya saat kami berkunjung, sedang tutup. Seorang warga yang tinggal tidak jauh dari gedung perpustakaan menuturkan, layanan perpustakaan itu sudah tutup setahun yang lalu. Tidak ada lagi aktivitas sejak pemilik bangunan pindah.

Perpustakaan Keliling, Ruang Literasi Anak.

“Anak-anak di desa bukannya suka melihat hp saja , tapi mereka tidak punya alternatif lain” demikian alasan ibu Rini dalam salah satu workshop pegiat perpustakaan keliling yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu. Meskipun tidak menafikan kecenderungan anak-anak di desa lebih tertarik pada gadget, menurutnya harus ada alternatif lain yang juga menarik disediakan bagi anak-anak. Buku salah satunya. Rini melanjutkan bahwa kita tidak bisa menyalahkan anak-anak yang cenderung tergantung pada gadget jika tidak ada alternatif lain yang ditawarkan pada anak-anak di desa untuk berkembang.

Perpustakaan Keliling di desa-desa yang dikelola Institut Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu

Buku-buku yang dibawa oleh perpustakaan Sophia pada awalnya dijadikan sebagai alat untuk membuat anak-anak paska konflik Poso yang berbeda agama bisa bertemu satu sama lain. Anak-anak bertemu di lokasi tempat perpustakaan keliling berada, mereka saling berbagi buku bacaan hingga akhirnya bermain bersama dan berteman. Saat proses perdamaian masyarakat akar rumput di Poso terbentuk , buku-buku kemudian berfungsi menjadi ruang literasi bagi banyak anak-anak di desa-desa. Metode perpustakaan keliling kemudian dipertahankan oleh Institut Mosintuwu sebagai salah satu cara untuk mengembangkan literasi bagi anak-anak.

Di Desa Pinedapa misalnya, kedatangan puluhan buku setiap bulannya yang dibawa dari Perpustakaan Keliling Sophia selalu merupakan hal yang ditunggu. Ibu Widya  berulangkali menelpon jika anak-anak menantikan buku baru saat buku-buku sebelumnya belum digantikan. Maklum, di desa-desa seperti di Pinedapa dan Tiwaa, Kecamatan Poso Pesisir jenis buku anak-anak sangat sulit diakses. Anak-anak hanya pernah melihat buku pelajaran di sekolah.

Baca Juga :  Kampung Literasi Perdamaian di Poso

“ Buku yang dibawa kakak dari Perpustakaan Sophia banyak gambar dan banyak ceritanya” komentar salah satu anak yang selalu hadir setiap kali perpustakaan keliling dibuka.

Sejak pertama kali perpustakaan keliling dilakukan tahun 2012, buku-buku yang diorganisir melalui donasi para pegiat literasi ini telah menjumpai lebih dari 10.000 anak di Kabupaten Poso. Saat ini terdapat 15 perpustakaan keliling yang dikembangkan di desa-desa di Kabupaten Poso diorganisir oleh anggota sekolah Pembaharu Desa Institut Mosintuwu.

Jana, dari Pamona menceritakan pengalamannya saat pertama kali mendengar ada perpustakaan keliling.

“Pertama kali melihat buku cerita yang beda dengan buku pelajaran, saya jadi lebih berminat baca buku. Saya ajak adikku di rumah supaya ada kegiatan. Hingga sekarang saya masih ingat cerita tentang kelelawar yang ternyata punya fungsi untuk menyerbukkan beberapa tanaman di hutan-hutan”

Bukan hanya membawa buku, perpustakaan keliling juga menawarkan aktivitas lainnya bagi anak-anak yang datang membaca buku  seperti menulis dan menggambar. Kegiatan dan aktivitas yang sepertinya biasa ini bagi sebagian orang tua yang mengantar anaknya untuk membaca disebut sebagai kegiatan yang membuat anaknya teralihkan dari layar telepon.

“Harus lebih banyak buku-buku perpustakaan di desa” demikian kata ibu Widya.

Namun bukan sekedar buku. Buku-buku perpustakaan di desa perlu jenis buku yang berkualitas baik dalam bentuk cerita maupun bentuk sehingga bisa membuat anak-anak dapat mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya. Elka, pegiat perpustakaan Sophia di Institut Mosintuwu menemukan bahwa buku-buku yang ada di desa seringkali membuat anak-anak lebih aktif dengan cara menceritakan buku yang dibacanya pada yang lain dengan imajinasinya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda