Kita Mengingat Lebih Banyak Daripada Yang Dapat Kita Katakan

0
1755
Pdt. Chella Marunduh dari Tentena bersama teman baiknya Masna dari Tokorondo. Foto : Sue Useem

Problema

Ada keprihatinan saat ini bahwa generasi masa kini abai terhadap sejarah masa lalu bangsa ini. Jangankan lupa pada perjuangan bapak-bapak bangsa dalam mewariskan kemerdekaan bagi generasi berikutnya. Terhadap peristiwa tsunami Aceh di akhir 2004, gempa Jogja (2006), luapan Lumpur Lapindo (2006), berbagai peristiwa kekerasan, hingga proses pelecehan hukum dalam kasus penggelapan pajak hingga pengebirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semua itu dengan mudah terlewatkan dalam pembicaraan sehari-hari setelah habis tayang di media massa. Ada kesan keterputusan sejarah masa kini dengan masa lampau sekalipun penanda-penanda masa lalu, situs-situs ingatan, atau meminjam istilah Inggrisnya Pierre Nora, the sites of memories (les lieux de mémoire), seperti monumen-monumen, museum, koran dan sebagainya ada di mana-mana. Istilah ‘sejarah’ dalam hal ini tidak mengacu pada ilmu sejarah atau penulisan sejarah, tetapi sebagai narasi/ingatan kolektif bangsa. Persoalan ini tentunya bukan unik bagi bangsa Indonesia tetapi menggejala di mana-mana.[1] Bangsa Jepang mengeluhkan generasi muda yang lupa dengan semangat bushido. Bangsa Jerman mengeluhkan lahirnya Neo-Nazisme di kalangan anak muda yang dengan sengaja mengabaikan kejahatan Nazisme di masa lalu. Di pihak lain, justru ada pengingatan yang berlebihan (excessive memorialization), terutama dalam peristiwa traumatik, di mana subyek dihantui terus menerus akan kenangan kekerasan fisik, aib, dan penghinaan di masa lalu. Bahaya terbesar dalam kondisi ini bukanlah proses mengenang atau mengingatnya, melainkan pengulangan yang obsesif terhadap kenangan itu sehingga memengaruhi sikap hidup dan pandangannya terhadap dunia.[2]

Tentu saja salah satu penjelasan yang masuk akal adalah pengalaman yang historis maupun traumatis tidak dapat dialih turunkan kepada orang lain yang tidak mengalaminya. Seberapapun hebatnya peristiwa traumatik perang kemerdekaan Indonesia beserta konflik-konflik bersenjata selanjutnya, perang melawan pemberontak-pemberontak negeri, konfrontasi Malaysia, peristiwa 65, dan berbagai peristiwa besar sesudahnya, tidaklah dapat dirasakan begitu saja oleh orang yang tidak mengalaminya apalagi oleh generasi belakangan. Ada konteks tertentu yang dibutuhkan agar simpati, empati, maupun vicarious memorization dapat diharapkan timbul dari peristiwa-peristiwa tersebut. Ingatan sebagai pengetahuan tentu saja dapat ditularkan, dibagikan dan dikonstruksikan bagi kepentingan bersama, namun karena ia menentukan identitas individu dan kelompok maka pastilah ingatan tidak bisa sekedar pengetahuan melainkan bagian dari sistem pemaknaan dan tindakan.

Persoalan yang ingin dicoba dieksplorasi dalam makalah ini adalah persoalan jurang yang memisahkan antara ingatan kolektif dan ingatan generasi masa kini. Jurang ini tidak hendak dijelaskan semata-mata dari kekuasaan yang memroduksi ingatan kolektif tertentu, seperti yang menjadi perhatian karya semacam Ariel Heryanto (dan para Indonesianis Barat).[3] Sebaliknya jurang itu hendak dicari penyebabnya dari wacana ingatan kolektif itu sendiri. Bukan maksud tulisan ini untuk mencari landasan teori baru tentang ingatan tetapi untuk memeriksa dampak wacana tersebut dalam pembicaraan ingatan di era posmo saat ini. Istilah posmo beserta perdebatannya bukan pula menjadi minat makalah ini yang tentunya dapat dicari penjelasannya yang jauh lebih memadai pada buku-buku lain. Posmo semata ditampilkan sebagai penanda atas modus hidup tertentu atau bahkan sebagai babakan masa kini. Namun demikian tentu saja ada ciri-ciri (ideologis) tertentu posmodernisme yang akan diangkat karena dianggap relevan dengan kajian singkat ini.

Kondisi ingatan

Tampaknya wajib hukumnya untuk menengok karya Maurice Halbwach jika ingin berbicara soal ingatan kolektif. Dalam kritiknya terhadap pendekatan individual atas kajian ingatan (pendekatan psikoanalitik), Halbwach menyatakan bahwa ingatan adalah konstruksi sosial. Seberapapun individualistiknya suatu ingatan berproses, ingatan itu haruslah pertama-tama berada dalam konteks sosial tertentu, diekspresikan dalam simbol-simbol sosial sehingga dapat dimengerti bukan saja oleh orang lain tetapi juga oleh diri sendiri sebagai makhluk sosial. Lebih dari itu, bagi Halbwach, ingatan individu bersifat fragmentaris sedemikian sehingga proses mengingat adalah tindakan sosial di mana suatu ingatan barulah utuh jika diungkit melalui relasi dengan individu yang lain dalam sebuah konteks sosial.[4] Sebaliknya, sebab posisi yang diametral berbeda dengan pendekatan di atas adalah ingatan a la psikoanalitik Freud.  Model ini menyarankan ingatan sebagai suatu ‘gudang bawah tanah’ tempat seluruh stimulus dan ingatan tersimpan, dan karenanya ingatan individu dipandang utuh pada dirinya.

Ingatan sebagai konstruksi sosial merupakan gagasan yang amat penting karena membuka ruang bagi pengertian kita soal dampak-dampak sosial masa lalu terhadap masyarakat masa kini. Juga kekuatan dari gagasan Halbwach ini terletak pada keyakinannya bahwa ingatan kolektif lahir karena kebutuhan sosial saat ini dengan mengambil masa lalu sebagai simbol yang diolah demi kepentingan sekarang (presentist-concern).

Karena alasan-alasannya sendiri, bagi sebagian orang gagasan ingatan kolektif disarankan untuk dikaitkan dengan ‘ingatan kultural’ (cultural memory)[5], ‘ingatan publik’ (public/common memory)[6] atau bahkan ada istilah community of memory. Tetapi perdebatan soal istilah ini bukan menjadi perhatian utama dalam makalah ini melainkan ketegangan antara ingatan sebagai proses individual dan sebagai proses sosial, yaitu antara ingatan personal dan komunal. Diskusi tersebut diharapkan dapat menjelaskan jurang yang menjadi keprihatinan di atas.

Proses mengingat secara individual yang menjadi perhatian utama psikoanalisa tidak akan dibahas terlalu jauh dalam makalah ini.[7] Secara sederhana menurut psikoanalisa, suatu ingatan haruslah dikodekan (encode) sehingga ia bisa disimpan (store) dan nantinya dapat dipanggil kembali (retrieve). Jika tidak melalui proses pengkodean maka pasti stimulus perseptual tertentu tidak akan diingat dan karenanya tidak bisa dipanggil kembali. Tampaknya proses pengkodean semacam ini adalah proses yang tidak terlepas dari model sosial, yaitu simbolisasi, pencitraan sosial dan penggunaan bahasa untuk mengekspresikannya. Pengkodean inilah yang memungkinkan terjadinya aktivasi ingatan dalam arena sosial. Sebab proses ini mensyaratkan adanya protokol yang sama sehingga dapat dimengerti oleh individu yang teraktivasi ingatannya dan oleh reaksi individu lain dalam relasi sosial.

Gagasan psikoanalisa lainnya yang relevan dalam diskusi ini adalah bahwa seorang individu cenderung akan berusaha melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Sayangnya pengalaman semacam itu tidak terbuang begitu saja tetapi tersimpan di ‘gudang bawah tanah’ kesadarannya. Inilah yang disebut dengan ingatan yang ditindas (repressed memory). Lebih buruk lagi, ingatan yang ditindas ini justru mempengaruhi tingkah laku individu tersebut tanpa disadarinya. Tetapi di lain pihak, melalui ‘pembacaan’ tertentu atas perilaku tersebut terbuka peluang untuk mendeteksi variasi ingatan tertentu dalam konteks ingatan kolektif seperti yang saya coba tunjukkan melalui gagasan aktivasi di bagian berikut. Kajian yang dilakukan oleh René Girard soal budaya kekerasan dan pengkambing hitaman korban bisa membantu dalam cara membaca secara Freudian atas gejala sosial kekerasan. Secara sederhana Girard mengatakan bahwa semua mitologi bangsa-bangsa menyembunyikan kekerasan terhadap kelompok atau individu tertentu, biasanya orang-orang cacad, penjahat-penjahat, tukang-tukang sihir, dan perempuan. Dan puncak memorialisasi kekerasan tersebut, lanjut Girard adalah melalui ritus pengorbanan kambing hitam yang berfungsi mengharmoniskan ketegangan sosial yang ada. Jadi dapat disimpulkan dari kajian Girard ini bahwa ingatan kekerasan masa lalu tidak bisa hilang begitu saja dan meninggalkan jejak melalui kisah-kisah mitologi dan ritus-ritus tertentu, baik oleh kelompok korban maupun pelaku. Urusan ingatan bukanlah melulu urusan kekinian seperti yang disarankan Halbwach, tetap modusnya berakar jauh di masa lalu, sekalipun sudah mengalami transformasi ribuan kali. Jadi di sinilah pendekatan individual dan kolektif atas ingatan dapat bekerja sama.

Baca Juga :  Literasi Bencana : Modal Hidup di Negeri Cincin Api

Pra-anggapan saya dalam makalah ini adalah ingatan tetaplah merupakan produk sosial meskipun dalam banyak hal diproses secara individual dan sebagai pengetahuan diinternalisasi dalam individu. Namun, perlu untuk mempertimbangkan ingatan sebagai ingatan individual dalam dialog dengan narasi komunal terutama fungsinya sebagai ‘pengganggu’ narasi/ingatan kolektif yang terlalu dominan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Michael Billig, bahwa bentuk ingatan kolektif juga ditentukan secara ideologis.[8] Maka jika ingatan kolektif juga berciri ideologis, ia perlu selalu ditandingi alternatif wacana yang bisa jadi berpotensi lahir/bermula dari ingatan individual.

Persoalan dalam Ingatan Kolektif

Konotasi ‘kolektif’ dalam istilah ‘ingatan kolektif’ membawa beberapa persoalan. Pertama-tama, jika dilihat dalam konteks posmodern saat ini ketika makna ‘kolektifitas’ menjadi demikian dinamik, multikompleks dan multilateral. Di manakah dapat disebut dengan meyakinkan batas-batas komunitas dan kolektifitas dalam konteks zaman yang serba tidak stabil ini?

Seringkali digagas soal ‘ruang publik’ (public sphere) sebagai ‘ruang bersama seluruh komponen sosial.’ Dalam dunia nyata yang terjadi adalah pembagian ruang publik menjadi ruang-ruang publik kecil (public sphericules).[9] Ruang publik kecil ini bisa saja terbentuk dari kelompok sosial yang mapan dan tradisional berbasis etnisitas tertentu di tempat tertentu. Tetapi kebanyakan justru terjadi pembentukan ruang oleh individu-individu berdasarkan minat, ideologi, hobi, dan kepentingan bersama. Individu-individu ini berasal dari mana saja dan tidak selalu bertemu secara fisik di suatu tempat fisik. Dalam dunia internet ada jutaan milis dan blogs sebagai tempat pertemuan baru menggantikan yang fisik. Facebook, Twitter, E-mail, Friendster, messengers, teleconference dan layanan chatting, SMS, MMS, memberi dimensi baru dalam berkomunikasi dan ekspresi identitas diri bagi banyak orang. Alih-alih menjadi community of memory yang terjadi adalah virtual community. Apakah makna komunitas dan kolektivisme dalam konteks semacam ini? Tentu saja bukannya tidak ada komunitas basis dan faktual, tetapi makna ‘kolektif’ dan ‘komunitas’ perlu dikonstruksi ulang.[10]

Kenyataan di atas membawa pada persoalan berikut yaitu dengan apa suatu kolektivitas ditopang? Dengan apa suatu ingatan kolektif lestari? Salah satu jawabannya adalah adanya relasi kekuasaan dan otoritas atas ingatan tersebut. Sebab dalam konstruksi Durkheimian atas ingatan, ingatan individual hanyalah fragmen dari ingatan bersama. Maka dalam banyak masyarakat, terutama masyarakat tradisional, kendali atas ingatan itu dan interpretasinya terletak pada otoritas dan hirarki kelompok, agama, dan tua-tua (kenyataan yang diakui secara implisit oleh Halbwachs juga).[11] Dalam masyarakat Bugis misalnya, yang merupakan masyarakat kognatis (cognatic society) di mana wibawa keturunan berasal dari kedua belah pihak orang tua seorang Bugis, hirarki ingatan akan nenek moyang sangatlah menentukan dan peranan tetua adat sangat penting untuk klarifikasi ingatan tersebut.[12] Demikian juga dalam tradisi keagamaan Islam yang mempunyai teknik-teknik cara menghafal ayat dan irama lantunan bacaan Qur’an, memastikan proses ini berjalan dengan semestinya melalui kendali para petinggi keagamaan. Dalam masyarakat moderen, kendali atas otoritas dan interpretasi ingatan bisa jadi berada di tangan penguasa, kaum elit komunal, dan kaum cendekiawan (terutama para sejarahwan). Berlawanan dengan gagasan Marx, dalam konteks ini kaum yang sadar sejarah adalah justru penguasa, bukan proletar.

Namun sekali lagi, kondisi di atas hanyalah salah satu penjelasan dari dampak ingatan kolektif. Tentu saja dibalik itu juga ada proses sejarah kelompok yang rumit, pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan kolektif yang membentuk ingatan tertentu, dan cara mengingat/melupakan yang berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya lainnya di masa yang berbeda-beda. Tetapi yang mau saya tunjukkan adalah proses itu tidaklah naif dan dalam konteks ingatan kolektif suatu bangsa proses ini adalah proses menjadikan narasi tertentu menjadi narasi utama (dominant reading). Jadi bagi seorang Aceh, karena berwarga negara Indonesia suka tidak suka mengacu pada ingatan kolektif penjajahan Belanda tiga setengah abad di Indonesia sekalipun Aceh baru bisa ditaklukan Belanda di awal abad 20. Ingatan kolektif pembebasan diri dari kolonialisme Spanyol tahun 1898 oleh orang Filipina yang berbahasa Tagalog tidak dapat di-share oleh etnik Cina, penduduk pegunungan Cordillera dan orang-orang Moro, karena memang mereka tidak terlibat peristiwa 1898 itu.[13]

Persoalan kedua adalah karena ingatan kolektif adalah ingatan puncak dari berbagai ingatan-ingatan individual maka ada proses peringkasan dan pengabaian elemen-elemen unik yang terdapat pada ingatan individual. Ingatan kolektif menyerap kepelbagaian ingatan individual atau kelompok kecil ke dalam tema ingatan bersama yang lebih besar. Terjadi seleksi dan pelupaan atas ingatan-ingatan tertentu. Fungsinya jelas, yaitu untuk membangun koherensi internal narasinya dan menjamin kesinambungannya. Menurut Halbwachs, hanya mimpilah yang yang tidak dikonstruksi sosial, alasannya adalah karena mimpi inkoheren, inkonsisten, terfragmentasi dan fantastik.[14] Jadi di dalam konstruksi sosiallah ingatan dilupakan dan ditindas, menghilang dan dihilangkan, dan tidak dibicarakan. Demikianlah proses penciptaan mitos, yaitu fenomena realitas dan pengalaman yang demikian rumit diringkas menjadi narasi yang runtut dan jelas siapa the good and the bad guys-nya. Biasanya pihak yang menjadi the bad guys dalam kenyataan sosial menjadi individu dan kelompok sosial yang dianiaya oleh pemegang narasi utama. Misalnya seperti peristiwa pasca 65 dan masa lalu narasi milik PKI telah mengalami “pengusiran dari ingatan kolektif” oleh penguasa Orba dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang mengakibatkan penindasan bagi mereka yang dianggap PKI.[15]

Tidaklah mengherankan jika ingatan kolektif mewacanakan peristiwa-peristiwa ‘besar’ bersama dan mengonstruksi keyakinan/ideologi bahwa semua pengalaman individual sebagai pengalaman bersama. Ingatan komunal menjadi transkrip utama (public transcript) ingatan bersama. Agar masa lalu menjadi masa lalu bersama maka harus terjadi proses homogenisasi (paling tidak parsial) dari masa lalu tersebut. Ini juga menyebabkan adanya seleksi, paling tidak dalam level individu. Sebab ingatan-ingatan individual harus berkonformitas (membangun kesepakatan-kesepakatan) dengan kepentingan kelompok atau masing-masing berupaya terhubung dengan ‘bahasa’ yang sama.

Sub-tema-sub-tema seperti wacana pembantaian 65 dengan mudah ditindas oleh wacana Orde Baru tentang pengkhianatan Pancasila dan penyelamatan bangsa dari bahaya komunis. Sub-tema pengkhianatan di kalangan eks-Tapol 65 dengan mudah akan terendam dalam tema besar victimization eks-Tapol. Wacana artikulatif para korban 65 dengan mudah menekan wacana tacit memorizing para korban lainnya yang karena berbagai alasan memutuskan untuk diam. Sebab ingatan kolektif semacam ini tidak lepas dari pertarungan ideologi dan politik. Tampaknya pula ada lapis-lapis ingatan kolektif yang saling bertarung.

Baca Juga :  Mencari Air : Seperti Padang Pasir di Bukit Bambu

Ingatan kolektif ditangan penguasa atau budaya dominan seringkali berubah menjadi apa yang disebut oleh Paul Thompson dan Raphael Samuel sebagai ‘constructive myth.’[16] Mitos yang diciptakan ini berfungsi untuk mengonsolidasikan identitas di sekitar penanda tertentu, seperti kejayaan, kemenangan maupun kekalahan masa lalu dan sebagainya. Tetapi ia juga berfungsi untuk mendiskriminasikan siapa yang terhisab dalam community of memory tersebut dan mereka yang berada di luarnya. Contoh yang baik adalah gagasan Negara Kesatuan I (Sriwijaya) dan II (Majapahit) dalam rangka untuk melegitimasi keberadaan etnik-etnik (terutama di luar Jawa) dalam konsolidasi Republik Indonesia yang sekarang ini. Bukan saja narasi ini tidak dialih turunkan dalam tradisi, sekalipun tentu saja ada ingatan tertentu yang dijaga, tetapi ia adalah ciptaan baru dari rezim Orde Baru. Contoh lain adalah narasi tentang Masada di Israel. Masada adalah benteng pertahanan terakhir dari pejuang bangsa Yahudi dalam melawan penjajahan Romawi di abad pertama. Masada tentu saja ada dalam sejarah bangsa Yahudi, tetapi tidak pernah menjadi acuan dalam ingatan kolektif mereka. Ia baru diangkat menjadi ikon perjuangan setelah Zionisme hadir di Palestina dan merasakan permusuhan dari orang-orang Arab di sekitarnya. Maka Masada berubah menjadi simbol pertahanan terakhir bangsa Yahudi di Israel dari musuh-musuhnya dan menyarankan negeri Israel yang harus dipertahankan habis-habisan. Ada sebuah kartu pos yang bergambar Masada yang di situ tertulis, “Masada shall not fall again.”[17] Tentu saja mitos semacam ini memberi bahan bakar bagi konflik Israel-Palestina. Demikian juga dengan sebagian kecil kelompok Islam garis keras yang terus menerus menghubungkan konflik Islam-Kristen di Indonesia dengan Perang Salib Eropa melawan Islam di abad 11-14 lalu. Di sinilah pentingnya ilmu sejarah sebagai mediator akan apa yang direpresentasikan sejarah masa lalu dengan persepsi masa kini.[18]

Cukuplah untuk ditunjukkan bahwa pemaknaan atas ingatan kolektif jauh dari netral dan bahkan memberi potensi pada pelestarian dominasi-dominasi tertentu. Kedua, menjadi tanda tanya jika ternyata ada banyak ingatan yang ditindas muncul kembali setelah ada perubahan latar sosial. Dari sumber manakah ingatan tertindas itu bisa muncul?

Kembalinya Yang Tertindas (The Return of the Repressed)

Tampaknya ingatan tidaklah sepenuhnya bersifat sosial. Dalam kasus traumatik, yang terluka bukan saja relasi sosial, tetapi juga jiwa para korban. Bahkan ia juga memberi bekas yang dalam bagi para pelakunya. Maka ia tidak saja berada dalam ruang sosial tetapi juga individual. Luka tersebut bisa jadi bersembunyi dalam tumpukan ingatan-ingatan lainnya, tetapi ia di transfer (bahkan kepada keturunannya) tanpa kata-kata, tanpa bahasa, tanpa kerangka sosial. Ia hanya bisa dibaca jejak-jejaknya melalui postur identitas tertentu, yang memang bisa disebut dalam relasi sosial, tetapi sumbernya tetap berada dalam psyche seseorang/sekelompok orang.

Salah satu dari tiga tokoh dalam film “Everything is Illuminated” adalah Alexander Perchov. Berbeda dari sikap dua tokoh lainnya, Jonathan Safran Foer dan kakek Alex yang juga bernama Alexander (“Baruch” Perchov). Alex adalah produk manusia (post) modern. Ia, sebelum mendapatkan “pencerahan” (illuminated) beranggapan bahwa “masa lalu adalah masa lalu … dan seperti segala sesuatu yang bukan masa kini, ia harus dikubur …” Tetapi setelah ia menapak tilasi sejarah masa lalu Safran, ia mendapati kembali identitasnya yang terhilang sebagai seorang keturunan Yahudi. Tidak banyak dikatakan dalam film tersebut tentang apa yang ia ketahui sebenar-benarnya di masa lalu. Ia hanya tahu bahwa kakeknya adalah penduduk Brod yang selamat dari pembantaian. Tetapi hasil akhirnya jelas … ia mengidentifikasi dirinya sebagai Yahudi. Jadi bukan masa lalu yang menjadi minatnya tetapi transformasi diri setelah masa lalu itu diaktivasi.

Aktivasi ingatan menyarankan pengkodean baru atas ingatan. Ia adalah interpretasi, atau reinterpretasi atas ingatan. Kapan ia hadir, diartikulasikan, dan dimaknai sangat bergantung pada konteks sosial tertentu, tetapi materialnya ditarik dari berbagai sumber misalnya ingatan yang ditindas, dari inter-community memory, pengetahuan di luar dirinya, keluarga dan lingkungannya dan dari ingatannya sendiri. Di sinilah saya mau menyodorkan kembali pentingnya ingatan pribadi yang menurut pendekatan psikoanalitik, berada dalam reservoir besar yang berisi berbagai ingatan masa lalu. Tentu saja reservoir ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi jelaslah ia cukup independen dari ingatan kolektif. Aktivasi ingatan mengandaikan kehadiran modal ingatan untuk dipakai sebagai medium kepentingan diri di masa kini, yang belum tentu langsung berurusan dengan kepentingan komunitas. Konfrontasi dengan masa lalu merupakan urusan kekinian.

Kedua, bisa jadi pelupaan oleh ingatan posmo sebenarnya adalah bentuk pengelakan dari sihir narasi besar atau sejarah dominan yang represif. Tetapi pengelakkan ini seringkali mengorbankan narasi kecil dan ingatan pribadi. Subyeknya sendiri menjadi korban pelupaan. Sebab sekalipun ada ingatan kolektif yang dibentuk oleh narasi/sejarah dominan dan represif, tema ingatan itu sendiri di-share oleh sejumlah besar subyek yang didominasi itu meskipun dialami dan dikontestasi dengan tingkat yang berbeda-beda. Akibatnya generasi yang tidak mengalaminya (dan sebutlah terjangkiti virus amnesia a la posmo) ketika teraktivasi ingatannya mau tidak mau menggambarkannya seperti citra-citra yang sudah dihadirkan oleh narasi dominan tersebut. Bedanya adalah dengan tema ingatan yang sama, generasi ini menggambarkan dengan cara yang berbeda atau melakukan revisi bahkan dekonstruksi terhadap tema tersebut.

Ketiga, ingatan posmo tidak mengejar quasi-presence, seperti tokoh Pursy Lane dalam film A Love Song for Bobby Long yang tidak menghadirkan ibunya di sepanjang film itu selain mengumpulkan serpih-serpih narasi tentangnya. Seakan-akan proses mengingat kembali ibunya melalui berbagai artefak yang ditunjuk atau disajikan oleh teman-teman ibunya berfungsi untuk menutupi lubang-lubang besar dalam eksistensi dirinya daripada sebagai bahan untuk membangun dunia masa lalu ibunya. Dalam film tersebut memang tidak ada adegan yang menggambarkan ibunya seperti apa (misalnya melalui foto) maupun adegan kilas balik. Ibunya semata di gambarkan dalam mental para tokoh (dan para penonton) melalui percakapan dan artefak yang dihadirkan. Tetapi karena pengalaman tak dapat ditularkan (transmisikan) maka ingatan kolektif ini pada satu tingkat terhilang/dihilangkan. Ini yang dapat menjelaskan sebagian atas gejala putus hubungannya generasi 80an pada peristiwa-peristiwa traumatik masa lalu.. Tetapi ingatan tak dapat dipisahkan dari konteks moral. Dimensi morallah yang memungkinkan empati terjadi. Identifikasi dari generasi muda terhadap korban menjadi titik pergeseran dari yang semula pada pelaku sekarang pada diri sendiri. Dalam kasus 65 melalui performing art dari para penggagas “September Something”, identifikasi pada semua penanda ‘korban’ (singkatan Cakrabirawa, Gerwani, lambang palu arit, dsb) melalui language games, adalah contoh ‘upaya’ identifikasi semacam itu. Penanda ‘korban’ tidak lagi dialergi tetapi bisa jadi dianggap sebagai simbol yang cool dan keren abis. Sebuah ‘upaya’ karena merekapun tunduk pada genre posmo yang sangat mudah berganti (switch) antar konteks. Yang terjadi adalah inter-communal / inter-collective memory dan dekonstruksi ingatan kolektif. Seperti juga yang telah dilakukan oleh seorang seniman Yahudi, Edith Altman dalam pameran seni instalasinya yang bertema “Reclaiming the Symbol/The Art of Memory, an Installation by Edith Altman.” Ia berujar:

Baca Juga :  Melawan Ketidakadilan Demi Cita-cita Kemerdekaan

the swastika loomed in my memory as a fear-producing image of my experience – of my people’s experience – of victimization …I needed to wrestle with it to transform this fear, and to go through the dark while never forgetting its lessons … By taking the swastika apart, by deconstructing its meanings and disempowering it, I hoped to change its fearful energy … My art is a healing ritual through which I want to extract evil from the symbol to restore its validity as a positive symbol, to allow it to regain its age old position in culture.[19]

Dalam pameran ini Edith Altman dengan sengaja memakai simbol-simbol Nazi Jerman seperti lambang Swastika dengan maksud mendekonstruksi (ingatan kolektif) tentang simbol kejahatan melawan kemanusiaan yang diwakilkan oleh Swastika. Caranya adalah dengan membangkitkan kembali (ingatan positif) akan simbol tersebut yang semula melambangkan dinamika dan daya hidup.

Penutup

Pentingnya mempertimbangkan ingatan sebagai proses internal seorang individu dalam konstruksi sosial di luar individu, membantu ‘menyelamatkan’ ingatan agar tidak begitu saja (meskipun hal ini selalu berjalan demikian) jatuh atau diklaim menjadi ingatan sosial/bersama (social memory/collective memory) atau diringkas sebagai narasi sosial. Ingatan interior semacam ini memberi ruang bagi mengingat dalam diam (tacit memorialization). Di tengah eforia para korban dan tapol peristiwa pasca-65 untuk mengekspresikan pengalaman mereka yang selama ini ditekan oleh narasi besar Orde Baru, tetap saja ada sekian banyak korban yang memutuskan untuk diam dan mengingatnya dengan cara mereka sendiri. Tacit memorialization mengindikasikan bahwa peristiwa traumatik berimplikasi dalam bagi pribadi tersebut tetapi tidak mau/mampu diungkapkan. Peristiwa kekerasan traumatik seringkali dampaknya luar biasa bagi para korban, (bahkan juga bagi pelaku) sedemikian sehingga tidak ada rumusan untuk mengungkapkannya. Ingatan individual seringkali menolak untuk berpartisipasi dalam ingatan kolektif. Di samping itu toh sebenarnya, memelesetkan kata-kata filsuf Michael Polanyi, “kita mengingat lebih banyak daripada yang dapat kita katakan!”

Ada ingatan yang diekspos di situs sosial, ada yang tersembunyi yang ‘menanti’ untuk di aktivasi. Atau memang ada ingatan yang selamanya hanya untuk kepentingan sendiri, bukan untuk publik. Di titik inilah ingatan berhenti dan diam, tetapi bukan non-eksis. Seperti yang diperkirakan oleh J. Oppenheimer, perancang bom atom, tentang dunia setelah ia dan proyek Manhattan-nya berhasil melakukan ujicoba pertama bom atom di Alamagordo, “We knew the world would not be the same. A few people laughed, a few people cried. Most people were silent.

Jogjakarta, June 2006



[1]     Salah satu ulasan mengenai kultur amnesia misalnya karya Andreas Huyssen, Twilight Memories: Marking Time in a Culture of Amnesia (London & New York: Routledge, 1995).

[2]     Band. Paul Ricoeur, “Can Forgiveness Heal?” dalam The Foundation and Application of Moral Philosophy. Ricoeur’s Ethical Order, ed. Hendrik J. Opdebeeck (Leuven: Peeters, 2000), h. 31-36.

[3]     Dalam State Terrorism and Political Identity in Indonesia. Fatally Belonging (London & New York: Routledge, 2006), mis. h. 162.

[4]     On Collective Memory, terj. Lewis A. Coser (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1992), inter alia h. 42.

[5]     Lih. Marita Sturken, Tangled Memory: The Vietnam War, the AIDS Epidemic, and the Politics of Remembering (Berkeley, etc.: University of California Press, 1997), h. 3-7.

[6]     Gagasan Tzvetan Todorov. Lih. François-Xavier Lavanne, Virginie Renard, dan François Tollet, “Fiction, Between Inner Life and Collective Memory. A Methodological Reflection,” The New Arcadia Review 3 (2005): 2 n 7.

[7]     Yaitu berbagai proses seperti mengingat nama, melupakan peristiwa, teknik-teknik menghafal, false recollection, false memory, dan sebagainya. Baik jika kita dapat membaca karya klasik Sigmund Freud, Psychopathology of Everyday Life, terj. A.A. Brill (London: T. Fisher Unwin, 1914), dapat diakses di http://psychclassics.yorku.ca (Classics in the History of Psychology).

[8]     Michael Billig, “Collective Memory, Ideology and the British Royal Family,” dalam David Middleton dan Derek Edwards (ed), Collective Remembering (London, etc.: SAGE Publishing, 1990), h. 60.

[9]     Gagasan public sphericules saya dapatkan dari Todd Gitlin dalam artikelnya, “Public sphere or public sphericules?” dalam Tamar Liebes dan James Curran (ed), Media, Ritual and Identity (London & New York: Routledge, 1998), h. 168-174.

[10]    Pengguna internet di Indonesia hanya berkisar 25 juta dari 230 juta penduduk Indonesia (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2007), ditambah dengan pengguna telepon genggam yang lebih meluas.

[11]    Lih. Halbwachs, h. 48.

[12]    Lih. Christian Pelras, “Ancestors’ blood: genealogical memory, genealogical amnesia and hierarchy among the Bugis,” dalam The Potent Dead: Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia, disunting oleh Henri Chambert-Loir dan Anthony Reid (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2002), 117-131.

[13]    Greg Bankoff, “Selective Memory and Historiography and the Philillipine Centennial of 1898,” Bijdragen 157 (2001): 542.

[14]    Halbwachs, h. 41-42.

[15]    Lih. Victor Karady, “Jewish Entrepreneurship and Identity under Capitalism and Socialism in Central Europe: The Unresolved Dilemmas of Hungarian Jewry,” dalam David Chirot dan Anthony Reid (ed), Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe (Seattle & London: University of Washington Press, 1997), 144, tentang komunitas Yahudi Hungaria yang terusir dari ingatan kolektif Hungaria masa komunis. Diskusi soal sikap umum orang Indonesia terhadap sejarah yang dikonstruksi Orde Baru lih. Ariel Heryanto (State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London & New York: Routledge, 2006)).

[16]    Lih. Oliver P. Rafferty, “Memory in History,” The Way (January 1995): 28.

[17]    Tom J. Semmerling, Israeli and Palestinian Postcards: Presentation of National Self (Austin: University of Texas Press, 2004), h. 21, 42-23. Juga diskusi serupa dalam bagian Pendahuluan oleh Lewis A. Coser; Halbwachs, h. 32-33.

[18]    Perhatikan juga kritik Barry Schwartz terhadap Halbwachs atas kecenderungan presentist-nya dalam Coser, Introduction, On Collective Memory, h. 26.

[19]    Irving Howe dalam Hans Seigfried, “Good and Evil Under the Swastika,” Philosophy Today vol. 45 no. 4/5 (2001): 349.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda