Ber-Azan Subuh di Kota Mayoritas Kristen

0
3611
Mesjid di Tentena. Paska konflik kekerasan di wilayah Kabupaten Poso, mesjid ini sudah aktif melantunkan azan sejak tahun 2006. Foto : Mosintuwu/Eko

Sekitar pukul 11.00 WITA awal November 2019, bus mini yang membawa saya dan rombongan dari bandara Kasiguncu Poso tiba di Dodoha Mosintuwu, sebuah resto yang bangunannya terbuat dari bambu. Resto tersebut unik dan menjadi rujukan wisata bagi masyarakat di sekitarnya. Apalagi letaknya di pinggir danau Poso yang indah. Tentena.

Saya dan rombongan akan menikmati hari-hari di sebuah kecamatan Pamona Puselembah, di kota yang dikenal dengan nama  Tentena. Kami mengikuti Festival Mosintuwu, sebuah festival desa yang diinisiasi oleh kelompok masyarakat sipil , Institut Mosintuwu, bekerjasama dengan desa-desa. Salah satu tujuannya untuk mengenal lebih dalam budaya Poso dan bagaimana sebagai masyarakat kita harus menjaga alam.

Ketika menginjakkan kaki di depan Dodoha, kantor Institut Mosintuwu, saya melihat seekor anjing berlari kecil. Ingatan saya langsung jatuh pada percakapan dengan sopir beberapa waktu selama perjalanan.

“Di sini (Poso) kebanyakan muslim. Di Tentena kebanyakan Kristen,” ujar sang sopir.

Selama perjalanan itu dia bercerita bagaimana kota Poso yang dulunya menjadi salah satu pusat perdagangan di Sulawesi berubah menjadi kota mati yang sunyi. “Ya, konflik yang membuat kami harus seperti ini”.

Poso memang pernah mengalami sejarah konflik yang panjang. Peristiwa tersebut terjadi dalam kurun waktu tahun 1998 hingga 2001. Pembakaran rumah, pengusiran, penganiayaan, bahkan pembunuhan menjadi fragmen yang mengiringi sejarah ‘kejatuhan’ kota Poso.

Baca Juga :  Sawah Sumber Penghidupan Hilang, Diganti 10 kg/Are

“Kami sampai bisa tahu mana orang Kristen dan mana orang Islam dari bau badannya,” si sopir melanjutkan sembari menunjuk beberapa bangunan lama yang mangkrak. “Nah, ini dulu perumahan elite sekarang sudah tidak ada yang menghuni.”

Menurut cerita sang supir, kawasan Poso pesisir akhirnya dihuni oleh orang-orang muslim. Sementara orang-orang Kristen memilih untuk mengungsi ke Tentena, sebuah kecamatan yang terletak di atas pegunungan. Saya buka email dari panitia festival. Tentena. Oh, baiklah. Saya seorang muslim yang akan datang di kawasan yang dulunya menjadi tempat pengungsian umat Kristiani korban konflik.

“Nah, kalau tadi di Poso banyak masjidnya, di Tentena banyak gerejanya,” ujar sang supir ketika minibus memasuki sebuah perkampungan. Saya langsung mengambil kamera dan memotret rumah-rumah yang tertata cukup rapi. Jika di Lombok saya bisa menjumpai masjid setiap beberapa ratus meter, di Tentena saya menjumpai gereja yang juga sangat banyak.

Sepanjang pertanyaan ingin sekali saya bertanya tentang kehidupan umat muslim di Tentena. Namun pertanyaan tersebut urung saya utarakan. Pun ketika menginjakkan kaki di Dodoha, pertanyaan-pertanyaan sederhana itu selalu hadir. Bagaimana wudlunya? Apakah di sini ada masjid? Apakah masyarakat masih menaruh curiga dengan kelompok muslim?

Baca Juga :  Megilu, Ritual APDP untuk Sungai dan Danau Poso

Di situlah saya kembali merasakan sebagai minoritas. Pengalaman pertama terjadi di Kupang di bulan Oktober 2018. Tapi Kupang berbeda. Kota ini didualat sebagai kota paling toleran. Sementara Poso? Sejarah konflik, penangkapan terduga teroris, dan berbagai berita buruk di media membuat saya cukup cemas. Apalagi saya belum melihat bangunan masjid.

Panitia kemudian mengarahkan saya dan rombongan untuk istirahat sejenak di penginapan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Dodoha. Kami melewati jembatan Pamona, salah satu ikon di Poso. Di situlah saya lega.

Ada masjid!

Saya kemudian menduga-duga, beginikah kelompok minoritas di samping kanan kiri saya yang selalu merasa ketakukan, kemudian merasa lega apabila melihat sesuatu yang diharapkan?

Terus terang, saya bertanya-tanya bagaimana aktivitas masjid di tengah masyarakat Kristen? Apakah tidak ada pelantang suara? Bagaimana masyarakat mengadakan kegiatan keagamaan di sini? Bejibun pertanyaan itu semakin membuat gelisah justru karena saya melihat ada masjid di sana.

Sontak saja saya teringat bagaimana sulitnya umat Kristiani mendirikan rumah ibadah di beberapa tempat. Alasannya bermacam-macam mulai tidak adanya IMB hingga adanya keberatan dari warga. Warga? Warga yang mana? Secara tegas saya akan katakan bahwa keberatan-keberatan atas nama apapun itu #TidakAtasNamaSaya.

Baca Juga :  Mengagendakan Kegelisahan di Peretas Berkumpul

Sejak kecil saya terbiasa melihat gereja di perkampungan yang mayoritas Islam. Saya pun berkali-kali main ke rumah teman yang beragama Kristen. Di desa saya, ada tiga gereja. Lalu mengapa ada orang-orang yang begitu ketakutan dengan rumah ibadah agama lain?

Seamatir itukah iman seseorang? Lha wong candi Borobudur yang menjadi bangunan suci umat Buddha aja biasa dikunjungi. Apakah mengunjungi Borobudur lantas membuat iman seseorang runtuh?

Menjelang subuh adalah waktu yang paling mendebarkan bagi saya. Apakah saya akan mendengar azan di sini?

Saya merasa terharu dan sangat bersyukur ketika saya mendengar suara adzan mengalun indah. Saya kemudian berandai-andai, bisakah semua tempat memiliki kultur seindah ini?

Tentena mengajarkan saya banyak hal, bil khusus tentang bagaimana seharusnya mayoritas bersikap menjadi pengayom bagi kelompok-kelompok pinggiran, alih-alih menindasnya apalagi atas nama agama yang sangat ramashok! Wallahu a’lam.(AN)

Red : Tulisan sudah pernah diterbitkan di islami.co dengan judul ” Mendengar Azan Subuh di Kota Tentena, Kota dengan Mayoritas Kristen”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda