Belajar dari Orang Lindu yang Melawan PLTA

0
1024
Peserta napak Tilas Gerakan Penolakan PLTA Lore Lindu berjalan kaki dari desa Sadaunta kecamatan Kulawi menuju ke desa Puro'o di kecamatan Lindu

Di media sosial, seorang pemuda, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Palu mengomentari Napak Tilas Sadaunta-Lindu. Dia menyesalkan gagalnya proyek PLTA Lindu yang digagas masa Gubernur Aziz Lamadjido. Menurutnya, informasi bahwa 4 desa, Tomado, Anca, Langko dan Puro’o yang akan ditenggelamkan bila proyek itu jadi adalah hoaks. Selain itu, warga tidak akan dipindahkan. Jika saja orang Lindu tidak menolak proyek PLTA itu, kehidupan disana pasti jauh lebih sejahtera, lapangan kerja terbuka, infrastruktur, jalan dan listrik akan lebih baik. Komentar ini disampaikannya merespon Napak Tilas Orang Lindu Menolak Pindah.

Napak Tilas, sebuah cara untuk mengenang sekaligus refleksi perlawanan masyarakat Lindu atas rencana pembangunan PLTA berkapasitas 76 MW di pinggir danau Lindu, terbesar kedua di Sulawesi Tengah. Adapun gerakan penolakan itu dilakukan sejak tahun 1988. Danau Lindu, terletak di kecamatan Lindu kabupaten Sigi, memiliki luas 34,88 hektar dengan kedalaman rata-rata 38 meter. Di danau ini masyarakat setempat menggantungkan hidupnya.

Premis, investasi akan membawa kesejahteraan dan lapangan kerja bagi warga sekitar memang selalu jadi mimpi yang didengungkan investor, tentu dengan dukungan pemerintah. Mimpi itu terus ditiupkan sampai orang-orang sekitar percaya dan mendukungnya. Segala informasi kritis yang coba mengingatkan akan dilawan. Dilibas.

Berkaca dari proyek PLTA di kabupaten Poso. Yang kita lihat sementara ini, adalah hilangnya jembatan tua Pamona (Yondo mPamona) simbol kebudayaan orang Poso, terendamnya ratusan hektar sawah, kebun dan padang penggembalaan.

Napak Tilas Orang Lindu Menolak Pindah tanggal 12 dan 13 Juni 2021 lalu, menjadi semacam pengingat bagaimana penyebaran informasi kritis berhasil membangun kesadaran masyarakat, meruntuhkan informasi manis dan palsu tentang kehidupan mereka akan semakin baik jika menerima proyek itu.

Sikap kritis warga Lindu bersumber dari kolaborasi banyak disiplin pengetahuan. Arianto Sangadji, penulis buku PLTA Lore Lindu, Orang Lindu Menolak Pindah menyebut, proses itu melibatkan para aktifis ornop dan pencinta alam. Proses perlawanan ini berlangsung setidaknya sejak 1989 hingga 1996, 17 tahun lamanya. Menurut Anto Sangadji, gerakan itu dimulai dari pendidikan paralegal kepada warga sekitar. Dari sini kita tahu pentingnya pengetahuan dalam melakukan perlawanan. Cerita mereka yang turut langsung bersama warga Lindu, ada banyak sekali diskusi dengan beragam tema. Dari sana tumbuh pengetahuan sekaligus militansi.

Ada satu cerita untuk melihat betapa pentingnya diskusi untuk membangun kesadaran bersama di Lindu.

Pada suatu hari, beberapa orang aktivis naik ke Lindu untuk berdiskusi dengan warga. Membawa perlengkapan yang dibutuhkan, mereka menumpang angkutan umum dari kota Palu. Sampai di Sadaunta lanjut jalan kaki menuju Lindu. Begitu sampai, hari sudah sore. Setelah istirahat, mereka memeriksa barang bawaan yang mau digunakan untuk diskusi besok pagi. Dan, barang penting yaitu ATK lupa dibawa. ATK harus ada, tapi tidak ada kios atau toko yang menjualnya disana.

Satu orang harus kembali ke Palu untuk mengambilnya. Tentu saja, harus jalan kaki dari Lindu kembali ke Sadaunta dan kembali lagi jalan kaki dari Sadaunta ke Lindu. ATK harus sudah ada sebelum diskusi dengan warga besok pagi. Akhirnya, diputuskan, Sapri yang harus kembali ke kota Palu, berjalan kaki lagi, lalu numpang mobil (DO) dari Sadaunta ke Palu. Setelah beli ATK, dia kembali numpang mobil, lalu jalan kaki lagi ke Lindu. Katanya, dia tiba kembali di Lindu pukul 03:00 dinihari.

Diskusi dalam Napak Tilas Lore Lindu 12 Juli 2021

Sumbangan GJA

Perspektif tentang apa bendungan, bagaimana cara kerjanya, apa dampaknya terutama bila dibangun diwilayah yang punya potensi gempa besar dimunculkan dalam diskusi. Untuk topik ini, kak Anto Sangadji menyebutkan sumbangan besar George Junus Aditjondro (GJA) yang memaparkan bahwa wilayah Lindu dilalui sesar Palu-Koro. Bendungan yang akan dibangun berpotensi menjadi bencana bila roboh jika terjadi gempa bumi. Informasi geologi ini semakin menguatkan warga Lindu untuk menolak PLTA.

Baca Juga :  Mural, Aksi Relawan Seniman di Ruang Milik Orang Desa

Warga Lindu semakin bulat menolak PLTA setelah diperlihatkan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Andal) yang disusun oleh PT Pratama Widya. Dokumen resmi itu menyebutkan, tinggi bendungan 7 meter, lebar 50 meter. Dengan ukuran seperti itu cukup untuk menaikkan permukaan air setinggi 2 meter. Naiknya 2 meter air danau Lindu akan menggenangi lahan disekitarnya seluas 6,2 kilometer.

Jika ketinggian air danau Lindu naik 2 meter maka pemukiman penduduk akan tergenang selamanya. Maka solusi yang ditawarkan saat itu, pindah paksa atau keluar dari Lindu. Bersamaan dengan rencana itu, Gubernur Abdul Aziz Lamadjido, dalam sebuah wawancara di media massa mengatakan, warga Lindu akan dipindahkan ke Lalundu, sebuah wilayah tempat perkebunan sawit dikembangkan di perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Barat.

Jadi ada 3 alasan utama mengapa warga Lindu menolak PLTA waktu itu. Pertama, proyek ini akan memindahkan orang Lindu dari kampungnya. Kedua, alasan lingkungan hidup. Proyek ini juga akan mengambil sekitar 10 ribu hektar wilayah taman nasional. Ketiga, gempa bumi. GJA memperhitungkan resiko bendungan yang dibangun diwilayah yang dilalui sesar Palu-Koro.

Gerakan perlawanan ini tentu tidak akan berhasil tanpa orang-orang kritis di desa-desa sekitar danau Lindu. Arianto Sangadji menyebut nama Daniel Tarese, kepala desa yang dengan tegas menolak rencana proyek itu. Alasan penolakan singkat namun jelas. Menolak digusur dari tanahnya sendiri.

Warga Lindu tidak asal menolak. Selain berbagai diskusi dan training, 4 orang perwakilan dari 4 desa di pinggir danau itu melakukan studi banding ke Kedung Ombo. Belajar dari tenggelamnya kampung di Wonogiri Jawa Tengah akibat pembangunan bendungan itu membuat penolakan warga semakin kuat.

Apalagi orang Lindu memiliki kebudayaan yang kuat berhubungan dengan tanah leluhurnya. Samalungku dan Lidea, 2 leluhur orang Lindu yang beribukan seorang perempuan yang muncul dari rumput Sileguri menunjukkan kuatnya hubungan to Lindu dengan tanahnya.

Kuatnya semangat mempertahankan tanah leluhur itu terlihat dari cerita salah satu pemuda Lindu, Roni. Pemuda ini mengorganisir kelompok muda dan membentuk organisasi adat di kampungnya. Akibatnya, dia dipanggil menghadap Danramil.
“Tapi saya tidak takut masuk penjara”katanya ketika berdiskusi dengan peserta Napak Tilas dipinggir danau Lindu.

Orang Lindu berhasil mempertahankan tanahnya. Namun pemilik modal melirik danau lain. Danau Poso. Mega proyek milik keluarga mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini berambisi membangun 3 PLTA dari air danau Poso. Satu sudah beroperasi, PLTA Poso 2 berkapasitas 195 MW.

Adapun proyek PLTA 1 berkapasitas 120 MW sebentar lagi akan beroperasi. Proyek ini menggunakan bendungan untuk memutar turbin. Konsekuensinya air sungai naik. Maka tinggi muka air danau Poso juga naik. Dampaknya ratusan hektar sawah, kebun dan lahan penggembalaan terendam.

Pemerintah daerah lewat kepala dinas pertanian, Suratno Teguh mengakui, tenggelamnya sawah, kebun dan lahan penggembalaan itu adalah dampak dari uji coba pintu bendungan PLTA Poso 1. Lalu bersama perwakilan perusahaan mereka melakukan sosialisasi ke beberapa desa dan menjanjikan ganti rugi. Tanah sawah akan diganti sawah terapung, lahan terendam akan diganti karamba terapung dan bibit pohon durian.

Baca Juga :  Sisakan Sejarah untuk Kami Orang Poso

Petani menolak tawaran itu, sebab dianggap tidak masuk akan dan belum mereka pahami. Namun suara penolakan itu belum terorganisir dengan kuat. Belum sekuat yang dilakukan oleh orang Lindu terhadap PLTA di kampung mereka. Jika di penolakan PLTA Lindu terjadi kolaborasi masyarakat, aktifis ornop dan mahasiswa, pencinta alam. Di Poso kondisi itu belum terjadi

Arianto Sangadji, penulis buku Orang Lindu Menolak Pindah mengisi Diskusi di tepi Danau Lindu dalam napak tilas perjuangan warga Lindu menolak PLTA untuk melindungi alam dan tempat hidupnya


Ruang Hidup dan Lingkungan Terancam Rusak

Dalam kasus Danau Lindu, orang akan dipindah. Di danau Poso orang tidak sampai dipindahkan, setidaknya untuk saat ini. Namun ruang hidup sudah terancam. Para nelayan yang setiap hari menggantungkan hidup dari Monyilo, Morono, Waya Masapi kini menghadapi masalah serius. Untuk membuat penampungan air raksasa, perusahaan mengeruk outlet danau hingga sungai Poso sepanjang 12,8 kilometer, dalam 2-4 meter, tempat para nelayan mencari ikan dan sidat.

“Dengan kedalaman sampai 3 meter saja, Sarompo sulit mengenai sasaran. Apalagi kalau dalamnya sampai 4 meter”demikian seorang Toponyilo menjelaskan persoalan yang dihadapi setelah area pencarian ikan mereka di keruk. Sekarang para nelayan harus bergeser kearah danau yang masih terjangkau oleh tombak bermata 3 mereka. Namun resikonya, menghadapi ombak yang lebih tinggi. Belum lagi area yang lebih luas membuat semakin sulit mengejar sasaran.

Sedangkan Waya Masapi atau pagar Sogili sepanjang area sungai mulai dari jembatan beton Tentena hingga ke kelurahan Saojo dibongkar untuk memuluskan pengerukan. Sebuah area kawasan lindung seluas kurang lebih 30 hektar yang disebut Kompo Dongi kini diubah menjadi tempat pembuangan limbah pengerukan. Jutaan kubik pasir dan lumpur itu ditumpuk disana, dalihnya untuk jadi material pembangunan taman. Padahal, Kompo Dongi memiliki nilai penting dalam tradisi orang Pamona.

Kompo Dongi memiliki fungsi ganda. Tempat tradisi Mosango dan wilayah reparian yang menentukan perkembangan ikan di sungai dan danau. Mosango, tradisi menangkap ikan bersama-sama yang dilakukan setiap kali air surut. Kini tradisi itu hilang, bersamaan hilangnya fungsi penting kawasan itu bagi ekologi.

Kurniawan Bandjolu, peneliti lingkungan di Poso mengatakan, hal lain yang perlu diperhatikan dari pengerukan sungai itu adalah kemungkinan pencemaran dari logam berat yang kemungkinan sudah terkubur ratusan tahun didasar sungai dan menurunnya kualitas air.

“Itu pasti berdampak sistemik. Yang akan dirasakan dampaknya dalam jangka panjang”katanya.

Bukan hanya ruang hidup nelayan yang semakin terjepit. Ratusan hektar sawah dipinggir danau kini tidak bisa ditanami. Sejak tahun 2020 (sebagian petani menyebut sudah tidak bisa menanam sejak 2019) pada saat perusahaan PLTA menguji coba pintu air bendungan PLTA Poso 1, B Modjanggo, Made Sadya, Jemi Molidja dan banyak petani lain di kecamatan Pamona Barat sudah tidak bisa menanami sawahnya akibat terendam.

“Seperti ada yang menahan-nahan air sehingga tidak turun-turun. Padahal bukan musim hujan”kata B Modjanggo, ketua adat kecamatan Pamona Barat.

Namun dalam pernyataan di beberapa media massa, perusahaan menyebut, salah satu penyebab air danau Poso tinggi adalah fenomena La Nina. Tapi menurut BMKG, anomali cuaca ini terjadi pada bulan Oktober hingga November. Sementara sawah sudah tergenang sejak bulan April 2020.

Rentetan persoalan ini kemudian berujung langkah hukum yang diajukan para petani melalui kuasa hukum mereka, yakni LBH Poso. Surat keberatan diajukan untuk mendapatkan penjelasan terbuka atas terendamnya sawah dan kebun. Ada 95 orang petani desa Meko kecamatan Pamona Barat. Jika tidak ada penjelasan, warga bersepakat melakukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut hak mereka yang hilang.

Gerakan mempertahankan hak orang Lindu supaya tidak dipindah paksa dari tanahnya adalah kisah keberhasilan perlawanan yang terorganisir dan didukung, seperti kata Arianto Sangadji dalam Orang Lindu menolak Pindah, oleh orang Lindu sendiri, dari kepala desa, tokoh adat hingga pemuda, dibantu oleh Ornop, cendekiawan dan media massa. Perlawanan ini terbangun sejak awal, ketika proyek itu masih dalam tahap perencanaan.

Baca Juga :  Dokumen Warisan Geologi Danau Poso, Jalan Panjang Menuju Taman Bumi

Jika saja penolakan tidak dilakukan sejak proyek belum berjalan, maka hasilnya kemungkinan akan berbeda. Sebab, dalam tahap perencanaan itu, kekuatan materil seperti uang masih belum tersedia untuk memobilisasi munculnya kepentingan-kepentingan tandingan yang lebih kuat, termasuk kepentingan praktis aparat pemerintah.

Dalam hal pengerukan dimulut Danau Poso, penolakan muncul setelah aparat pemerintah dan perusahaan telah terkonsolidasi, sementara gerakan perlawanan terlambat membaca dokumen Amdal dan melakukan konsolidasi. Terutama lambat menyebarkan informasi kepada petani tentang dampak-dampak yang akan muncul akibat proyek itu.

Proyek pengerukan sepanjang 12,8 kilometer dari outlet danau Poso hingga ke bendungan PLTA Poso I milik PT Poso Energi bukan saja berpotensi merusak biota dilokasi yang dikeruk. Tapi bendungan itu sendiri diduga menyebabkan naiknya ketinggian air danau Poso. Dampaknya, ratusan hektar lahan sawah dan kebun terendam.

Dari sisi sosio kultural, proyek ini telah menghilangkan satu-satunya monumen budaya to Pamona yang masih ada, Yondo mPamona. Jembatan kayu yang menjadi simbol Mesale, gotong royong orang Pamona itu dibongkar untuk kepentingan pengerukan. Diganti dengan jembatan berkonstruksi besi. Pemerintah mempromosikan jembatan ini sebagai daya tarik wisata baru di Tentena.

Namun perlawanan tetap muncul. Para nelayan tradisional, Toponyilo dan Toporono di mulut danau Poso menduduki kapal yang sedang mengeruk areal tempat mereka mencari ikan selama 2 minggu. Tuntutan yang diajukan, hentikan pengerukan. Setelah proses negosiasi berlangsung, akhirnya disepakati, para nelayan akan diberikan uang pengganti selama mereka tidak bisa mencari ikan. Kompensasi itu diberikan masing-masing 30 juta setiap nelayan yang terdaftar. Namun menurut pengakuan beberapa orang nelayan, jumlah yang diterima tidak utuh lagi karena ada bermacam-macam potongan.

Perlawanan juga dilakukan Topowaya, jenis nelayan yang menangkap Sidat dengan menggunakan pagar bambu atau waya masapi ditengah sungai. Untuk mendukung pengerukan sungai Poso sedalam 2-4 meter dan selebar 40 meter, pemerintah kabupaten Poso mengeluarkan surat edaran nomor :180/0650/HUKUM/2019 berisi 3 poin larangan membuat karamba dan pagar Sogili selama 3 tahun, sejak tahun 2019.

Para petani juga melawan. Petani di desa Meko yang sawahnya, sekitar 95 hektar terendam sejak tahun 2019 diorganisir oleh ketua adat BR Modjanggo dan kepala desa, Gde Sukaartana. Setelah mengajukan somasi 3 kali kepada perusahaan, para petani kemudian mengajukan tuntutan hukum, class action kepada PT Poso Energi yang dianggap sebagai penyebab terendamnya sawah dan kebun mereka.

Petani Meko, selanjutnya berjejaring dengan Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP) sebuah kelompok yang terdiri dari para tokoh adat, agamawan, petani, nelayan dan anak muda yang aktif mengorganisir penolakan proyek pengerukan mulut danau Poso dan LBH Poso. Selain mengajukan langkah hukum, kemudian dilakukan training paralegal untuk menguatkan pengetahuan hukum kepada para petani, nelayan dan tokoh adat.

Perlawanan yang terkesan terpisah-pisah ini menjadi persoalan tersendiri yang menyebabkan kurangnya solidaritas sesama korban. Dalam gerakan to Lindu, informasi yang diberikan sangat massif lewat berbagai diskusi, seminar hingga training dan selebaran mampu membangun kesatuan. Dalam gerakan penolakan pengerukan di Danau dan Sungai Poso hal itu tidak cukup banyak terjadi.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda