Festival Mosintuwu, Ikhtiar Memuliakan Alam & Kebudayaan untuk Kehidupan Kini dan Kelak

0
597
Festival Mosintuwu 2022, menghadirkan tema : mengingat, menjaga, merayakan - tanah, air, hutan . Foto : Basri Marzuki

FESTIVAL Mosintuwu menyediakan platform untuk dialog inklusif. Mengidentifikasi solusi untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Perhelatan ini kelak diharapkan memberi pesan kepada para pihak sebagai inspirasi dan kekuatan. Sekaligus mendorong itikad politik dan kerjasama para pihak, untuk memastikan agar tanah, air dan kebudayaan menjadi basis membuat kebijakan. Maka, mengabaikannya adalah kesalahan.

Jika boleh meraba mungkin ini salah satu gol yang ingin dituju Festival Mosintuwu yang digeber di Pamona 9 – 12 November 2022 nanti. Kesimpulan ini mungkin terlalu gegabah. Namun melihat tema besar yang diapungkan pegiat kemanusiaan di Mosintuwu Institut, Mengingat, Menjaga, Merayakan Kebudayaan Poso Tanah, Air dan Hutan – maka premis yang terbangun di atas mungkin ada benarnya.

Festival Mosintuwu adalah sebuah proklamasi kebudayaan dari desa-desa atas kekuatan kebudayaan Mosintuwu yang memiliki pengetahuan, kearifan dalam hal pengelolaan alam dan kehidupan dengan nilai pombepatuwu (saling menghidupkan), pombepotowe (saling mengasihi) dan pombetubunaka (saling menghargai). Muaranya adalah Sintuwu Maroso. Artinya satu arah. Satu pikiran. Menghasilkan kekuatan – musyawarah mufakat.

Festival Mosintuwu, adalah sebuah penguatan atas komitmen masyarakat desa dalam pengelolaan alam dan kehidupan yang bersolidaritas. Sebuah ajakan untuk bersama-sama. Khususnya bagi generasi muda, untuk kembali pada kebudayaan Mosintuwu, yaitu pombepatuwu, pombepotowe, pombetubunaka sebagai basis nilai untuk membangun Poso. Kebersamaan lintas desa, lintas generasi, lintas iman dan suku untuk menciptakan kemakmuran dan mencapai kedaulatan.

Begitu Ketua Mosintuwu Institut, Lian Gogali menjelaskan panjang lebar soal Festival Mosintuwu. Kenapa harus ada. Dan untuk apa ia ada. ”Ini tentang mimpi desa untuk terjaganya kedaulatan atas tanah, air dan hutan,” begitu jawabnya lugas.

Festival ini dibutuhkan untuk ruang berdialog. Sekaligus saling menguatkan. Bekerjasama dan menemukan cara belajar dan bekerja. Dengan menempatkan masyarakat desa bersama dengan alamnya yang harus selaras.

Selain itu, festival juga menjadi sebuah ruang yang memperlihatkan kekuatan. Suara suara perempuan dan masyarakat. Dimana mereka bukan hanya diakui dan menjadi salah satu penentu dalam pengelolaan desa. Tapi sekaligus ruang untuk menggelisahkan pengelolaan pangan lokal di desa. Dan, tentu saja, desa adalah tempat dimana perjuangan atas kedaulatan dimulai. Dan perwujudan atas kemakmuran dikerjakan.

Festival empat hari ini terbuka bagi siapa saja yang mencintai alam. Yang mencintai pangan lokal dan kebudayaan Tana Poso. Namun secara khusus, Festival Mosintuwu menghadirkan kelompok perempuan. Pegiat kebudayaan. Anak muda dan pemerintah desa dari 22 desa di Kabupaten Poso. Atau mereka yang bergabung dalam kelas-kelas Pendidikan Kritis di Sekolah Pembaharu Desa, kelas Jelajah Budaya Rumah KITA serta kelas Sekolah Keberagaman.

Festival Mosintuwu memilih maskot Masapi, Sango , Onco dan Arogo yang mewakili unsur tanah, air dan hutan yang menjadi tema dari Festival Mosintuwu

Festival ini digeber dengan belasan kegiatan bertema kehidupan, alam dan budaya akan tersaji apik dalam kemasan yang inklusif, egaliter dalam bingkai kebersamaan  dalam suasana yang guyub.

KARNAVAL SOEDELI : Karnaval untuk Mengingat dan Merayakan Kebaikan Alam

Tanah, air, hutan  telah menciptakan kebudayaan. Telah memberikan kekayaan bagi manusia. Kebaikan alam dalam berbagai bentuk pangan yang memperpanjang hidup manusia. Maka, perlu terus diingat dan dirayakan. Pun, festival ini untuk memanggil ingatan tentang kebaikan alam. Bekerja mengelola alam dengan kearifan lokal, pengetahuan kebudayaan lokal akan membangun hidup yang bersolidaritas dengan alam.

Baca Juga :  Pasar Desa : Ruang Kedaulatan Perempuan dan Tanah

Membawa keliling hasil bumi adalah gerakan teaterikal masyarakat petani dan nelayan yang berusaha memanggil kesadaran manusia untuk bersolidaritas terhadap alam yang sudah memberikan pangan. Selain itu, mengingatkan kearifan lokal pengelolaan alam yang perlu untuk dijaga.

Setiap desa akan membawa hasil bumi khas desanya masing-masing. Hasil bumi ini dihias dan diarak dalam karnaval. Diiringi irama musik tradisional (rere dan padengko) yang dimainkan anak-anak muda dari berbagai desa. Keterlibatan anak-anak muda menjadi simbol warisan kearifan tradisi yang akan terus menggaung lintas generasi.

MOLIMBU : Bersyukur atas Tanah, Air, Hutan. Berbagi untuk Kehidupan

Saling berbagi adalah salah satu pengikat erat komunitas yang hidup di Tana Poso. Konsep hidup sehari-hari ini pun muncul dalam pangan lokal, melalui Molimbu. Ini adalah tradisi makan bersama warga di desa. Saat Molimbu, warga desa membawa makanan dari rumah masing-masing di tempat pertemuan.  Molimbu dilakukan masyarakat di desa sebagai bagian dari cara bersyukur atas hasil alam. Sistem Molimbu saat ini hanya dilakukan di beberapa desa di Kabupaten Poso. Mengangkat kembali konsep tradisi sebagai cara berbagi dan bersyukur diharapkan mengingatkan alam yang perlu dijaga secara seimbang. diolah secukupnya. Tidak dieksploitasi.

MOBOLINGONI : Mendendangkan Kisah Tanah, Air, Hutan

Mari mendengarkan cerita rakyat dalam lantunan khas Poso, Mobolingoni. Ini adalah cara orang Poso mendongeng atau menceritakan kisah, legenda, cerita rakyat dalam lantunan yang berbahasa Pamona. Mobolingoni mendendangkan kisah tanah, air dan hutan. Festival Mosintuwu juga mempersembahkan kembalinya modero sebagai tarian yang merawat pesan-pesan persahabatan dalam syair-syair yang indah. Untuk memudahkan cerita rakyat dalam bahasa Pamona ini dipahami oleh pengunjung, akan disediakan penerjemah.

KAYORI : Syair-syair Indah untuk Tanah, Air, Hutan

Sastra di Tana Poso adalah bentuk ekspresi yang menggambarkan cara berpikir dan proses menganalisis peristiwa. Mengangkat ulang sastra Tana Poso adalah sebuah gerakan memelihara kebudayaan berpikir, dengan membentuk kesadaran kritis. Kayori merupakan tradisi berbalas pesan dengan bahasa sastra Pamona. Dilantunkan untuk menyampaikan pesan-pesan. Di malam hari akan menghadirkan kayori tentang tanah, air dan hutan. Dibawakan perwakilan desa.

MOLAOLITA : Dongeng Kampung tentang Tanah, Air, Hutan

Festival Mosintuwu menghadirkan dongeng rakyat Poso dalam acara Molaolita. Ini adalah tradisi mendongeng orang Poso. Desa-desa mengirimkan perwakilannya untuk menyampaikan legenda dari Tana Poso yang berkaitan dengan alam atau peristiwa di sekitarnya. Disampaikan dalam bahasa Pamona. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia di layar lokasi festival.

PASAR DESA : Dari Alam untuk Keberlangsungan Hidup

Selama festival, ruang dibuka untuk sayuran, buah-buahan, umbi-umbian hingga biji- bijian yang diolah di desa. Jumlah dan jenisnya tidak dibatasi. Namun, Pasar Desa hanya menfasilitasi pangan lokal yang ditanam dan diolah di desa. Antara lain sayur gedi/lengurutandole, minyak kelapa, beras organik, buah jongi, kacang tanah, jagung, gula aren, pisang dan lainnya.

Baca Juga :  Merekam Totalitas Relawan di Festival Mosintuwu

LUMBUNG BIBIT : Memperpanjang Sejarah Kehidupan

Produksi pangan massal telah mendorong alih fungsi lahan menjadi milik pemodal. Bukan lagi para petani dan nelayan. Pola konsumsi instan telah menggusur keanekaragaman hayati. Meruntuhkan budaya pangan desa. Mempercepat krisis pangan hingga merusak sumber air. Termasuk hampir memusnahkan warisan bibit para leluhur.  Ini dipertajam dengan penggunaan pupuk kimia.  Pembuatan benih rekayasa genetik. Kondisi ini menghancurkan dan meminggirkan pangan lokal. Sekaligus menyebabkan langkanya benih warisan. Menjaga bumi dan kembali ke alam, memerlukan upaya bersama untuk mengembalikan dan mempertahankan bibit asli.

WARUNG DESA : Selera dari Kampung

Ituwu. Onco arogo. Dui. Tape. Inuyu. Wajik. Dange atau dumpi. Hingga beko. ini adalah sebagian dari resep lokal yang akan dinikmati pengunjung di warung desa Festival Mosintuwu. Desa-desa akan membuka warung yang menyajikan kuliner khas di Tana Poso. Kuliner ini disajikan dengan wadah dari alam dan khas desa. Warung desa di Festival Mosintuwu adalah akses makanan bagi peserta dan pengunjung festival. Menikmati makanan di warung desa Festival Mosintuwu bukan hanya soal urusan mengisi ‘’kampung tengah’’. Tapi soal cara bersama merawat ingatan atas tanah, air dan hasil hutan yang telah memberikan pangan.

MOAPU : Pagelaran Koki Kampung

Bentang alam, tanah, air dan hutan menghasilkan kebudayaan kuliner yang berbeda-beda pada setiap desa. Keberagaman budaya kuliner dari desa di Tana Poso ini akan dipersembahkan oleh desa-desa dalam atraksi memasak bersama berbentuk lomba Moapu. (Moapu = memasak). 20 desa akan berpartisipasi dalam Moapu. Menghadirkan dua jenis masakan. Makanan khas dan kudapan. Setiap desa diwakili oleh tiga juru masak. Juru masak dari desa-desa terbagi dalam dua kelompo. Dinilai secara terpisah. Memperebutkan gelar Koki Moapu Mosintuwu. 

PAMERAN : Perempuan Poso dan Rahim Alam

Simak potret para perempuan Poso. Nikmati karya bersama perempuan Poso dalam lukisan tanah, air, hutan ”Rahim Alam”. Pengunjung festival diajak untuk membuat bersama lukisan “Rahim Alam” pada kanvas yang disediakan dengan menggunakan berbagai unsur tanah, air, hutan dari 22 desa di Kabupaten Poso.

ANEKA WORKSHOP : Lingkar Belajar Bersama

Workshop Desa Membangun – narasumber, Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Panggungharjo. Workshop Menulis – narasumber Windy Ariestanti, penulis. Workshop Foto dan Video – narasumber Basri Marzuki & watchdog. Workshop musik tradisional, narasumber Nardi Banggai, penerima Mosintuwu Award Penjaga Musik Tradisi.

MOMPASIMBAJU : Membincangkan Tanah, Air dan Hutan

Para pemuka adat dari desa-desa akan membicarakan mengenai Ada Mporongo, Ada Mpojamaa, Ada Mpoagama, Ada Mpombetirinai, Ada Motaumate. Ini adalah kearifan lokal Tana Poso dalam mengelola kehidupan antar manusia dengan alam untuk mendorong kebijakan berbasis kearifan lokal dalam kelestarian lingkungan dan budaya Tana Poso.

ANAK-ANAK DESA : Mendekatkan Alam pada Generasi

Mendekatkan alam pada anak menjadi bagian dari proses pembentukan karakter generasi yang menghargai alam. Sebagai bagian dari ekosistem yang harus dijaga, Festival Mosintuwu menyediakan ruang bermain dan kreativitas untuk anak-anak. Sambalakoloko-loko, engrang, congklang, goro, adalah sebagian dari bentuk permainan, selain aktivitas menggambar, mewarnai corak alam, origami, ruang buku dan sebagainya.

Baca Juga :  Di Bahodopi Morowali, Ikan Menghilang, Nelayan Jadi Ojek Laut

JELAJAH BUDAYA RUMAH KITA : Kekeluargaan. Keadilan. Kesederhanaan

150 anak muda lintas agama dan suku dari 20 desa akan melakukan perjalanan budaya ke tiga titik. Jelajah budaya sebagai bagian dari gerakan lintas generasi untuk mengingat, menjaga dan merayakan kebudayaan Poso.

MOSINTUWU AWARD : Penghormatan Bagi yang Berhak

Mosintuwu Award adalah sebuah penghargaan tertinggi kebudayaan dari masyarakat Poso kepada para sosok atau komunitas yang bekerja, hidup dan berjuang untuk mempertahankan, meneruskan, mewariskan kebudayaan Tana Poso. Mosintuwu Award 2022, akan diberikan pada dua katagori: kategori Penjaga Tradisi Danau Poso,  kategori Jurnalisme Lingkungan 

PANGGUNG MUSIK : Tentang, Tanah, Air dan Hutan

Partisipan di panggung musik bukan selebriti pesohor. Musik di festival ini bukan pula senandung pengantar tidur. Atau pelipur lara manusia-manusia yang diputus cinta oleh pacarnya. Tapi lirik dan aransemen adalah tentang cinta yang hilang karena hutan yang gersang dan kegelisahan mereka oleh kebijakan lingkungan yang salah urus.  Partisipannya antara lai  ROBI NAVICULA,  Ia lahir di Palu, Sulawesi Tengah. Robi memiliki keterikatan dengan wilayah ini termasuk Poso. Tahun 2016, Robi menjadi komposer musik ‘’The Peace Agency’’ film documenter perjalanan Sekolah Perempuan Mosintuwu dengan menggunakan musik-musik karambangan dari Pamona, Poso ;  NARDI BANGGAI,  Seorang Musisi lokal. Aktif menciptakan dan membawakan lagu-lagu karambangan. Mendirikan sanggar seni untuk melestarikan musik tradisi. Tahun 2019, menerima Anugerah Mosintuwu Award katagori Penjaga Tradisi musik tradisional;  RAJINA,  Penyanyi perempuan Poso pertama yang melahirkan album rekaman dalam bentuk kaset di Perusahaan rekaman bernama Cipayung. Saat itu, Rajina masih kelas 6 SD. Lagu alisintowe, yang dinyanyikannya di usia 12 tahun memulai era meledaknya lagu-lagu Poso di berbagai kegiatan termasuk di moda transportasi sejak tahun 1972 . Rajina menulis lebih dari 30 lagu Poso yang direkam di berbagai studio. Termasuk di Pamona Record; GURITAN KABUDUL,  Duo asal Kota Tentena yang memilih untuk memulai karir bermusik mereka di jalur indie. Formasinya Icong (vokal), emon (gitar, vokal). Melalui musik folk yang diusung, Guritan Kabudul berharap keberadaan mereka kiranya dapat membakar semangat generasi muda untuk berbuat. SENTIMENTAL KAMPUNG HALAMAN Band folk asal kota Poso berdiri tahun 2020 merilis mini album berjudul Jelata Kaya. Duo yang digawangi Rial dan Pey telah mengeluarkan mini album berisi lima karyanya di lima platform digital. Ancaman rusaknya alam dan budaya di pinggir Danau Poso mereka suarakan lewat Romansa Yondo mPamona.

IKHTIAR UNTUK KEHIDUPAN KINI DAN KELAK

Orang-orang di balik festival ini telah mengerahkan sumber daya terbaiknya. Mendatangkan orang-orang dari sudut-sudut desa terjauh, untuk suatu nilai yang mereka yakini, memberi manfaat besar pada kehidupan di kampungnya – Tana Poso. Selama empat hari mereka membincang tentang tanah, air dan hutan, sebagai sumber penghidupan, kini dan nanti. Sebuah ikhtiar untuk menjaga warisan pitarah di tengah gempuran kepentingan yang amat sukar ditundukkan. ***

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda