Berteologi Kontekstual Pembebasan dalam Kemiskinan

0
841
Foto : Istimewa. Diambil dari presentasi Nani Zulmanarni di Mosikola Teologi : Kemiskinan, Kesenjangan dan Relasi Kuasa"

Secara umum, orang di desa dipandang cenderung lebih miskin dibanding orang di kota. Benarkah demikian?

Kemiskinan, selalu menjadi topik hangat dalam rancangan pembangunan. Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (bps.go.id), pada tahun 2021 Provinsi Sulawesi Tengah menempati urutan pertama dari jumlah persentase masyarakat miskin di Sulawesi (9% perkotaan dan 14% di perdesaan). Angka itu didapat berdasarkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar berdasarkan kriteria tertentu. 

Nani Zulminarni, Pendiri PEKKA (Perkumpulan Perempuan Kepala keluarga) mencatat bahwa yang sering kali dilupakan bahwa kemiskinan bukan hanya dapat dilihat dari sisi ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar, melainkan pada bagaimana sisi pengeluaran masyarakat. Pada soal inilah ketimpangan konsep kemiskinan negara terlihat. 

Dalam webinar Mosikola Teologi yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu dan STT GKST, Nani menyebutkan kebutuhan untuk mempersoalkan kembali konsep kemiskinan yang selama ini dibicarakan oleh negara 

“Perlu ditinjau kembali kesimpulan bahwa orang di desa lebih miskin dari orang di kota. Apabila melihat sisi pengeluaran, tentu pengeluaran masyarakat di desa cenderung lebih sedikit dibanding masyarakat di kota. Kondisi alam dan ketersediaan bahan pokok di desa memungkinkan berkurangnya pengeluaran masyarakat”

Mengomentari informasi yang selalu disediakan oleh BPS tentang kemiskinan di Indonesia, Nani menyebutkan data itu tidak cukup.

“ Kemiskinan yang terjadi dalam masyakat bisa jauh lebih banyak dari data yang ditemukan BPS sebagai lembaga negara. Pada satu pihak, ada semacam fenomena gunung es kemiskinan di Indonesia. Tapi pada lain pihak, angka-angka kemiskinan, apalagi bila dapat dikurangi, dapat menjadi ukuran kesuksesan program pemerintah “

Selain itu, masih menurutnya  penting juga untuk melihat soal ketimpangan gender ketika menyoal isu kemiskinan. Menurutnya, terdapat kesenjangan dan kerawanan pangan antara keluarga yang dikepalai oleh laki-laki dan oleh perempuan. Hal itu terjadi karena perempuan tidak (pernah dihitung) dibayar untuk pengasuhan dan kerja domestiknya. Akibatnya, penghasilan perempuan lebih rendah dari laki-laki, sekolah perempuan lebih singkat dibanding laki-laki, dan indeks pembangunan manusia (IPM) perempuan juga lebih rendah dari laki-laki. Kondisi-kondisi ini membuat masyarakat, khususnya perempuan, rentan untuk jatuh miskin dan tetap miskin, yang kemudian membuatnya hanya bisa bergantung pada (rasa kasihan) laki-laki. 

Nani Zulminarni dalam pembahasan mengenai Kemiskinan, Kesenjangan dan Kekuasaan di kelas Mosikola Teologi yang diorganisir Institut Mosintuwu dan STT GKST Tentena.

Pembicaraan tentang kemiskinan yang disampaikan Nani, seorang Ashoka Fellow yang menjabat sebagai South East Asia Diamond Leader, membukakan mata para tokoh agama dan calon pemimpin agama yang mengikuti Webinar. Webinar diselenggarakan pada tanggal 29 Oktober 2021. Selain Nani, hadir juga sebagai pembicara adalah Josef Widyaatmaja, seorang teologi Indonesia dan Ira D. Mangililo, seorang teolog feminis Indonesia. 

Baca Juga :  MoU Kuatkan Kajian, Penelitian dan Penyebaran Nilai-nilai Perdamaian di Tana Poso

Berkaitan dengan konteks kemiskinan, seringkali gereja menganggap bahwa orang yang miskin berada di luar gereja. Gereja membicarakan kemiskinan seolah-olah hal itu berada di luar dirinya. Hal itu membuat orang merasa “jijik” terhadap masalah kemiskinan dan orang miskin karena menganggap kemiskinan sebagai tanda kurang iman. Hal itu terjadi karena gereja lebih mendahulukan politik kekudusan (politic of holiness) daripada politik belas kasihan (politic of compassion). 

Padahal, apabila menyitir naskah-naskah Alkitab, sebagaimana yang disinggung oleh Ira D. Mangililo , Allah selalu digambarkan sebagai Dia yang berpihak kepada yang miskin dan tertindas, serta menentang praktik monopoli dan peminggiran terhadap orang-orang kecil. Dalam Alkitab pula, di ruang-ruang kultis, ditemukan bahwa orang miskin selalu mendapat keistimewaan dalam hal pemberian korban yang lebih murah. Alkitab juga menggambarkan bahwa kemiskinan harus dilihat sebagai sesuatu yang ekstrim, yang membuat orang berada dalam bahaya kematian.

Dalam konteks masa kini, banyak orang Kristen yang berbicara tentang kemiskinan. Josef Widyaatmaja, menyebutkan bahwa gereja-gereja di Indonesia kurang memiliki analisis sosial dan tidak berperspektif rakyat jelata. Teologi gereja juga lebih banyak berpusat pada dirinya sendiri dan bukan pada yang miskin. Akibatnya, gereja lebih banyak berkhotbah tentang kemiskinan tapi tidak mempraktikkan apa yang dikhotbahkan. 

Sejalan dengan Widyaatmaja, Kosuke Koyama, teolog Asia,  menyebutkan tentang “orang-orang Kristen yang baik”, yang memberikan beberapa sumbangan untuk meringankan keadaan-keadaan orang miskin. Mereka adalah orang-orang yang lurus hati, jujur, pekerja keras, dan rajin pergi ke gereja. Tetapi “orang-orang baik” inilah yang juga dengan lugu menopang sistem penghisapan yang menindas. Ia mengkritik sikap orang Kristen yang kelihatan memperhatikan spiritualitas Kristiani dengan menghayati suatu “hidup kekal yang kaya” bersama Yesus Kristus. Akan tetapi kebaikan itu adalah kebaikan penonton, yang berjuta kali berdoa “Datanglah Kerajaan-Mu!” tetapi hidup dalam keluguan yang menyakitkan. Ini adalah salah satu kelompok terbesar kekristenan yang kasat mata dan yang nir kasat mata. 

Baca Juga :  Buku : Merajut Masa Depan Anak

Kritik terhadap sikap teologis tersebut, baik pada masa Yesus maupun sikap orang Kristen pada masa kini, menohok gambaran gereja tentang Christus victor yang datang dengan penuh kuasa, agung dan triumfalistik. Gambaran tentang Yesus yang solider dengan kaum miskin berbeda dengan gambaran-gambaran seperti Anak Allah, sang Mesias, Hakikat yang berpra-ada, Kristus yang dimuliakan dan duduk di suatu takhta, dan Kristus yang akan datang sebagai Hakim. Sebaliknya, Dia dekat, solider dan berbela rasa dengan mereka yang miskin. Dia yang hati-Nya tergerak oleh belas kasihan, yang kepada mereka disampaikan ucapan “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:3).

Ini menunjukkan bahwa keselamatan juga berarti keselamatan “di masa kini” melalui keterlibatan gereja yang mengikut Yesus dengan jalan mendengarkan dan menanggapi teriakan mereka yang menderita karena kemiskinannya. Jadinya, keselamatan bukan hanya berkaitan dengan hal sesudah kematian, tetapi juga keselamatan yang bersifat multi-dimensional dan karya dinamis Roh Allah dalam diri manusia. Keselamatan multidimensional merujuk pada transformasi moral dan spiritual hati manusia oleh Roh Kudus, memulihkan hubungan interpersonal dan merekonsiliasi komunitas yang adalah tubuh Kristus, memulihkan komunitas, masyarakat dan bangsa kepada kenyataan keadilan, kedamaian dan kebenaran. Sedangkan proses dinamis keselamatan merujuk pada perubahan manusia oleh kuasa Roh Kudus dalam hidup mereka. Perubahan itu adalah karunia Roh Kudus yang membuat manusia bertanggungjawab secara intelektual, afeksi, moral dan sosiopolitis. 

Ira D. Mangililo dan Josef Widyaatmaja, dalam pemaparan teologi kontekstual dalam kemiskinan di kelas Mosikola Teologi yang diselenggarakan Institut Mosintuwu dan STT GKST Tentena.

Oleh karena itu, gereja perlu mengembangkan konsepsi teologi dan praktik bergereja dalam konteks kemiskinan. Menyitir kata Widyaatmaja, ibadah ritus yang dilakukan gereja dalam gedung-gedungnya mestinya dipahami sebagai gladi resik untuk dilakukannya ibadah yang sejati di luar gedung gereja dengan berbagai bentuk diakonia (karitatif, reformatif dan transformatif) yang membebaskan masyarakat miskin.

Dalam gerak teologis yang membebaskan itulah, gereja perlu mengembangkan relasi dan dinamika kekuasaan yang egaliter dengan memulainya dari keluarga, lalu ke komunitas dan masyarakat. Hal itu juga memerlukan agensi dan kepemimpinan gereja untuk perubahan dengan kecakapan pengetahuan dan keterampilan, kepercayaan diri dan aspirasi personal tentang dan bersama dengan masyarakat miskin. Gereja juga harus mencermati struktur-struktur dalam masyarakat dan negara berkaitan dengan kebijakan negara, arena sosial masyarakat, praktik budaya tertentu, dan kelembagaan dalam masyarakat yang mengabaikan masyarakat miskin atau justru menindas, menghisap, dan memiskinkan masyarakat. 

Baca Juga :  Hujan Bulan Juni

Mosikola, Ruang Belajar Teologi Kontekstual Pembebasan dalam Kemiskinan

Kemiskinan adalah salah satu pergumulan yang dekat dengan gereja. Mosikola Teologi menggelisahkan topik ini saat menyusun kurikulum.  Terdapat beberapa pertimbangan penting.

Secara teologis, Pieris (sebagaimana dikutip Rubianto, 1997) menyebutkan bahwa  perlu ada rekonstruksi Kristologi yang dibawa dari Eropa, yakni Kristus yang superior dan triumfalistik terhadap agama dan kebudayaan lain di luar Kristen, menjadi Kristus yang dibaptiskan dalam realitas pluralitas dan kemiskinan Asia. Dari sini dapat dikatakan bahwa tugas gereja terhadap konteks kemiskinan adalah tentang gerak Roh Allah dalam Yesus yang berkarya untuk pembebasan dan keselamatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keselamatan bukan hanya keselamatan setelah mati, melainkan juga sejak sekarang ini, sebab keselamatan bersifat multidimensional dan merupakan pekerjaan dinamis Roh Kudus. 

Gereja diharapkan bukan menjadi komunitas yang ekslusif orang miskin, tetapi komunitas yang memberi ruang untuk menyesuaikan dengan gaya hidup orang miskin, sehingga terjadi interaksi antara yang kaya dan kuat dengan mereka yang miskin dan lemah. Gereja diharapkan menjadi komunitas yang bukan memperbudak melalui takhayul, ritualisme, dogmatisme, dan bertendensi untuk melegitimasi status quo yang menindas dengan mengabdi pada mamon, tetapi menjadi komunitas yang membebaskan batin dari dosa dalam bentuk kerakusan dan insting-insting eksploitatif, serta termotivasi untuk perubahan sosial. Jadinya, Gereja bergerak menjadi komunitas yang memberdayakan bukan memperdayakan.

Mosikola Teologi sebagai ruang belajar bersama teologi kontekstual pembebasan yang diorganisir Institut Mosintuwu dan STT GKST Tentena ,  penting memulai pembicaraan soal kemiskinan. Sebagai pemimpin agama dan calon pemimpin agama yang melayani di wilayah paska konflik kekerasan, beragama tidak lepas dari konteks masyarakatnya, termasuk konteks kemiskinan. Webinar ahli tentang kemiskinan, merupakan satu tahapan untuk mengenal lebih dekat kajian nasional, kajian teologi, konteks lokal kemiskinan sehingga mendorong para pemimpin agama dan calon pemimpin agama bersikap kritis dalam konteksnya dan mendorong berteologi kontekstual pembebasan. 

Catatan dari para ahli di webinar ini dilanjutkan oleh sahabat Mosikola ( sebutan bagi peserta Mosikola Teologi ) dalam serangkaian sarasehan dan pemikiran bersama mengembangkan cara berteologi kontekstual pembebasan dalam kemiskinan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda