Tidak persis sama. Tapi, ketika mendengar penuturan Pak Kristian Basompe tentang apa yang dialaminya bersama keluarga. Perasaanku tenggelam dalam sedih. Teramat sangat. Seolah sedang membaca Max Havelaar. Novel yang ditulis Edward Dowes Doker. Orang Balanda bergelar Multatuli yang amat simpati dengan perjuangan rakyat Indonesia.
Edwar Multatuli tampil sebagai penghianat bagi bangsanya. Tapi, dia dimuliakan sebagai pahlawan bagi Indonesia. Kehidupan selalu menyertakan dua tipe manusia ini di panggung peradaban. Kita tinggal memilih di posisi mana kita berpihak.
10 November 2021, ada momentum yang dikeramatkan bangsa Indonesia sebagai “Hari Pahlawan”. Terngiang lantunan lagu heroik. “Surabaya, di tahun 45. Kami berjuang. Kami berjuang bertarung nyawa”.
***
Saat ini di Danau Poso, mereka kaum tani dan nelayan, juga sedang berjuang. Berjuang untuk sesuatu yang mereka yakini sebagai hak yang terampas atas nama pembangunan. Berharap, kiranya bisa selesai dengan damai dan adil.
Siang itu, para tokoh adat dan beberapa kepala kampung dari sejumlah desa di tepian danau Poso, datang ke Palu. Mereka berhasrat jumpa Gubernur Sulawesi Tengah. Karena padatnya acara, mereka hanya diterima wakil gubernur. Beliau ditemani Ridha Saleh. Mantan anggota Komnas HAM yang kini berstatus sebagai tenaga Ahli Gubernur Sulawesi Tengah.
Dialognya berkisar pada naiknya permukaan air danau akibat bendungan PLTA Poso Energi satu. Objek vital yang amat penting untuk kebutuhan listrik. Namun, tindakan membendung air danau ini berefek pada tergenangnya areal persawahan, matinya ternak dan terancamnya kebudayaan komunitas danau Poso.
Dialognya berlangsung cukup alot. Sebagai pemerintah, Wakil Gubernur berusaha netral. Akan tetapi, masyarakat terus menyuguhkan fakta-fakta yang mereka alami. Pertemuan tiba pada kesimpulan mempertemukan kedua belah pihak satu ketika.
***
Pak Kris adalah salah satu individu petani yang ikut serta. Dia bercerita dengan mata berkaca-kaca oleh air mata yang hampir mengalir. Saat bergegas menyiapkan diri untuk ke Palu, Isterinya bertanya “Apakah Bapak jadi pergi ke Palu ? “ Pak Kris menjawab, iya. Isterinya lalu berbisik pelan “Beras kita habis”.
Selama bertahun-tahun berkeluarga, tidak pernah ada sejarah keluarga Pak Kris kekurangan beras. Tidak pernah, sampai akhirnya uji coba pintu air PLTA merendam 3 Ha sawahnya. Hampir saja pak Kris membatalkan rencana itu.
Tapi, semangat mendorongnya bergerak. Pergilah dia ke danau untuk melihat perangkap ikan yang biasa diletakkannya. Ternyata ada dua ekor tertangkap. Dijualnya ikan itu. Dibelikan beras untuk isterinya. Dan, ikutlah dia ke Palu bersama masyarakat adat Danau Poso lainnya.
Di Palu, ada anaknya yang kuliah di universitas Tadulako. Sebagaimana orang tua yang mengunjungi anak. Pastilah ada sedikit titipan rupiah ala kadarnya. Tapi, kesulitan ini cukup berat bagi orang tua ini. Anaknya yang biasa kuliah “on line”, kini harus “off line” (tatap muka) atas aturan kampus terbaru. Anak mahasiswa ini terpaksa numpang di tempat kost temannya. Mereka tinggal bertiga dalam satu kamar kost. Harga bulanannya tujuh ratus lima puluh ribu rupiah.
***
Sebagai guru, saya makin menyadari betapa tidak mudahnya para orang tua ini membiayai anak-anaknya sekolah.
Saya makin meyakini kebenaran langkah. Ketika sejumlah sahabat berjuang keras melawan syahwat kalangan birokrasi kampus bernama remunerasi yang tidak masuk akal. Tujuannya mulia sekali. Agar anak-anak mahasiswa memperoleh hak alokasi budgeting yang pantas.
Pasti sangat berguna. Karena, harapan kebanyakan orang tua mahasiswa ini, hanyalah bertani, menangkap ikan dan beternak. Tapi, naiknya permukaan air danau telah mengacak-acak ruang nafkah ini. Ada 266 hektar lahan di 15 desa, tergenang. Praktis, tidak mungkin bersawah. Padahal, ratusan tahun petani danau Poso menanam dua kali mengikuti siklus pasang surut air danau. November, Maret dan April, Oktober. Namun, sejak 2020, air danau tidak pernah surut lagi.
Begitu juga, padang pengembalaan sebesar 150 hektar. Banyak hewan ternak sapi yang mati. Angkanya pada tahun 2020 sebanyak 94 ekor sapi. Diduga mengkonsumsi rerumputan yang busuk akibat genangan. Ada juga dugaan karena diracun pemilik kebun. Sapi menerobos kebun lantaran punahnya hijauan di sepadan danau karena genangan. Jumlah ternak sapi merosot tajam. Bergerak menurun dari waktu ke waktu.
Potensi konflik sosial horisontal kian merenggang. Kondisi ini sangat mengkuatirkan bagi wilayah Poso. Kawasan yang dipulihkan dengan susah payah, paska konflik komunal berkepanjangan.
***
Atas semua kejadian ini, pemerintah harus tampil di tangah untuk melerai. Mempertemukan kepentingan dunia usaha yang bekerja untuk penuhi kebutuhan publik. Dengan kepentingan kelompok masyarakat di tapak proyek sebagai stakeholder utama. Kurang bijak, bila kita bertindak atas nama kepentingan publik berbayar (kebutuhan energi). Tapi mengabaikan, bahkan menghancurkan kepentingan lokal dan atau aset hidup mereka.
Ramirez yang menawarkan konsep four R (4R). Pertama, “right” atau hak. Kedua, “revenue” atau pendapat. Ketiga, “relationship”, atau hubungan sosial. Dan yang ke empat adalah “responsibilities” atau tanggungjawab. Mungkin dengan memperhatikan dan atau menyeimbangkan “four R” ini. Kita bisa temukan solusi efektif untuk semua.
Ilmuan lain mengiktiarkan setiap aksi pembangunan untuk memperhatikan sejumlah hal esensial. Pertama, harus menguntungkan secara ekonomi. Kedua, memungkinkan secara teknis. Ketiga, diterima secara sosial. Ke empat, berkelanjutan secara ekologis. Dan ke lima, memperhatikan dukungan sumber daya lokal.
Untuk menjawab semua masalah ini, beberapa tawaran bisa diajukan. Antara lain ; (1), kompensasi kerugian masyarakat karena kehilangan kesempatan usaha dalam satuan waktu. (2). Memulihkan kembali ruang usaha masyarakat agar mereka bisa berusaha kembali. (3). menghentikan atau membatalkan atau mencari alternatif lain dari semua kebijakan, rencana dan program (KRP) yang menjadi sumber masalah. (4). Temukan solusi parmanen untuk pengelolaan Danau Poso secara berkelanjutan. Geopark boleh jadi satu alternatif.
Mungkin dengan begitu, air mata mereka berhenti meleleh.
Catatan Redaksi : Tulisan dimuat pertama kali dalam Kolom yang diasuh oleh Penulis di Palu Expres. Judul asli : Di Danau Poso, Mereka Berjuang.