Menilik Rancangan Sempadan Danau Poso : Untuk Siapa?

0
1684
Danau Poso dilihat dari atas Desa Bancea, Kecamatan Pamona Selatan. Foto : Dok.PenjagaDanauPoso

982 rumah , 15 rumah ibadah , 16 sekolah, dan 334 hektar lahan pertanian di 18 desa di pinggir danau Poso akan berstatus quo. Wilayah yang masuk dalam status quo adalah wilayah yang tidak bisa di”ganggu” dan secara perlahan akan ditertibkan.  Ini akan terjadi jika rancangan sempadan Danau Poso menetakan angka 513,15 mdpl ( meter di atas permukaan laut ) sebagai dasar  untuk menarik garis sempadan. Sebagian besar pemilik lahan dan rumah yang akan berada dalam status quo ini bukanlah orang kaya yang bisa membangun kembali rumah atau membuka lahan di luar sempadan. Yang terdampak adalah warga yang sejak ratusan tahun hidup dipinggir danau Poso jauh sebelum ada rancangan sempadan Danau Poso.

Senin 25 Oktober 2021, lewat teknologi Zoom, Balai Wilayah Sungai Sulawesi III, lembaga yang ada dibawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melaksanakan diskusi terfokus tentang penetapan batas badan dan sempadan danau Poso. Diskusi ini dihadiri hampir semua kepala desa dan camat di sekeliling danau Poso, serta anggota tim kajian sempadan danau Poso hadir. Pokok diskusinya, meminta persetujuan ukuran tertinggi air danau Poso di titik 513,15 mdpl yang akan dijadikan titik penetapan ukuran sempadan yang akan ditarik sepanjang 50 meter kearah daratan.

Di halaman 17 dokumen materi FGD, tentang penetapan garis sempadan danau, disebutkan, penentuan elevasi danau berdasarkan elevasi tertinggi bendungan PLTA 1 dan Muka Air Banjiran (MAB) ditambah 50 meter kearah daratan. PLTA Poso 1 adalah pembangkit yang menghasilkan 120 MW listrik milik PT Poso Energy, anak usaha Bukaka Group milik keluarga mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Untuk mengoperasikan pembangkit ini, muka air danau dinaikkan hingga 511,7mdpl.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 26 tahun 2015, tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau di pasal 12 ayat 1 menyebutkan bahwa garis sempadan danau ditentukan mengelilingi danau paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi.  Di ayat 2 disebutkan, muka air tertinggi yang pernah terjadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi batas badan danau.

Berdasarkan pasal 12 inilah, ukuran tinggi air danau Poso yang diusulkan BWSS III untuk jadi titik pengukuran sempadan adalah 513,15 mdpl. Dalam penjelasannya, BWSS menjelaskan ketinggian ini didapatkan berdasarkan informasi dari masyarakat. Namun, tidak dijelaskan masyarakat yang mana. Sementara itu, ahli hidrologi BRIN ( Badan Riset dan Inovasi Nasional ), Hendro Wibowo, saat diwawancarai media mosintuwu.com menceritakan ukuran tertinggi air danau Poso yang pernah terjadi tahun 1977 adalah 512,7 mdpl ) . Dijelaskan Hendro, sejak peristiwa tahun 1977 tersebut belum tercatat ketinggian elevasi air yang serupa dalam 49 tahun terakhir.  Ketua adat Meko, Berlin Modjanggo, saat diwawancarai media mosintuwu.com  menyebutkan ketinggian air Danau Poso punya siklus serta tidak pernah bertahan tetap pada ketinggian 512 mdpl.

Baca Juga :  Arogo Onco : Sup dengan Daun Kembar, Nyami to Poso

Beroperasinya bendungan PLTA Poso 1 telah membuat tinggi muka air Danau Poso sudah naik dari  ketinggian normal 509,2 mdpl ke 511,7 mdpl sejak tahun 2019. Kenaikan muka air Danau Poso ini mengikuti kebutuhan pasokan air untuk memutar turbin PLTA. Ketinggian muka air Danau Poso ini menetap dan tidak lagi mengikuti siklus normal air Danau Poso yang diketahui oleh warga di sekeliling Danau Poso sejak beratus-ratus tahun sebelumnya. Sejak itu 266 hektar sawah dan kebun dipinggir danau Poso terendam, tidak lagi bisa ditanami karena air tidak kunjung surut. Banyak problem sosial, ekonomi, budaya dan hukum yang diperkirakan akan muncul dimasa mendatang.

Lahan Hidup Semakin Sempit

Dalam diskusi terfokus, pejabat BWSS yang jadi moderator berkali-kali meyakinkan, bila angka 513,15 mdpl disepakati bukan berarti air danau Poso akan dinaikkan setinggi itu. Memang benar. Tetapi, tetap saja penetapan 513,15 mdpl berdampak terhadap luas lahan yang nantinya tidak lagi bisa dikembangkan karena status Quo. Artinya, lahan itu sewaktu-waktu bisa ditertibkan pemerintah karena bagian dari sempadan.

Kemungkinan ini termaktub di Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 26 tahun 2015 pada pasal 20 ayat (1)  : Dalam hal berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1), menunjukkan terdapat bangunan dalam sempadan danau maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan danau. Dengan status ini pula, bila ada warga yang hendak membangun rumah baru dilahannya yang masuk di kawasan sempadan, ijinnya tidak akan dikeluarkan.

Reaksi penolakan atas rancangan ini bermunculan. Efren Ponangge, kepala desa Dulumai, kecamatan Pamona Puselemba dengan tegas mengatakan menolak angka 513,15 mdpl yang akan disampaikan kepada Dirjen Sumberdaya Air Kementerian PUPR. Efren tentu membaca draft dokumen yang menuliskan 86 rumah dan 11 hektar lahan pertanian warganya di Dulumai yang sudah dikelola turun temurun bakal masuk kawasan sempadan.

Penolakan ini muncul karena luas lahan kelola semakin sempit. Desa-desa di kecamatan Pamona Barat kini seperti terjepit. Naiknya air danau membuat ratusan sawah dan kebun tidak bisa lagi diolah. Mau mengolah lahan disebelah barat, ada Cagar Alam Pamona. Kepala desa Meko, Gede Sukaartana mengatakan, sekitar 175 hektar wilayah desanya kini masuk dalam wilayah Cagar Alam.

Baca Juga :  Pohintuwo, Merespon Bencana di Lembah Bada

Wilayah yang berstatus Quo, menurut praktisi hukum, Evani Hamzah MH berarti wilayah yang tak bisa di “ganggu” oleh siapapun. Namun dalam pengalaman advokasi yang dilakukannya, perlakuan hukum terhadap pelanggaran diwilayah status Quo tidak adil.

“Di kita, kalau rakyat yang olah wilayah sempadan untuk pertanian misalnya dianggap melanggar atau melakukan perbuatan melawan hukum. Tapi jika dilakukan oleh korporasi seperti dianggap sah saja dengan dalih pembangunan”kata Evani. Apalagi banyak kebijakan yang dikeluarkan negara tanpa partisipasi masyarakat, khususnya yang terkena dampak.

Bendungan PLTA di Desa Sulewana, Kecamatan Pamona Utara, Kab.Poso ( 23 Juni 2019 ) Foto : Dok.Mosintuwu/RayRarea

Bendungan, Sempadan Danau dan Dampak Ekologi

Camat Pamona Puselemba, Markus D Wutabisu, melalui layanan pesan di diskusi virtual mempertanyakan apakah penentuan tinggi air mempertimbangkan hak adat dan budaya masyarakat. Pertanyaan ini muncul karena sejak air danau tidak kunjung surut, Kompo Dongi, salah satu areal penting secara budaya dan ekologi di danau Poso kehilangan fungsinya.

Kompo Dongi, merupakan areal seluas kurang lebih 34 hektar yang berada di sebelah timur sungai Poso, kelurahan Tentena adalah tempat Mosango. Sebuah tradisi menangkap ikan secara bersama-sama oleh masyarakat suku Pamona saat air danau surut.  Sekarang, tradisi itu tidak bisa lagi dilakukan.

Kawasan ini menjadi semacam tempat pemijahan, sumber makanan dan tempat berkembang biak alami ikan-ikan yang nantinya menyebar di danau hingga sungai Poso. Penelitian yang dilakukan ahli perikanan dari Masyarakat Iktiologi Indonesia, Dr Meria Tirsa Gundo menyebutkan,  Kompo Dongi merupakan Aquatic-Terrestrial Transition Zone atau tempat yang terendam mengikuti musim. Saat air di Kompo Dongi turun, ikan-ikan pergi ke danau Poso.

Air yang tidak lagi mengalami pasang surut secara alami dikhawatirkan mempengaruhi ekosistem sungai dan danau Poso. Dalam pengalaman petani dan nelayan, pasang surut berkaitan dengan kegiatan pertanian dan menangkap ikan.

Senada dengan hal tersebut, Akademisi Universitas Tadulako, Dr Fadli Y Tantu mencatatkan pendapatnya bahwa penentuan garis sempadan danau harus benar-benar memperhitungkan level tinggi alami serta pasang surutnya yang harus tetap berfungsi,  memperhatikan hak-hak pemanfaatan masyarakat secara tradisional serta hak masyarakat menjaga budayanya. Tiga poin yang disarankan ahli perikanan ini semuanya sudah terancam hilang.

Pasang surut danau juga membentuk kalender bertani masyarakat sekitarnya, setahun, petani sawah dan palawija di pinggir danau Poso menanam 2 kali. Bulan Desember akhir, sawah mulai diolah ketika air danau surut. Panen berlangsung mulai bulan April sampai Mei. Setelah itu air danau kembali naik dan surut  kembali pada akhir Juli. Pada akhir Juli sawah kembali ditanami hingga panen antara bulan Oktober dan November.

Bagi nelayan, khususnya To Ponyilo, yang menangkap ikan dan sidat dengan tombak pada malam hari, saat air pasang berarti musim panen.  Mereka membagi musim Masapi menjadi 2 bagian. Pantawa dan Poili Wata. Pantawa, ditandai munculnya Sidat ukuran 0,8 sampai 2 kg pada bulan awal Desember hingga Maret. selama kurang lebih 4 bulan itu, To Ponyilo hampir setiap malam mendapatkan hasil tangkapan dengan jumlah bervariasi, semalam hingga 12 ekor. Jika kurang mujur setidaknya masih bisa bawa pulang ikan Mujair.

Baca Juga :  Literasi Bencana : Modal Hidup di Negeri Cincin Api

Bulan April hingga November disebut musim Poili Wata (kayu hanyut), ukuran sidat yang berenang melintasi mulut danau Poso menuju Teluk Tomini lebih besar, Yanis Moento, seorang To Ponyilo bilang ukurannya diatas 4 kilogram per ekor.

Disela dua musim ini To Ponyilo akan mendapatkan Sidat ada Poili Wetonu, kemunculan sidat berwarna kelabu bercorak kehijauan , nelayan menyebutnya Wentonu dan bercorak kuning kecoklatan yang disebut Beta’u . Para peneliti menyebut yang kelabu bercorak kehijauan adalah anguilla bicolor, dan  Beta’u  disebut anguilla marmorata.

Tidak kunjung surutnya ketinggian air di mulut (outlet) danau Poso mempengaruhi musim Sidat. Catatan yang dilakukan Kurniawan Bandjolu, peneliti biota danau Poso menunjukkan, para nelayan masih mendapatkan Sidat diluar musim biasanya. Selain itu Jalur ruaya yang terganggu akibat terhalang 2 bendungan PLTA mempengaruhi jumlah populasi sidat di danau.

Tentu bukan hanya keberadaan 2 bendungan, menurunnya kualitas lingkungan di sekitar danau Poso akibat limpahan bahan-bahan kimia sisa-sisa pestisida juga berkontribusi menurunkan populasi sidat dimasa mendatang. Kedua hal ini pula yang nantinya akan mengaburkan kalender Toponyilo.

Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu yang juga merupakan anggota kajian sempadan Danau Poso menyampaikan pendapatnya bahwa perhitungan garis sempadan Danau Poso jika mengacu pada Perpres No.60 tahun 2021 soal 15 danau Prioritas, salah satu pertimbangannya adalah keanekaragaman hayati. Danau Poso merupakan danau purba karena itu memiliki biota dan flora endemik yang membutuhkan fluktuasi muka air  ( pasang surut alami , daerah riparian untuk pemijahan biota), sehingga harusnya keanekaragaman hayati menjadi pertimbangan dalam penentuan garis sempadan danau Poso. Lian mengingatkan bahwa mengabaikan pertimbangan keanekaragaman hayati yang menjadi bagian pertimbangan penting di Perpres No.60 2021  mengesankan perlakuan terhadap Danau Poso bukan lagi sebagai danau tapi sebagai WADUK .

Warga masyarakat yang hidup di sekitar Danau Poso dalam 100 tahun terakhir  memiliki tradisi budaya danau yang hidup dari Danau Poso, misalnya Wayamasapi, Mosango, Monyilo, belum lagi aktivitas perkebunan dan persawahan yang tersebar di sekeliling Danau Poso. Penetapan garis sempadan Danau Poso  karenanya harus mempertimbangkan tradisi budaya danau Poso yang hidup .

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda