Anak-anak di Poso Sedang Tidak Baik-baik Saja: Alami Gizi Buruk dan Terlibat Narkoba

1
2419
Anak-anak sedang bermain di tepi Danau Poso . Foto : Dok.Pribadi/Sue

Anak-anak di Poso tidak baik-baik saja. Di hari anak tahun 2020, masih ada anak-anak di Poso berhadapan dengan kasus gizi buruk, stunting, terlibat narkoba hingga kekerasan seksual. Tahun 2015, Ari, seorang anak berusia 13 tahun meninggal dunia setelah menderita busung lapar sejak beberapa bulan. Keluarga Ari tidak sanggup membawa ke rumah sakit atau puskesmas karena alasan ekonomi. Tahun 2020, Nizam, 8 tahun dari kelurahan Sayo tercatat menderita gizi buruk hingga sekarang. Kondisi Nizam membuatnya dirujuk hingga ke rumah sakit di Palu. Ironisnya, baik keluarga Ari maupun Nizam terletak tidak jauh dari kota Poso, ibukota Kabupaten Poso. 

Stunting, menjadi salah satu kasus yang dialami oleh anak karena kurang gizi.  Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 di Sulawesi Tengah menunjukkan, jumlah anak yang mengalami stunting tercatat sebanyak 32,2 persen. 

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Risiko yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam jangka pendek diantaranya meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian, gangguan perkembangan (kognitif, motorik, bicara), meningkatnya beban ekonomi untuk biaya perawatan dan pengobatan anak yang sakit. Jangka panjang menyebabkan menurunnya kesehatan reproduksi, konsentrasi belajar dan rendahnya produktivitas kerja. 

Di kabupaten Poso, berdasarkan data Dinas Kesehatan, hingga tahun 2017 mencatat ada 603 orang balita yang mengalami Stunting, jumlah ini berkurang dibanding tahun 2016 dimana jumlahnya tercatat sebanyak 1.175 kasus. Kepala dinas Kesehatan kabupaten Poso, dokter Taufan Karwur menyebut, kasus ini terjadi karena asupan gizi sejak dini kepada remaja putri, calon pengantin hingga ibu hamil tidak cukup.

Dokter Taufan menepis banyaknya kasus ini karena faktor kemiskinan. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya makan makanan bergizi yang masih kurang. Untuk membenarkan pendapatnya, Taufan menyebut tidak sedikit bayi stunting berasal dari keluarga berada, meskipun umumnya ada di level keluarga menengah kebawah.

Perubahan budaya makan menjadi salah satu sebab banyaknya kasus ini. Munculnya makanan cepat saji dan kebiasaan membeli makanan-makanan tidak sehat untuk mengikuti gaya hidup orang kota kini menjadi kebudayaan baru di kabupaten Poso. Alasannya untuk kepraktisan, tidak ingin repot atau membuang waktu untuk memasak.

Baca Juga :  Warna - warni Persahabatan di Festival Anak Poso

Kemiskinan tentulah menjadi salah satu faktor penting penyebab Stunting. Secara teori, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan makanan bergizi dalam keluarga karena kemiskinan adalah hal yang sulit dibantah. Belum lagi budaya patriarkhi dimana kebutuhan ayah akan diutamakan, yakni rokok. Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2017 menyebutkan, pengeluaran untuk membeli rokok oleh masyarakat miskin mencapai 11 persen dari pengeluaran mereka dalam sebulan. Hal yang sama terjadi di keluarga-keluarga di Kabupaten Poso. Dalam suatu percakapan di kelas sekolah perempuan Mosintuwu, para ibu menyebutkan bahwa pengeluaran untuk rokok dalam sebulan bisa mencapai Rp. 600.000 , setara dengan harga enam ekor ayam atau pembelian lauk 30 kali dalam sebulan yang berarti setiap hari sangat memungkinkan untuk membeli lauk sebagai bagian dari asupan gizi.

Sedangkan Kementerian sosial, melalui artikel berjudul Kontribusi program keluarga harapan (PKH) dalam pencegahan Stunting di Indonesia yang tayang di situs http://puspensos.kemsos.go.id/en/Publikasi/topic/593 menyebutkan, kemiskinan sebagai penyebab Stunting. 

Di kabupaten Poso, data jumlah warga miskin saat ini menurut dinas sosial sebanyak 28.451 kepala keluarga. Adapun data di Sistem Informasi Pemerintah Daerah atau SIPD tahun 2020 disebutkan jumlahnya mencapai 128,564 orang. Adapun BPS, lembaga yang paling berwenang mengeluarkan data statistik menyebutkan, berdasarkan hasil Susenas tahun 2018, jumlah orang miskin di kabupaten Poso sebanyak 41,740 orang.

Tiga versi jumlah kemiskinan itu siapapun yang benar, jumlahnya besar. Artinya banyak keluarga yang saat ini tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga ditengah makin banyaknya kebutuhan hidup. Tanpa intervensi pemerintah, jumlah kasus Stunting, gizi kurang maupun gizi buruk bukan hal mustahil akan bermunculan. Apalagi dimasa pandemi dimana untuk mendapatkan tambahan pendapatan akan semakin berat.

Data hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan surveilans gizi menggunakan e-ppgbm yang diprogramkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia keseluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2018 menunjukkan stunting sebesar 25,2 persen terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Poso berada di peringkat ke 7 dari 13 kabupaten Kota di Sulteng. Tercatat sebanyak 24,9 persen anak di kabupaten Poso mengalaminya.

Baca Juga :  Bahasa Ibu di Poso : Bada dan Behoa Terancam Punah, Pamona Alami Kemunduran

Berikut daerah di Sulteng dengan jumlah kasus Stunting terbanyak berdasarkan Riskedas tahun 2018 : Banggai Laut 36,7%, Bangkep 35,8%, Morut 34,3%, Donggala 32,8%, Kota Palu 32,2%, Parimo 30,1%, Poso 24,9%

WHO menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk.

Perpustakaan Sophia , Institut Mosintuwu mengembangkan kegiatan Read Aloud , sebagai salah satu ruang aktivitas anak di wilayah Tentena dan sekitarnya. Kegiatan kreativitas untuk anak-anak memungkinkan mereka tidak terlibat aktivitas yang buruk seperti narkoba. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Terlibat Narkoba Sejak Kecil 

Gizi buruk bukan satu-satunya masalah yang dihadapi oleh anak-anak di Poso. Badan Narkotika Nasional (BNN) kabupaten Poso tahun 2019 merilis jumlah kasus penyalahgunaan narkotika yang mereka tangani. Dari 81 orang yang ditangkap, 72 orang laki-laki, 9 orang perempuan. 12 orang diantaranya anak-anak dan remaja berusia 10-15 tahun. Narkotika memang sudah menjadi ancaman serius bagi semua orang, semua umur. Tahun 2017 lalu, berdasarkan hasil tes urine yang dilakukan BNNK Poso, seorang anak yang masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar di kecamatan Poso Pesisir Utara positif menggunakan narkotika jenis Sabu.

Bagaimana narkotika itu bisa sampai ketangannya? rupanya si anak patungan, menyisihkan uang jajan bersama beberapa orang teman-teman sekolahnya untuk membeli dari seorang bandar di desanya. Bayangkan, di sebuah desa yang jauh dari ibukota kabupaten, narkotika sudah dijejalkan kepada anak-anak.

Bukan hanya di desa Tambarana yang ada di ujung utara kabupaten Poso. Di kecamatan Pamona Barat sisi barat danau Poso, tahun 2019 lalu, Polisi menangkap seorang remaja 15 tahun karena mengedarkan narkotika.

Tahun 2018, BNN merilis data dari 13 provinsi terdapat 2,29 juta orang pelajar menjadi pengguna narkotika. Data ini menunjukkan ada peningkatan pengguna di kalangan pelajar . Pada  tahun 2017 , pengguna di tingkat pelajar mencapai 20 persen, tahun 2018 naik menjadi 24 persen. Tahun 2019, BNN kembali merilis jumlah pemakai berusia 15-60 tahun sebanyak 3,6 juta orang.

Baca Juga :  Kartini dan Kisah Perempuan Memimpin Desa di Poso

Mendapatkan narkotika di Poso saat ini tentu lebih mudah. Tahun 2019, BNNK Poso sudah menyebutkan kalau daerah ini sudah bukan lagi sekedar tempat transit zat Adiktif berbahaya itu, melainkan juga menjadi tempat pemasarannya. Masih ditahun yang sama, 

Dari sebuah kelurahan di kota Palu, Tatanga, narkotika menyebar hingga ke kabupaten Poso. Dengan omzet mencapai 1,2 miliar rupiah per hari, para bandar ini mengerahkan kurang lebih 400 orang untuk mengedarkannya. Kepala BNN Provinsi Brigjen Suyono menyebut, dari seorang bandar di Poso yang ditangkap menyebut sumber narkotika yang dijualnya berasal dari Tatanga.

Cerita dari beberapa remaja di kota Poso dan Tentena, mereka mencurigai gerak-gerik beberapa teman-temannya yang menunjukkan gejala seperti orang yang biasa menggunakan narkotika. Salah seorang remaja yang kami wawancarai berharap, ada sosialisasi yang intens untuk memberitahukan betapa bahayanya narkotika itu.

Data-data tersebut menjadi pengingat atas masalah-masalah yang dihadapi oleh anak-anak di Kabupaten Poso. Seluruh pihak penting untuk melihat persoalan yang dihadapi anak-anak sebagai hal yang mendesak untuk diatasi dengan serius. Data-data dari masalah yang dihadapi anak harusnya terbaca sebagai sebuah peringatan betapa gawatnya situasi yang dihadapi anak. Istilah aib dan tabu harus dibongkar kembali untuk memastikan kasus-kasus yang dialami anak teratasi.  Pemerintah Kabupaten Poso harus berperan melalui berbagai dinas untuk melakukan langkah kongkrit mengatasi masalah yang dihadapi anak. Lembaga keagamaan mengambil peran penting untuk membangun kesadaran kritis terhadap persoalan anak sehingga mendorong keluarga berperan aktif mengatasinya. Jika tidak, pembangunan apapun bentuknya di Poso bukan hanya meninggalkan anak-anak tapi juga menciptakan lingkaran masalah yang tidak berujung. 

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda