Gusdurian, Menggerakkan Masyarakat Menguatkan Indonesia

0
1297

Di tengah pandemi, 779 penggerak di seluruh dunia, 1145 masyarakat umum , 123 panelist, 77 pengisi acara dari berbagai disiplin ilmu bertemu online dalam pertemuan nasional Gusdurian selama 10 hari, 7 – 16 Desember 2010. Meski tidak dalam sebuah pertemuan langsung bersama seperti biasanya di Jogjakarta, TUNAS Gusdurian demikian disingkat menjadi pertemuan akbar yang memikirkan dengan sungguh-sungguh praktek menggerakkan masyarakat, memperkuat Indonesia.

Ibu Shinta Nuriyah Wahid,  dalam penutupan  TUNAS Gusdurian 16 Desember 2020 menggambarkan bahwa bekerja dalam konteks dimana budaya pragmatisme dan instan begitu kuat mempengaruhi masyarakat , bukanlah hal mudah . Memikirkan dan mempraktekkan kerja menggerakkan masyarakat memperkuat Indonesia adalah kerja yang tidak hanya menguras tenaga dan pikiran tapi juga membutuhkan komitment dan pengorbanan.  

“Gusdur, pernah menyampaikan kerja kebudayaan seperti berjalan di jalan yang terjal, licin dan sunyi , selain diperlukan kewaspadaan agar tidak mudah tergelincir, juga dibutuhkan kekuatan fisik dan mental agar tidak mudah jatuh dan tidak mudah patah. Oleh karena itu, hanya orang2 yang memiliki stamina tinggi, komitment dan tekat yang kuat yang bertahan di jalan ini” kata Ibu Shinta.

Tema menggerakkan masyarakat memperkuat Indonesia bukanlah slogan, sebaliknya menggambarkan peran hidup Gus Dur di Indonesia . Oleh karenanya jaringan gusdurian mewarisi pemikiran dan gerak langkah tersebut dalam 9 nilai-nilai gusdurian , kata Alissa Wahid, koordinator jaringan Gusdurian. Diakui bahwa pekerjaan rumah aktivis gusdurian menggerakkan masyarakat dan memperkuat Indonesia, masih banyak. Dalam pernyataan pers, disebutkan kondisi beragama, berbangsa dan bernegara yang tidak kunjung membaik menjadi tantangannya.

Akibat lemahnya pendidikan kewargaan, sampai saat ini rakyat Indonesia tidak cukup mampu mempengaruhi proses-proses politik. Alhasil, praktik politik yang terjadi lebih berorientasi kekuasaan, korup dan transaksional, tidak sesuai dengan prinsip kepemimpinan publik yang ditekankan oleh Gus Dur: tasharruful imam ala ra’iyyah manuthun bilmaslahah, kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat.

Praktik bernegara kita masih melanggengkan diskriminasi yang terlembagakan melalui regulasi, terutama terhadap kelompok minoritas. Menguatnya eksklusivisme beragama di ranah masyarakat dan aparatur negara, terutama di dunia pendidikan, menyebabkan maraknya praktik intoleransi dan konflik sosial berbasis sentimen keagamaan.

Di tengah literasi demokrasi dan pemikiran kritis yang masih lemah, perkembangan teknologi digital saat ini semakin memperparah polarisasi yang sudah berlangsung di masyarakat sebagai dampak sektarianisme dan politisasi agama. Bahkan, ketimpangan digital ini ditengarai dimanfaatkan oleh aktor-aktor negara untuk mengkooptasi warga, memaksakan kebijakannya, dan mengkriminalisasi kelompok yang berbeda.

Baca Juga :  Danau Poso dan Spiritualitas Kemitraan dengan Semesta

Demokrasi yang dikuasai kelompok oligarki mengakibatkan  penegakan hukum dan HAM yang berlangsung di Indonesia seolah tumpul di hadapan kelompok oligarkh, dan runcing bagi kelompok rakyat lemah. Politik Hukum yang terjadi akhir-akhir ini, sebagaimana penyusunan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, mencerminkan pembuat kebijakan lebih pro investasi dan pemilik modal serta mengabaikan hak-hak rakyat.

Setelah ditetapkannya UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja,  potensi kerusakan lingkungan di Indonesia semakin besar. Peraturan-peraturan tersebut akan semakin memperluas skala geografis kerusakan sosial ekologis di Indonesia. Bahkan dikhawatirkan semua UU tersebut menjadi alat legal bagi kepentingan pemilik modal terutama di sektor ekstraktif seperti pertambangan, kehutanan, dan perkebunan sawit untuk melanggengkan penguasaan mereka atas sumber-sumber agraria di Indonesia.

Dalam ranah HAM, masih terjadi berbagai pelanggaran seperti diskriminasi dan rasisme yang disertai aksi kekerasan antarkelompok masyarakat maupun oleh aparat keamanan, pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan, perampasan tanah untuk pembangunan infrastruktur, serta masih lemahnya perlindungan hak bagi kelompok rentan: perempuan, penyandang disabilitas, dan buruh migran.

Sementara itu, di dalam ranah sosial keagamaan, tumbuh eksklusivisme beragama yang disertai tindakan menyalahkan, mengkafirkan, membid’ahkan, dan menyesatkan kelompok yang berbeda. Keberagamaan mengedepankan pandangan yang legalis-formalistik yang justru memperkuat konflik identitas, dan agama dipertentangkan dengan budaya lokal. Hal ini diperparah dengan hadirnya kelompok-kelompok agama yang memaksakan kehendaknya, dan semakin berani menarasikan agama dengan pesan kebencian, mengambil media sosial sebagai medan pertarungan, dan marak gerakan-gerakan jalanan.

Pendidikan nasional adalah bidang yang sangat strategis dalam mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan konstitusi negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan nasional hingga saat ini, masih terdapat kebijakan maupun praktik lembaga pendidikan yang tidak relevan dengan upaya pemerdekaan, dengan memanusiakan manusia untuk memerdekakan martabat kemanusiaan Indonesia.

Dalam situasi Pandemi Covid-19, situasi ekonomi nasional menghadapi tantangan naiknya jumlah pengangguran hingga 2,67 juta saat ini. Berbagai jenis usaha mengalami penurunan yang sangat drastis. Dari sisi pelaku usaha, sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), yang merupakan mayoritas usaha di Indonesia mengalami pukulan berat. Sementara kita masih harus menghadapi kondisi kemiskinan, ketimpangan, kesehatan, dan kualitas lingkungan hidup.

Baca Juga :  Gusdurian Award, Meneruskan Teladan Gus Dur

Pada ranah sistem mikro, tantangan hadir dalam upaya pewujudan ketangguhan keluarga. Padahal keluarga merupakan pondasi dasar sebuah bangsa, bahkan peradaban manusia. Beberapa problem seperti tingginya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan terhadap perempuan dan anak, pernikahan dini, kemiskinan, berkembangnya ultra konservatisme dan dampak penggunaan media sosial, perlu segera direspons oleh semua elemen masyarakat. Setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan peran yang harus dioptimalkan dalam pembentukan keluarga tangguh dengan tetap menggunakan prinsip kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan.

ibu Shinta Nuriyah Wahid memberikan sambutan dalam penutupan Tunas Gusdurian 2020 . Foto : Dok. Jaringan Gusdurian

Menghadapi berbagai tantangan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara  tersebut, forum nasional Gusdurian merekomendasikan beberapa hal penting :

Pertama, menegakkan kembali prinsip negara yang melindungi semua warganya, tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan ras serta mempraktikkan nilai kesetaraan bagi semua warga negara dalam praktik  bernegara sesuai dengan konstitusi.

Kedua, Memperkuat politik kewargaan dan mengawal terbukanya kembali diskursus tentang negara dan kewargaan. Masyarakat sipil perlu memperkuat basis sosial untuk menguatkan kontrol terhadap kekuasaan, agar struktur relasi dengan negara lebih transformatif sehingga posisi masyarakat sipil tidak semakin terkooptasi oleh negara.

Ketiga, Pemerintah dan DPR RI perlu mengagendakan pembahasan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM seperti RUU Perubahan UU ITE, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU Perubahan UU HAM. Pemerintah dan DPR RI harus melakukan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan memperkuat Lembaga Nasional HAM (Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI). Masyarakat perlu membangun sistem kontrol jalannya pemerintahan baik pusat dan daerah, sehingga kebijakan-kebijakan yang ada melindungi mereka yang lemah atau dilemahkan dan inklusif.

Keempat, perlu adanya pembaharuan paradigma pendidikan terkait arah dan pengelolaan hingga perbaikan kultur lembaga dalam kolaborasinya dengan masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan agar sistem pendidikan Indonesia tidak lagi terdikte oleh kepentingan politik ekonomi global, melainkan konsisten pada dasar Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai agama, dan budaya lokal untuk masa depan bangsa Indonesia yang sejahtera, damai, adil, dan beradab.

Kelima, mendorong konsep “Pribumisasi Islam” sebagai metodologi pemikiran dan strategi gerakan sosial masyarakat untuk mewujudkan Indonesia berketuhanan, berkemanusiaan, bermartabat, dan berkeadilan. Untuk itu, perlu disosialisasikan pandangan Pribumisasi Islam tentang manusia sebagai subjek dan objek dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Baca Juga :  Laulita Ayam Ajaib dan Bukti Sejarah Geologi Terbentuknya Sulawesi

Keenam, eksploitasi sumber daya alam telah mengakibatkan berbagai bencana yang berdampak pada banyak aspek kehidupan masyarakat. Saat ini dunia menghadapi krisis global perubahan iklim. Penyebab perubahan iklim adalah kenaikan emisi gas rumah kaca yang di antaranya disumbang oleh eksploitasi sumber daya alam dan konsumsi energi kotor. Oleh karena itu,  perlu dilakukan percepatan transisi energi bersih di Indonesia, karena energi kotor—terutama energi batu bara—merupakan salah satu penyumbang terbesar krisis perubahan iklim skala global.

Ketujuh, perlu dibangun paradigma ekonomi yang berkelanjutan dan berbasis pada nilai kemanusiaan dan keadilan lingkungan. Selama ini paradigma pembangunan lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi yang hanya melayani kepentingan investasi tanpa mengindahkan aspek keadilan dan pemerataan, sehingga mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam dan melahirkan ketidakadilan lingkungan (environmental injustice).

Kedelapan, pemerintah perlu memperkuat ekonomi dan keuangan bagi kelompok lemah dengan mendorong kemudahan akses fasilitas-perkreditan-permodalan bagi UMKM. Pemerintah juga perlu melakukan upaya serius untuk memangkas ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kemampuan daya beli rakyat. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan untuk melindungi dan menumbuhkan sektor pertanian pangan, dan kelautan, serta mengembangkan perekonomian kreatif yang memfasilitasi rantai produksi dan distribusi perekonomian nasional.

Kesembilan , menjadikan perempuan, anak, dan keluarga sebagai isu penting yang harus direspons dengan serius oleh seluruh elemen bangsa sekaligus menjadikannya sebagai perspektif yang inheren dalam semua isu kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.  Perempuan, anak, dan keluarga harus diposisikan sebagai subjek dan aktor perubahan sosial. Karena itu perlu ada upaya  mempromosikan narasi tentang perempuan, anak, dan keluarga yang berbasis pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan untuk membendung narasi-narasi serupa yang melanggengkan subordinasi dan ketidakadilan pada perempuan dan anak. Perlu juga melakukan gerakan literasi kontekstual dan hukum agar masyarakat memiliki daya kritis dan mampu menghadapi persoalan hukum yang berkaitan dengan isu tersebut.

Mengutip pernyataan Gusdur, bahwa “Perdamaian tanpa Keadilan adalah Ilusi” , Jaringan gusdurian mengajak segenap komponen bangsa untuk bersama-sama berjuang demi tegaknya keadilan untuk Indonesia sejahtera, damai, dan beradab. Institut Mosintuwu menjadi bagian dari jaringan gusdurian Nasional yang meneruskan praktek 9 nilai gusdurian di Kabupaten Poso . 

Redaksi : ditulis kembali oleh sekretariat Mosintuwu berdasarkan pers release dan live penutupan TUNAS Gusdurian 2020

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda