Festival Mosintuwu : Ruang Bertemu, Belajar dan Merayakan Desa-Desa Poso

0
1921
Karnaval festival hasil bumi tahun 2017. Festival Hasil Bumi adalah nama yang sebelumnya digunakan sebelum diubah menjadi festival Mosintuwu tahun 2018. Foto : Dok. Mosintuwu

“Desa-desa membutuhkan ruang untuk bertemu dan saling belajar. Festival Mosintuwu adalah ruang yang diciptakan untuk bukan hanya bertemu dan saling belajar tapi juga merayakan kekayaan budaya dan alam di Poso” demikian disampaikan Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu.

Tahun 2019, Festival Mosintuwu kembali diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu . Dilaksanakan pada tanggal 31 Oktober hinggal 2 November 2019, kali ini  festival mengambil tema “menguatkan, dan merayakan kekayaan budaya , alam dan keanekaragaman hayati Poso. 

Lian menjelaskan, tema ini dipilih dari refleksi perjalanan 10 tahun Mosintuwu yang awalnya fokus pada gerakan perempuan, melakukan refleksi untuk selama 10 tahun ke depan  bergerak bersama dengan masyarakat akar rumput di desa ( perempuan sebagai penggerak ), dalam menggali, menguatkan, mengembangkan pengetahuan lokal tentang alam , kebudayaan dan keanekaragaman hayati Poso. 

“Menguatkan adalah sebuah ide dalam gerakan Mosintuwu yang kembali pada kepercayaan bahwa keanekaragaman hayati alam di Poso telah  memberikan pengetahuan, menciptakan kebudayaan yang membentuk identitas orang Poso. Menguatkan berarti mengembalikan identitas orang Poso yang dibentuk dari keanekaragaman hayati yang ada di sekitarnya. Menguatkan juga memaknai penggunaan kembali kearifan lokal yang ada dalam kebudayaan Poso dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di sungai, danau, laut, gunung, lembah “ jelas Lian

Baca Juga :  Petisi di Hari Perempuan Internasional : Hentikan Stigma pada Perempuan

Lian meneruskan penjelasan, meletakkan kata merayakan adalah sebuah  bentuk membangun kepercayaan diri dan kebanggaan atas kearifan lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di Kabupaten Poso . 

“Jika warga desa cukup percaya diri dengan kearifan lokal yang dimiliki maka mereka akan  menempatkan pengetahuan lokal dan  kearifan lokal sebagai pondasi dalam membicarakan dan mengelola alam serta kehidupan” katanya. 

Dengan demikian, menurut Lian, pembangunan yang dilakukan di desa-desa akan berakar  dan tidak meninggalkan  kearifan dan kebudayaan lokal. 

“Ini agar pembangunan peradaban di bumi memanusiakan manusia dan bersahabat dengan alam” pungkasnya.

Sejak berdirinya Mosintuwu di tahun 2019, isu tentang kedaulatan atas tanah, air dan kebudayaan di Poso  adalah pilihan   utama Institut Mosintuwu dalam merancang program bersama masyarakat. Setelah sebelumnya mengembangkan program Sekolah Perempuan sebagai ruang bertemu dan berdialog antar perempuan lintas agama , sejak tahun 2016, Institut Mosintuwu mulai mengembangkan konsep Sekolah Pembaharu Desa. 

Festival Hasil Bumi tahun 2017. Penggunaan kata Festival Hasil Bumi kemudian berubah menjadi Festival Mosintuwu tahun 2018. Foto : Dok. Mosintuwu

Sekolah Perempuan dan Sejarah Festival 

Festival Mosintuwu berawal dari diskusi dan proses belajar bersama perempuan di kelas Sekolah Perempuan Mosintuwu. Secara khusus kurikulum perempuan dan politik yang belajar tentang UU Desa dan kurikulum ekonomi solidaritas yang dikembangkan dengan serius sejak awal tahun 2014, paska Kongres Perempuan Poso. Kurikulum di kelas sekolah perempuan ini diikuti serangkaian training dan workshop tentang Desa Membangun. 

Baca Juga :  Menolak Kesulitan DPR: Mengapa Poso Mendesak RUU PKS di Prolegnas 2020

Seluruh proses belajar bersama dengan perempuan akar rumput dan masyarakat di desa,  menghasilkan sebuah mimpi tentang desa. Mimpi tentang desa membangun yang menghidupi ekonomi, sosial, budaya dalam masyarakat secara adil dan berdaulat. Mimpi ini diawali dengan menggali keragaman budaya, keunikan alam, sejarah desa, kekayaan alam serta kreativitas orang Poso dalam menngekspresikannya. Proses ini disertai dengan penciptaan/inovasi produk di desa-desa. Pada akhirnya menemukan kekuatan desa untuk berdaulat dalam pengelolaan ekonomi, kehidupan sosial dan kebudayaan. Temuan ini melahirkan sebuah kesadaran kritis tentang pentingnya sebuah perayaan bersama masyarakat dan desa di Kabupaten Poso. Sebuah perayaan yang bukan hanya mempertemukan keunikan, keberagaman dan kekayaan desa tapi mengembangkannya menjadi ruang-ruang terciptanya keadilan .  Dan, perempuan adalah penggerak aktif di dalamnya. Maka, hadirnya Festival Mosintuwu. 

“ Sebelumnya bernama Festival Hasil Bumi. Waktu itu idenya adalah menguatkan hasil bumi dari desa-desa di Poso untuk tidak ditinggalkan atau digusur oleh produksi instan dari pabrik” Martince Baleona, koordinator Program Mosintuwu menjelaskan.

“Penggantian nama Festival menjadi Festival Mosintuwu bertujuan untuk menguatkan akar kebudayaan dan visi festival sebagai sebuah gerakan kebudayaan, yaitu kebudayaan Mosintuwu. Penggantian nama tahun 2017, bersamaan dengan arah gerakan Institut Mosintuwu sebagai organisasi gerakan kebudayaan. Di Festival Mosintuwu, anak, anak muda, perempuan, laki-laki, tokoh agama, tokoh budaya, para petani dan nelayan terlibat secara aktif dalam gerakan kebudayaan ini” tambah Martince  

Baca Juga :  Belajar untuk Berjuang Adil Gender di Sekolah Perempuan

“Desa harus  diakui dan menjadi salah satu penentu dalam konsep pembangunan. Kearifan lokal itu ada di desa-desa. sekaligus menampakkan persoalan-persoalan pengelolaan pangan lokal di desa” lanjut Martince.

Karena itu Lian menambahkan  Festival Mosintuwu adalah sebuah proklamasi atas kekuatan kebudayaan Mosintuwu Poso yang memiliki kearifan dalam pengelolaan alam dan kehidupan.   Sebuah penguatan atas komitment masyarakat desa dalam pengelolaan alam dan kehidupan yang berakar pada kebudayaan Mosintuwu. 

“Demikian pula, festival Mosintuwu ini adalah sebuah ajakan untuk bersama-sama kembali menggunakan kebudayaan Mosintuwu sebagai sebuah perspektif dalam pembangunan. Sebuah kebersamaan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan, dari desa” 

Festival Mosintuwu akan diselenggarakan di tepi Danau Poso, wilayah Yosi, Pamona, pada tanggal 31 Oktober sampai 2 November 2019. Festival akan diikuti oleh desa-desa dan kelurahan di Kabupaten Poso serta para peminat kajian budaya, musisi dan aktivis dari berbagai daerah di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda