Relawan Saling Jaga: Mobil Hampir Masuk Jurang dan Harapan Seorang Nenek Panti Jompo

0
1705
Kurniawan Bandjolu, akrab dipanggil Eko merupakan salah satu relawan saling jaga di Posko Saling Jaga - Informasi Covid-19. Eko membuatkan semprotan disinfektan yang dibagi-bagikan kepada masyarakat serta memberikan petunjuk cara penggunaannya. Foto : Mosintuwu/ray

’Tuhan Tolong’ Ibu Martince berteriak panik karena tiba-tiba rem mobil yang sedang saya kemudikan blong di jalan penurunan yang sempit, berjurang curam antara Bukit Bambu dengan Sayo. Tuhan memang masih menolong kami. Menurut cerita, di lokasi itu sering terjadi kecelakaan yang sulit dijelaskan penyebabnya. Cerita perjalanan ini akan selalu saya ingat”

Peristiwa rem blong mobil kantor Mosintuwu jenis Kijang tua keluaran tahun 2002 yang saya kemudikan itu terjadi saat saya bersama Ray Rarea, rekan sesama relawan menjemput ibu Martince di rumahnya di kelurahan Bukit Bambu. Sesampai di Sayo, ibu Martince baru menceritakan kenapa sampai dia sangat ketakutan pada saat rem blong tadi. Rupanya tempat itu memang terkenal angker, banyak cerita sebelumnya beberapa orang pernah menyaksikan hal-hal supranatural. Kalau malam, orang yang mau ke kelurahan Bukit Bambu jarang yang melewati jalur ini. 

Saat itu kami mau ke desa-desa di kecamatan Lage untuk mendistribusikan perlengkapan posko saling jaga – informasi Covid 19 yang diprakarsai Institut Mosintuwu di Kabupaten Poso (di tingkat nasional, posko saling jaga ini diinisiasi oleh Jaringan Gusdurian ). Bukan hanya hampir masuk jurang. Malamnya dalam perjalanan pulang kembali ke Tentena, beberapa kali mobil tiba-tiba mogok di tengah jalan. Perut lagi lapar, tapi lokasi kami masih jauh dari kampung. Jadilah kami menunggu dalam mobil. Lebih dari 3 jam lamanya sebelum montir datang memperbaiki kerusakan mesin.

Rasa kemanusiaan yang mendorong banyak orang di dunia termasuk saya bergerak menjadi relawan. Sudah beberapa kali dalam hidup, saya bersentuhan langsung dengan kegiatan kemanusiaan.  Pengalaman jadi relawan saling jaga ini yang paling berkesan. Lahir di Poso, ini pertama kalinya saja berjalan keliling ke 30 desa, mendirikan 50 posko dari total 98 posko informasi Covid-19 yang digagas Mosintuwu. 

Di Institut Mosintuwu, sejak tahun ini saya menjadi peneliti. Penelitian tentang ekosistem Danau Poso ditinggalkan sementara saat wabah Covid-19 datang. Saya beralih profesi menjadi sopir untuk mendistribusikan bantuan untuk posko. Hampir setiap hari selama 1 bulan, kami mengantarkan paket informasi Covid-19 dan peralatan standar untuk relawan posko. Saya menjadi belajar mandiri cara membuat disinfektan, dan berkeliling posko mengajarkan bagaimana membuat disinfektan secara mandiri dengan bahan-bahan sederhana.

Baca Juga :  Festival Mosintuwu : Ruang Bertemu, Belajar dan Merayakan Desa-Desa Poso

Melelahkan, tapi saya merasa sangat terberkati karena apa yang kami lakukan saya yakin dapat meminimalisir penularan COVID-19. 

Salah satu daerah paling jauh yang kami tempuh adalah ke lembah Bada. Dua kali saya mengunjungi tempat asal leluhur orang Sulawesi ini untuk membangun posko saling jaga. Pertama kali berencana ke Bada, gagal karena hujan deras menyebabkan jalan ke sana terputus. Setelah menunda 1 hari, saya bersama Ray dan papa Farel (yang mengemudi) sudah mempersiapkan diri untuk ke Bada. Masker sudah terpasang, mantel hujan yang tebal sudah kami pakai sejak dari Dodoha, lokasi kantor Mosintuwu. Tujuan kami bertemu Camat Lore Barat, ibu Ruli Labulu. Ibu camat mewakili 6 desa di wilayahnya menerima perlengkapan posko seperti alat penyemprot, galon untuk cuci tangan, bahan disinfektan, sabun dan masker. Bersama tim, kami akan bertemu di pos penjagaan Covid 19 di desa Bomba, Lore Selatan. Saat tiba di pos penjagaan, saya kemudian berbincang dengan ibu Ruli Labulu. Saya jelaskan bagaimana takaran untuk membuat 1 liter disinfektan. Tiba-tiba ibu Camat menegur saya. “Kamu basah kehujanan tadi di jalan?” . Ibu Ruli memperhatikan baju dan mantel yang basah seperti terkena hujan. Rupanya hampir 3 jam menggunakan baju ditambah jas hujan tebal di dalam mobil membuat saya mandi keringat tapi saya tidak merasakannya. Mungkin karena semangatnya saya tidak merasakan panas di dalam mobil. 

Cerita-cerita ini bukanlah pengalaman yang menyenangkan seperti foto-foto perjalanan yang diposting di media sosial. Tetapi hanya mau berbagi pengalaman. Bahwa kerja kemanusiaan itu memang banyak suka dan dukanya, juga banyak cerita yang bisa kita bagikan dimasa-masa sulit ini. Masa dimana generasi kami tidak pernah membayangkan mengalami hidup dit engah pandemi. Sebelumnya saya mendengar cerita dari orang-orang tua tentang Jua Lele yang juga melanda Poso sekitar tahun 1920an tapi tidak memikirkan bahwa generasi kami mengalaminya sekarang.

Baca Juga :  Kill the Radio..

Eko, saat menjelaskan tentang penggunaan perlengkapan dan fungsi masing-masing informasi kepada masyarakat. Foto : Mosintuwu/Ray
Eko, saat menjelaskan tentang penggunaan perlengkapan dan fungsi masing-masing informasi kepada masyarakat. Foto : Mosintuwu/Ray

Selama menjadi relawan ‘Saling Jaga’ ini saya juga jadi mengetahui bagaimana kondisi dan fasilitas kesehatan yang ada mulai dari kabupaten, kecamatan dan desa. Hampir tidak ada kesiapan menghadapi bencana ini . Alat Perlindungan Diri atau APD seperti masker atau baju pelindung untuk tenaga kesehatan dimasa-masa awal sangat sulit didapatkan oleh tenaga medis. Masker tiba-tiba menghilang dari toko (baru dipertengahan bulan April mulai muncul kembali). Hand Sanitizer juga sempat hilang, bahan-bahan untuk membuat disinfektan seperti cairan pembersih lantai, cairan pemutih tiba-tiba langka.

Pandemi ini membuat agenda utama saya, melakukan riset lingkungan, pertemuan dengan bagian Limnologi LIPI untuk membicarakan kerjasama penelitian tertunda entah sampai kapan. Pandemi ini benar-benar mengerikan juga merugikan. Karena itu harus dilawan, dan yang bisa saya lakukan untuk itu adalah menjadi relawan. Tentu jangan berharap ini kerja yang dibayar dengan gaji besar.

Bagaimana dengan ketersediaan informasi untuk masyarakat, khususnya di desa? Sebagian besar yang kami wawancarai menceritakan, sempat termakan informasi tidak benar (HOAX). Mungkin Hoax yang akan paling dikenang setelah pandemi ini adalah makan telur rebus sebelum matahari terbit mampu menangkal virus Corona. Ada yang bersyukur karena telur dagangannya laku, ada juga yang kesal karena tidak sedikit telur ayam di kandang hilang tiba-tiba. Semua karena termakan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Perjalanan mengunjungi desa-desa ini juga membuat kita tahu, orang-orang di desa masih memiliki jiwa mosintuwu yang tinggi. Banyak orang di desa, tua dan muda, warga biasa, perangkat desa, hingga kepala desa atau lurah menjadi relawan posko penanganan Covid 19 di desanya ditengah berbagai kekurangan. Mulai dari kurangnya informasi mengenai apa sebenarnya yang sedang dihadapi ini. Bagaimana mencegahnya. Selain informasi yang akurat, kekurangan lain yang rata-rata ada di desa adalah pengetahuan membuat desinfektan sendiri. Alat Perlindungan Diri seperti masker dan mantel untuk yang berjaga di posko. Mereka yang berjaga-jaga di posko paling beresiko tertular Covid 19 karena akan bersentuhan dengan orang yang masuk keluar kampung.

Desa sudah bergerak sebelum para elit ramai-ramai berbagi-bagi masker dan desinfektan. Saya melihat itu saat tiba di desa Bategencu kecamatan Lage. Saya melihat hampir semua rumah, di terasnya tersedia galon berisi air cuci tangan lengkap dengan sabun. Saya penasaran dan segera mewawancarai kepala desanya. Ternyata semuanya di fasilitasi pemerintah desa Bategencu sebagai bentuk respon cepat terhadap penanggulangan wabah COVID-19. Satu-satunya desa yang paling cepat tanggap menurut saya.

Baca Juga :  DPRD Poso : Dukung Keruk Dasar Sungai Danau Poso Demi Hotel dan Taman Air

Masa wabah pandemi Corona juga memberi informasi penting lainnya. Ternyata banyak warga Poso yang tinggal di desa-desa bekerja diluar daerah. Di Pamona Barat, banyak yang bekerja di Bali. Di kecamatan lain banyak yang bekerja di Makassar, di Jakarta bahkan di luar negeri seperti Malaysia dan Singapore. Ini belum termasuk mahasiswa. Sebagian besar dari mereka kini sudah pulang ke desa asalnya ketika wabah ini melanda tempat kerja dan daerah dimana kampus atau tempat kerja mereka berada. 

Dari sekian banyak desa, kelurahan, rumah ibadah dan tempat yang kami datangi untuk berbagi informasi dan desinfektan, Panti Sosial Treshna Weda Madago Tentena, orang lebih mengenalnya sebagai panti jompo juga memberi kesan kuat dan dalam bagaimana kehidupan ditengah pandemi ini berjalan. Tempat para orang tua kita tinggal ini kurang mendapatkan perhatian orang banyak. Salah seorang nenek yang kami wawancara di Panti bilang begini. “Torang baku kase inga supaya ngkai-ngkai dan nenek-nenek yang ada disini tidak keluar panti, tako jangan nanti dorang pulang bawa virus corona”. 

Informasi yang orang-orang tua disini dapatkan tentang COVID-19 memang sangat terbatas. Namun mereka sangat memperhatikan dan menaati anjuran yang disampaikan agar terhindar dari infeksi virus ini. Buku informasi yang kami bagikan langsung dibaca dan mereka saling menyampaikan isi buku tersebut kepada sesama penghuni yang lain yang tidak dapat lagi membaca. Saya terharu. Kami diajak berdoa bersama. Doa syukur atas bantuan yang mereka terima dan doa agar pandemi ini segera berakhir. Itulah salah satu alasan mengapa saya merasa sangat terberkati dalam tugas kemanusiaan ini.

Editor : Pian Siruyu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda