Menyemai Perubahan : Buku Kisah Anak Muda Rekonstruksi Paska Bencana

0
1790
Peluncuran buku Menyemai Perubahan : Catatan Rekonstruksi Berbasis Komunitas di 4 Desa , Toaya, Labuan Toposo, Lemusa, dan Soulowe merupakan catatan para pemakna dan pendamping atas kerja anak muda di desa merekonstruksi desa paska peristiawa 28 September 2018. Ilustrasi : IKA

“Untuk apa juga anak muda berpikir tentang desa? kan ada pemerintah desa, itu tugas mereka” Anto, orang muda asal Desa Lemusa menceritakan asal mula cara berpikirnya tentang desa.

Belakangan kemudian pertanyaan tentang masa depan desa mereka yang anak mudanya sering berkelahi, menggunakan narkoba, adanya pernikahan dini mendorong kegelisahan beberapa diantara mereka. Apalagi ketika banjir bandang tahun 2012 disusul peristiwa gempa 28 September 2018 dialami.  Cerita ini disampaikan Anto dalam acara peluncuran buku Menyemai Perubahan : catatan rekonstruksi berbasis komunitas di 4 desa , yaitu Soulowe, Labuan Toposo, Lemusa dan Toaya. Keempat desa ini merupakan sebagian dari desa-desa yang terdampak gempa, tsunami dan likuifaksi tanggal 28 September 2018. 

Neni Muhidin, pegiat literasi yang kemudian terlibat dalam proses anak-anak muda berkegiatan di Lemusa mengatakan “ bencana telah mendorong kegelisahan anak muda tentang desa mereka” 

Proses bagaimana kegelisahan mendorong aktivitas bersama anak muda desa untuk terlibat di dalam desa , serta dinamika proses saat mereka mau terlibat di dalam desa tercermin dalam buku yang diluncurkan di kantor SKP-HAM Sulteng, Palu.  Buku Menyemai perubahan berisi refleksi dan cerita tentang proses bagaimana anak-anak muda di desa berjuang membangun kembali desa yang porak-poranda pasca bencana itu dengan cara berbeda. Dalam buku ini menceritakan tentang Desa Toaya, ada kisah anak-anak muda yang melihat salah satu masalah serius di desa dan mempengaruhi saat berhadapan dengan bencana adalah makin hilangnya hasrat anak muda menjadi petani. 

Baca Juga :  Suara Anak dan Wajah Keberagaman Indonesia di GNRC Indonesia

Neni Muhidin, pemakna, penulis sekaligus editor buku ini mengatakan, penulisan buku ini berdasarkan pengalaman anak-anak muda di komunitas itu selama 8 bulan mengusahakan perubahan desa mereka pasca bencana.

“Tentu proses selama delapan bulan itu belum bisa dilihat secara kongkret sekarang ini kita tidak bisa melihat hasilnya secara fisik atau kongkret dalam delapan bulan itu. Tetapi kita melihat bagaimana anak-anak muda kini punya perhatian besar pada desanya”kata Neni.

Anak muda dari Desa Lemusa ( Anto dan Ita Ntibu ) dan Toaya ( Nisa dan Azan ) berbagi cerita dalam peluncuran buku Menyemai Perubahan: Catatan Rekonstruksi Berbasi Komunitas, di kantor SKPHAM, Senin 16 Maret 2020. Foto : Mohamad Herianto

Sementara Rahmadiyah Gayatri, menuliskan bagaimana anak muda yang biasanya dicap pembangkang ternyata punya kekuatan untuk membangun desa. Ama, demikian panggilan akrab Rahmadiyah menemukan anak-anak muda ini punys kemampuan mengumpulkan semangat kolektif.

“Satu hal yang saya yakini adalah kolektif adalah kekuatan kita bersama menjadi pengetahuan bersama dimasa depan”kata pegiat komunitas Sudut Pandang ini. 

Belajar dari anak muda desa Toaya, Ama melihat tidak banyak orang-orang muda mau pulang kampung, meninggalkan ruangan ber AC untuk membangun desanya. Dan ternyata dia menemukan masih ada yang memilih jalan pulang ke desa.

Baca Juga :  Mosikola Teologi : Berteologi yang Kontekstual Membebaskan

Cerita lain yang diangkat dalam buku ini ditulis oleh Mohamad Herianto, sejarahwan Komunitas Historia Sulawesi Tengah. Bercermin dari proses di Dusun Sisere, Anto menuliskan kritik yang sangat keras kepada pemerintah karena tidak ada perubahan dalam menangani warga yang jadi korban. Padahal bencana sudah mendera wilayah sulawesi tengah berpuluh tahun lalu. Misalnya bencana kemanusiaan di Poso. 

“Saya menulis cukup keras disini. Dalam penanganan pengungsi ada kesan siapa dapat apa diantara orang-orang dilevel atas kita” akibatnya warga semakin sulit hidupnya”

Sementara itu, Iwan Lapasere, jurnalis yang punya pengalaman liputan di berbagai peristiwa bencana sosial dan bencana alam menilai, komunitas orang-orang muda ini punya kemampuan mengorganisir diri mereka menjadi sebuah kekuatan untuk melakukan sesuatu di desa mereka sendiri. Inilah modal kuat yang dimiliki desa, yaitu anak-anak muda mereka sendiri yang punya perhatian dan hasrat membangun kembali desa mereka. Dia meyakini kekuatan itu juga dimiliki desa lain utamanya pada orang-orang mudanya.

Institut Mosintuwu dan SKPHAM bekerjasama dengan komunitas anak muda di Desa Labuan To Poso, Toaya, Soulowe, dan Lemusa dalam program rekonstruksi berbasis komunitas. Proses perjalanan dalam program ini dicatat dalam buku Menyemai Perubahan : Catatan Rekonstruksi Berbasis Komunitas yang diluncurkan Senin, 16 Maret 2020 di Palu. Foto : Mohaman Herianto

Peluncuran buku dihadiri  30 orang anak muda  yang berasal dari Palu, Lemusa, Toaya, Soulowe, Labuan Toposo.  Awalnya, kegiatan ini akan mengundang sekitar 200 orang dari ke 4 desa ditambah sejumlah pimpinan daerah dimana ke 4 desa itu berada yakni kabupaten Donggala, Sigi dan Parigi Moutong. Namun untuk mengantisipasi merebaknya wabah penyakit Covid 19 yang disebabkan virus Corona membuat acara diubah, undangan yang sudah disebar dibatalkan . Acara peluncuran buku tetap dilakukan dengan streaming melalui sosial media Institut Mosintuwu dan SKPHAM, dua organisasi yang bekerja bersama dengan komunitas muda ini. 

Baca Juga :  Mencicipi Rasa 40 Tahun Kukis Bagea

Buku ini ditulis oleh Chalid Muhamad, Lian Gogali, Nurlela Lamasitudju, Iwan Lapasere, Muhamad Herianto, Rahmadiyah Gayatri dan Neni muhidin. Untuk sementara di edisi pertama hanya dicetak sebanyak 150 eksemplar dimana buku ini disebar ke 4 desa i tu dan sejumlah kantor pemerintahan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda