Melatih Mediator Damai Poso, Mendengarkan dan Berpikir Ke Depan

0
636
Pelaksanaan beasiswa pelatihan mediasi profesional kepada 40 warga Poso diselenggarakan oleh PGI dan PUSAD Paramadina di Tentena. Foto : Dok.PGI.Paramadina/Basrul

Bagaimana agar konflik ada tapi tidak menjadi konflik kekerasan? Konflik tidak pernah akan lepas dari dinamika kehidupan manusia dimanapun berada, termasuk di Poso. Kenyataan itu mendorong kebutuhan atas kemampuan memediasi sebuah konflik agar tidak menjadi konflik kekerasan. Namun masih banyak yang salah paham soal menjadi mediator.

“Saya sudah mediasi kasusnya. Jadi, kami kira sudah selesai. Eh ternyata berapa hari kemudian terjadi lagi”

Meilisna menceritakan pengalamannya melakukan apa yang dipahaminya tentang mediasi.  Saat itu dia memediasi perseteruan sepasang suami istri di kampungnya. Rupanya yang disebutnya sebagai mediasi adalah memanggil pihak yang bersengketa ke kantor desa lalu menanyai “Apa mau kalian? kalau sudah sama-sama setuju, bikin surat pernyataan. Selesai”. Rupanya cara mencapai kesepakatan dengan menggunakan tekanan itu hanya berhasil meredakan ketegangan sesaat. Sebab mediatornya menjadi pengambil keputusan atas perkara itu.

Salah paham ini dijernihkan dalam Fellowship Training menjadi mediator yang dihadiri 30 orang dari berbagai desa dan kota di Sulawesi Tengah  di Dodoha Mosintuwu. Selama 5 hari, para peserta  mengikuti training menjadi mediator profesional, sebuah program yang dilaksanakan PUSAD Paramadina bekerjasama dengan PGI dengan tujuan menghasilkan mediator yang bersertifikat.

Tapi apa sih mediator itu? menurut situs paralegal.id, Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Sedangkan dictionary.cambridge.org menyebutnya sebagai a person who tries to end a disagreement by helping the two sides to talk about and agree on a solution. Membantu kedua belah pihak untuk berunding dan menyepakati solusi.

Jadi, mediator adalah pihak yang membantu para pihak yang bersengketa menyelesaikan persoalan melalui proses perundingan. Prosesnya disebut mediasi. Istilah ini sudah sering terdengar. Namun belum banyak yang tahu bagaimana prosesnya berjalan? dan apa syaratnya?

“Jadi sekarang saya mengerti, mediasi ini punya aturan. Terutama bagaimana kita belajar menjadi pendengar yang baik”kata Meilisna, peserta dari Kecamatan Poso Pesisir Selatan.

Meskipun mediasi adalah cara terbaik menyelesaikan sengketa, namun Husni Mubarok trainer dari PUSAD Paramadina mewanti-wanti agar tidak memediasi kasus KDRT, kekerasan seksual dan tindak pidana lainnya.

Pelaksanaan beasiswa pelatihan mediasi profesional kepada 40 warga Poso diselenggarakan oleh PGI dan PUSAD Paramadina di Tentena. Foto : Dok.Basrul

Sejarah Mediasi di Poso

Di Poso mediasi atau perundingan yang difasilitasi pihak ketiga sudah berlangsung berabad silam. Perang berlarut antar suku Napu dan Ondae diselesaikan melalui mediasi di tepi sungai Poso akhir bulan September 1905. Kepala suku To Kadombukoe, Papa I Melempo dipercaya sebagai mediator oleh pihak yang bertikai.

Baca Juga :  Padungku, Hari Raya Panen di Poso

Dalam bukunya, Konfrensi Perdamaian di Posso, yang terbit tahun 1906, PH HC Hofman menulis proses mediasi kedua suku dilakukan beberapa kali. Terlebih dahulu Papa I Melempo pergi ke Napu untuk menemui kepala suku Napu, Oema I Soli. Perjalanan itu dilakukannya di tahun 1901. Dalam mediasi modern, pertemuan yang dilakukan Papa I Melempo di Napu adalah pra mediasi. Mereka membicarakan jumlah upeti yang harus dibayar To Ondae dan menyepakati waktunya.

Lebih jauh ke belakang, di Poso dikenal juga To po Wurake, perempuan yang dianggap sebagai tabib dan pemimpin di komunitas yang juga berperan sebagai mediator khususnya untuk menghubungkan manusia dengan sang pencipta.

Di dunia, pasca perang dunia ke-2, fungsi mediator banyak digunakan untuk kepentingan bisnis. Banyak usaha yang kala itu mengalami tekanan hebat, dikenal sebagai masa The Great Depression yang melanda Amerika dan Eropa pada 1930-an. Saat itu mediator bekerja menjembatani perundingan mengenai sengketa tanah yang tidak jelas statusnya akibat perang.

Di Indonesia, mediator kembali bermunculan saat krisis moneter tahun 1998. Dipailitkannya sejumlah bank nasional membuat urusan hutang piutang antara kreditur dan debitur menjadi seperti benang kusut. Untuk menyelesaikannya, para mediator diminta membawa pihak-pihak yang bersengketa ke meja perundingan. Dan tentu saja, konflik Poso tahun 1999-2003 juga diselesaikan melalui proses mediasi.

Jaminan hukum untuk mediasi sangat kuat. Sejumlah aturan dibuat untuk menjamin pelaksanannya. Diantaranya diatur di UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, lalu ada Peraturan Pemerintah PP No.54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan atau win-win solution yang berbeda dengan penyelesaian di pengadilan yang prinsipnya adalah menang-kalah.

Mendengarkan, Berpikir Kedepan

Sejak hari pertama, para trainer antara lain Husni Mubarak, Pdt. Jimmy Sormin dan Pdt. Krise A Gosal, mengajak peserta memahami isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) lewat pengetahuan tentang 3 pengetahuan penyelesaian sengketa dan apa saja tantangannya. Menganalisis apa kekuatan dan kelemahan jika menyelesaikan masalah lewat pendekatan kekuatan, pendekatan hak dan pendekatan kepentingan.

Baca Juga :  Menemukan Akar Pancasila di Budaya Poso

“Pengalaman kita menunjukkan, pendekatan kekuatan dan hak tidak optimal dan besar mudaratnya”kata Husni Mubarak. Karena itu pendekatan yang lebih kecil masalahnya yang sebaiknya di pilih yakni model Pendekatan Kepentingan atau Kebutuhan.

“Selain hasil kesepakatannya lebih panjang, yang paling penting hubungan antar pihak itu terjaga”lanjut peneliti di PUSAD Paramadina ini. Tentu ada tantangan dalam memilih pendekatan kepentingan, yaitu waktu yang lebih lama untuk mencapai kesepakatan. Selain itu praktek ini sering salah diterapkan, terutama bila mediatornya tidak paham apa peran dan fungsi serta tujuannya. Karena itulah training ini dilaksanakan.

Tapi apapun pilihannya, yang ditekankan adalah bagaimana mediator dan para pihak diajak untuk saling mendengarkan. Ini adalah modal dasar yang harus dipunyai mediator. Sebab dari cerita beberapa tokoh agama yang jadi peserta, mereka menyelesaikan masalah dengan cara menasehati dan mendesak kedua pihak untuk berdamai secepatnya tanpa mendengarkan apalagi menggali akar konfliknya.

“Senjata yang dipakai adalah ayat di kitab suci. Jadi orang yang bersengketa harus berdamai karena demikian menurut ajaran agama. Kita tidak mendengar apa yang diharapkan dan apa kebutuhan orang yang datang bawa masalahnya itu”cerita seorang peserta mengenai pengalamannya.

Minimnya kesempatan orang bersengketa mengemukakan masalah dan pendapatnya di proses mediasi umumnya karena orang yang dipercaya membantu menyelesaikan konflik itu sudah membawa asumsi di kepalanya karena mendengar sekilas cerita. Merasa tidak perlu lagi mendengar lebih lengkap apalagi menggali kekhawatiran dan harapan serta kebutuhan masing-masing pihak.

Model penyelesaian dengan ‘paksaan’ memang cara populer di banyak tempat karena menganggap itulah cara mediasi. Seorang peserta bercerita, ada satu kasus yang terjadi di tempatnya. Tentang seorang istri yang ingin berpisah dari suaminya. Kedua pihak di panggil ke kantor desa. Dinasehati dan diminta tandatangan kesepakatan damai alias rujuk. Padahal si istri benar-benar sudah tidak ingin rujuk. Yang terjadi adalah, si istri pergi sehari setelah kesepakatan.

“Karena apa yang di inginkan si istri ini memang tidak di dengarkan. Dia terpaksa tandatangan setuju agar bisa pergi keluar dari rumah”cerita peserta itu.

Tidak mendengar dengan baik, terburu-buru dan banyak menasehati, apalagi kalau gesturnya sudah menunjukkan tidak empati atau berpihak menjadi catatan yang diberikan Husni Mubarok mengenai cerita peserta itu. Menurutnya, tugas mediator adalah memperbaiki hubungan yang retak, bukan bertugas menyelesaikan masalah. “Bisa saja pihak yang bersengketa itu bercerai. Tetapi hubungan diantara mereka bisa tetap baik”katanya. Apa yang disampaikannya ini membuka pengetahuan baru bagi calon mediator profesional peserta pelatihan yang sebelumnya berpikir untuk menyelesaikan masalah dengan modal nasehat apalagi tekanan.

Baca Juga :  Cerita Martince : "Saya tidak takut lagi berjuang untuk perdamaian"

Tahapan mediasi, jika ini cara yang dipilih butuh kesediaan untuk mengikuti prosesnya. Kesabaran pihak bersengketa dan kemampuan mediator merumuskan apa sebenarnya masalah yang dihadapi dan memfasilitasi proses perundingan menjadi kunci.

Itu sebab yang pertama dilakukan adalah menemukan kesamaan diantara pihak yang bertikai. Kesamaan ini muncul dari mereka sendiri. Diantara cirinya, harapan positif dan berorientasi kedepan. Disini salah satu yang menarik dari mediasi. Semua pihak diarahkan berpikir kedepan.

“Mengubah apa yang negatif yang disampaikan satu pihak menjadi kalimat positif sehingga bisa diterima oleh pihak lain”jelas Husni tentang Reframing, sebuah teknik mediasi yang membingkai dan merangkum kalimat orang yang sedang emosi atau marah saat mediasi. Keluhan dibalik menjadi harapan, masa lalu menjadi masa depan, kekhawatiran menjadi harapan.

Pelaksanaan beasiswa pelatihan mediasi profesional kepada 40 warga Poso diselenggarakan oleh PGI dan PUSAD Paramadina di Tentena. Foto : Dok.PGI.Paramadina/Basrul

Merawat Keberagaman yang Berkeadilan

Kemampuan menyelesaikan masalah dengan damai dan diterima semua pihak dengan ikhlas menjadi kebutuhan di masa depan. Dalam banyak kasus, penyelesaian di jalur pengadilan sekalipun belum tentu jadi solusi tepat. Tidak jarang setelah vonis dijatuhkan, konfliknya bergeser dan jadi lebih luas. Ini sering terjadi dalam sengketa tanah.

Ditengah masifnya investasi yang masuk ke Sulawesi Tengah, tidak tertutup kemungkinan akan mendorong meningkatnya konflik sumberdaya alam yang berdampak pula di Kabupaten Poso. Isu-isu yang mengancam KBB tidak jarang dimainkan untuk melemahkan salah satu pihak dalam hal ini warga yang mempertahankan haknya.

‘Menghambat pembangunan’adalah contoh satu kalimat yang dilekatkan pada petani di pinggiran Danau Poso yang mempertahankan tanahnya agar tetap bisa ditanami. Jika mediator menjalankan fungsinya dengan benar, maka tuntutan petani agar hak hidupnya dihargai, kekhawatiran dan harapannya didengarkan mungkin tidak akan membawa luka yang akut dalam jangka panjang.

‘Petani menginginkan pembangunan yang berkeadilan’ menjadi kalimat positif dalam proses mediasi sehingga apa yang menjadi kebutuhan mereka terpenuhi. Dengan hadirnya para mediator ini, kasus-kasus yang berpotensi menjadi konflik lebih besar bisa diselesaikan dengan mendengarkan semua pihak secara adil dan pihak yang bersengketa menerima dengan hati yang senang meskipun mungkin tidak semua tuntutannya terpenuhi.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda