“Dahulu, kolam air itu merupakan Danau Toju. Tapi, setelah sudah ada perkebunan sawit, danau itu hilang dan tinggal kolam air saja yang berukuran sekitar 20 meter,”(T Tampona, Warga Desa Tiu)
Ribuan pohon sawit dengan ketinggian 7 sampai 10 meter tertanam rapi dan mengelilingi sebuah kolam air yang memiliki luas dan lebar sekitar 20 meter di Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso. Pohon-pohon sawit itu terkesan sedang mengepung kolam air itu yang awalnya merupakan Danau Toju itu, salah satu danau kecil yang ada di wilayah itu. Pemandangan itu terlihat dari udara dengan menggunakan Drone kala mendatangi lokasi itu pada akhir September lalu.
“Dahulu, kolam air itu merupakan Danau Toju. Tapi, setelah sudah ada perkebunan sawit, danau itu hilang dan tinggal kolam air saja yang berukuran sekitar 20 meter,” kata T Tampona, Warga Desa Tiu, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso. Ia bilang, dahulu Danau Toju merupakan tempat yang indah sekaligus sumber kehidupan warga sekitar. Namun, tempat yang menjadi sandaran hidup oleh lima desa itu menghilang ditelan Bumi. Ia menduga, perkebunan sawit menjadi dalang utama.
T Tampona bercerita, Danau Toju menjadi tempat mencari nafkah bagi sekitar 75 persen warga yang ada di Kecamatan Pamona Timur yang saat itu berprofesi sebagai nelayan, termasuk dirinya. Walaupun tak sebesar Danau Poso, Toju juga memiliki berbagai macam jenis ikan yang kerap di tangkap oleh warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, baik dikonsumsi atau dijual. Katanya, dua anaknya berhasil menempuh pendidikan tinggi dan menjadi guru berkat dari mencari hidup di Danau Toju.
“Ikan di Danau Toju sangat banyak. Ada ikan Mas atau Ikan Karper. Ada juga ikan Sidat, Mujair, Gabus, dan bermacam-macam ikan tawar lainnya. Kita sering menangkapnya menggunakan perahu atau tradisi Mosango,” kata T Tampona. Mosango adalah tradisi menangkap ikan yang akan diikuti ratusan orang masyarakat Kabupaten Poso dari berbagai desa. Cara menangkap ikan ini akan dilakukan secara tradisional yakni menggunakan alat khusus bernama Sango yang terbuat dari bambu.
Lelaki 73 tahun ini mengatakan, saat dia berumur 30 tahun, Danau Toju seperti menjadi rumah keduanya untuk Hidup. Setiap pagi hingga sore hari, ia harus berada di Danau Toju mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan esok harinya, dan itu berlangsung hingga hampir tiga dekade. Katanya, Danau Toju benar-benar menjadi tempat hidup dan ikut andil dalam peradaban warga sekitar, serta sangat memberikan kontribusi besar terhadap keberlangsungan hidup keluarganya.
Tak hanya itu, Danau Toju yang sebelumnya dikelilingi hamparan sawah dan kebun itu juga menjadi sumber utama irigasi untuk lahan-lahan pertanian yang ada di Kecamatan Pamona Timur. Gagal atau tidaknya hasil panen dari lahan-lahan pertanian yang ada, air Danau Toju menjadi penentunya. Ia bilang, ketergantungan masyarakat sekitar terhadap Danau Toju sangat besar, serta menjadi bagian dari sejarah kehidupan masyarakat poso.
Hal serupa juga dijelaskan oleh Helpin Sumoli, Warga Desa Tiu. Ia bilang, Danau Toju juga sudah seperti Gereja kedua bagi umat nasrani yang mayoritas di Kecamatan Pamona Timur. Setiap kali ibadah-ibadah di luar ruang, Danau Toju menjadi tempat alternatif yang paling sering digunakan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut. Memiliki suasana yang sangat menyejukan hati, katanya, Danau Toju menjadi tempat yang sangat baik di luar ruangan untuk mengirimkan doa kepada Tuhannya.
Selain itu, kata Helpin, Danau Toju menjadi tempat rekreasi oleh masyarakat sekitar. Setiap akhir pekan tiba, banyak yang sering datang ke Danau Toju untuk berlibur dengan keluarga. Memiliki pepohonan yang rimbun untuk berteduh, dan memiliki air yang cukup jernih membuat, anak-anak, pemuda, hingga orang dewasa tak pernah berpaling ke tempat lain saat mereka ingin berlibur. Katanya, kegiatan-kegiatan di desa sekitar juga sering dilaksanakan di Danau Toju.
Helpin bilang, Danau Toju menjadi tempat perjumpaan dan pemersatu semua masyarakat yang ada di Kecamatan Pamona Timur, umumnya Kabupaten Poso. Katanya, adanya Danau Toju merupakan karunia Tuhan atas membuktikan kekuasaan dan keberadaannya untuk memberikan ruang hidup kepada mereka. Keindahan Danau Toju yang sangat memukau memberikan rasa kedamaian tersendiri untuk menghilangkan rasa trauma atas beberapa konflik, kerusuhan yang pernah terjadi di Kabupaten Poso.
“Danau Toju sudah menjadi bagian dari hidup kita, karena danau itu sudah memberikan kehidupan kepada kita semua. Menurut saya, Danau Toju menjadi subjek penting yang diletakkan setara dengan manusia yang membicarakannya. Namun, semua berubah atas nama investasi yang mengakibatkan Danau Toju menghilang,” kata Helpin Sumoli kepada Benua Indonesia, akhir September lalu.
Investasi yang dimaksud Helpin adalah perusahaan PT. Sawit Jaya Abadi 2 yang memiliki kebun sawit di sekitar Danau Toju sejak tahun 2008. Ia bilang, saat awal penanaman pohon sawit, perusahaan menebang pepohonan yang menjadi penyangga lingkungan dan keberlangsungan hidup Danau Toju. Dalam sekejap, sawit-sawit itu tumbuh besar dan berjejer mengelilingi Danau Toju, dan perlahan-lahan danau itu hilang ditelan Bumi. Helpin sangat sepakat dengan T Tampona, bahwa perkebunan sawit itu yang diduga menjadi dalang utama Danau Toju hilang.
Danau Toju merupakan salah satu danau yang berada di Kecamatan Pamona Timur, dan dikelilingi oleh lima desa, yaitu Desa Tiu, Kamba, Poleganyara, Taripa, dan Labuadago. Berdasarkan buku data status lingkungan hidup daerah Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2009, Danau Toju memiliki luas sekitar 30 hektar dengan dialiri enam sungai besar dan kecil yang merupakan sumber utama kehidupan warga sekitar. Namun, semua itu berubah setelah sawit datang.
Kurniawan Badjolu, peneliti Institut Mosintuwu membuktikan itu saat ia mau melakukan penelitian di Danau Toju pada bulan Juli lalu. Saat mendatangi lokasi, ia sangat terkejut, Danau Toju yang awalnya dikenal memiliki banyak ikan, kini sudah tak ada lagi. Ia hanya menemukan kolam air yang keruh berukuran sekitar 20 meter. Berdasarkan informasi yang didapatkannya, kolam air itu adalah buatan perusahaan yang digali menggunakan alat berat, agar terkesan Danau Toju masih ada.
“Berdasarkan survey awal yang kita lakukan pada bulan Juli lalu, Danau Toju benar-benar sudah tidak ada lagi. Tinggal kolam air berumur sekitar 20 meter yang dibuat perusahaan yang berada di lokasi itu,” kata Kurniawan Badjolu, kepada Benua Indonesia akhir September lalu.
Kurniawan percaya, Danau Toju memiliki berbagai jenis ikan yang sangat banyak, bahkan memiliki endemik tersendiri. Hanya saja, belum ada yang pernah melakukan penelitian di lokasi tersebut, sehingga ikan-ikannya belum teridentifikasi. Ia bilang, hilangnya Danau Toju sama halnya hilangnya sumber kehidupan makhluk hidup, baik hewan, tumbuhan, dan manusia. Ia menduga, perkebunan sawit yang melingkari Danau Toju menjadi penyebabnya.
“Saat melakukan survey awal itu, rencananya saya mau melakukan pengecekan ikan-ikan yang ada di Danau Toju apa-apa saja. Saya yakin, pasti ada ikan endemik yang hanya ada di Danau Toju. Tapi ternyata, danau itu sudah tidak ada lagi,” jelasnya.
Sawit Datang Tanpa HGU
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) pada tahun 2018, ternyata PT. Sawit Jaya Abadi (SJA) 2 tak memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) di Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso.
Perusahaan ini hanya memiliki izin lokasi untuk keperluan perkebunan sawit dengan luas 8.500 hektar yang diberikan oleh Bupati Poso Piet Inkiriwang saat itu pada 18 Juli 2008 bernomor :188.453/688/2008.
Selanjutnya, pada tanggal 28 januari 2009, anak perusahaan dari PT. Astra Agro Lestari (AAL) itu juga kembali mendapatkan surat izin usaha perkebunan budidaya dari Piet Inkiriwang bernomor: 188.45/0296/2008 dengan luas 18.273 hektar dilokasi yang sama. Artinya ada penambahan luasan sekitar 9.773 hektar dari luasan izin lokasi yang diberikan sebelumnya.
Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Komiu mengatakan, dalam penguasaan lahan, perusahaan menggunakan dua pola yaitu; pola transmigrasi dan pola Memorandum of Understanding (MoU) dengan skema petani plasma. Dalam pola transmigrasi, ada dua desa yang masuk dalam skema itu, yaitu: Desa Tiu dan Kancu’u Kecamatan Pamona Timur.
Awalnya, tahun 2008 perusahaan melakukan aktivitas pembersihan lokasi dan kemudian pada tahun 2011 perusahaan melakukan pembibitan di Desa Pancasila. Tanggal 15 November 2011, SJA 2 diberikan izin pelaksanaan transmigrasi oleh Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi dengan Nomor : Kep.279/MEN/XI/2011 yang berakhir pada tanggal 15 November 2016 dan diperpanjang lagi tanggal 24 Januari 2019.
Izin pelaksanaan transmigrasi itu merupakan pola kemitraan untuk melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan memberdayakan 100 Kepala Keluarga (KK) Transmigrasi dan masyarakat sekitar, dengan luas 100 hektar melalui penanaman kebun plasma serta pembangunan kebun inti seluas 1.905 hektar diatas hak pengelolaan lahan (HPL).
Gifvents bilang, PT SJA 2 awalnya merencanakan ada 300 KK yang mengikuti program transmigrasi tersebut. Namun, yang terimplementasi hanya 100 KK saja, yang terbagi 50 KK transmigrasi lokal berasal dari Desa Kancu’u dan Desa Tiu Kecamatan Pamona Timur, serta 50 KK transmigrasi dari pulau jawa. Ironisnya, kata Gifvents, ada sejumlah warga yang tak mengetahui lahan-lahan mereka masuk dalam skema program transmigrasi tersebut.
Perusahaan meminta warga untuk mendaftarkan tanah mereka agar dijadikan program transmigrasi, tapi warga menolak. Pasalnya, tanah yang ingin di masukkan dalam program tersebut merupakan tanah yang kerap dijadikan sebagai tempat penggembalaan. Namun, tanpa persetujuan, perusahaan tiba-tiba langsung membangun rumah diatas tanah warga dan warga diberikan lahan 1 hektar yang sudah ditanami sawit.
Atas peristiwa itu, kata Gifvents, warga melakukan protes ke ke pemerintah setempat. Tapi, karena khawatir tidak mendapatkan tanah, akhirnya mereka terpaksa ikut dalam program transmigrasi itu. Katanya, warga juga sampai hari ini masih membayar pajak bumi bangunan (PBB) setiap tahun atas tanah mereka yang sudah dimasukan dalam program transmigrasi SJA 2.
“Pola program transmigrasi merupakan langkah awal perusahaan untuk menguasai lahan-lahan warga untuk ditanami sawit. Mereka menggunakan segala cara agar tujuan mereka bisa tercapai,” kata Gifvents Lasimpo, kepada Benua Indonesia Akhir Oktober lalu.
Selanjutnya, sekitar pertengahan 2019, PT SJA 2 melakukan pola MoU dengan skema petani plasma bersama enam koperasi, yaitu: Koperasi Desa Tiu, Desa Petiro, Desa Matialemba dan Desa Olumokunde, Kecamatan Pamona Timur, serta Koperasi Fajar Sinar Palande Desa Singkona, dan Koperasi Desa Salindu Kecamatan Pamona Tenggara.
Kesepakatan itu dibuat untuk membangun 20% kebun sawit masyarakat sesuai dengan Permentan No. 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang mewajibkan perusahaan perkebunan besar untuk membangun kebun plasma 20% dari total konsesi. Dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 357/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan juga menegaskan setiap pengembangan usaha perkebunan harus melakukan kemitraan dengan masyarakat.
Namun, kata Gifvents, SJA 2 memiliki kriteria yang harus dipenuhi oleh masyarakat yang diantaranya harus mengembalikan biaya produksi perusahaan dengan cara mengangsur atau cicil, karena kebun plasma akan dikelola secara sistem operator oleh pihak perusahaan. Meski begitu, hak masyarakat dari kebun plasma telah dihitung sejak kebun sawit berproduksi pada awal 2019, walaupun MoU baru dilakukan.
“Sejumlah petani mengaku bahwa pendapatan dari hasil sawit dengan luas 1 Ha yang diberikan oleh perusahaan melalui skema transmigrasi hanya mencapai Rp. 450.000/bulan. Kondisi itu membuat mereka harus berpikir keras untuk mencari sumber penghasilan lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” katanya.
Usai melaksanakan dua pola penguasaan lahan itu, tahun 2015 perusahaan membuat pabrik pengolahan Crude Palm Oil (CPO) untuk mendukung perkebunan sawit yang sudah ditanami. Menurut Gifvents, pabrik pengolahan CPO itu yang jadi pemicu utama deforestasi dan berdampak ke lingkungan, seperti hilangnya Danau Toju. Saat ini, sudah ada sekitar 3,500 hektar sawit yang ditanami perusahaan di wilayah itu dengan pola transmigrasi dan skema petani plasma, tanpa memiliki HGU.
Gifvents menduga, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit menjadi penyebab utama Danau Toju hilang. Saat pembukaan lahan, Ia meyakini enam sungai yang mengalir ke Danau Toju itu diubah badan airnya, sehingga air yang sebelumnya mengalir ke Danau Toju, sudah tak ada lagi. Alhasil, air yang ada di Danau Toju ikut meresap hingga hilang. “Saya yakin sekali, badan air sungai diubah oleh perusahaan,” katanya
Sebenarnya, penolakan akan datangnya SJA 2 untuk menanam sawit di wilayah itu pernah dilakukan sejumlah warga sekitar, termasuk T Tampona dan Helpin Sumoli. Mereka pernah menghadiri pertemuan saat perusahaan melakukan sosialisasi di kantor desanya pada tahun 2008. Ditempat tersebut, Helpin Sumoli secara tegas menolak SJA 2 untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam di wilayah untuk ditanami sawit. Kehilangan ruang hidup menjadi alasan utamanya.
Helpin Sumoli sudah memprediksi sejak awal, jika perusahaan tetap akan melakukan aktivitasnya di tempat kelahirannya itu, maka akan berdampak berbesar terhadap lingkungan, termasuk ke Danau Toju yang menjadi tempat mencari makan oleh warga sekitar. Namun, karena perusahaan mengiming-imingi dengan pendapatan yang tinggi serta lowongan pekerjaan, akhirnya warga sekitar terpengaruh. Ia bilang, sebagai warga kecil, dirinya tidak bisa berbuat banyak saat itu.
“Sampai hari ini, saya tetap konsisten menolak perusahaan sawit. Karena sangat jelas merusakan lingkungan dan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat sekitar. Salah satu contohnya adalah Danau Toju hilang,” tegas Helpin.
Hilangnya Tradisi
Lian Gogali, pendiri dan Direktur Institut Mosintuwu menyatakan, hilangnya Danau Taju sama hal hilangnya tradisi masyarakat sekitar yang menjadi nilai-nilai kehidupan mereka. Salah satunya adalah tradisi mosango memiliki sejarah panjang bagi masyarakat poso dalam memperjuangkan hak mereka untuk bisa melakukan aktivitas menangkap ikan yang sudah dilaksanakan sejak berpuluh-puluhan tahun lalu.
Sederhananya, tradisi mosango merupakan tradisi menangkap ikan yang akan diikuti ratusan orang masyarakat Kabupaten Poso dari berbagai desa. Tradisi ini dilakukan secara tradisional yakni menggunakan alat khusus bernama Sango yang terbuat dari bambu bulat tipis dengan panjang 30-50 cm yang diikat dengan rotan berjarak dekat antara satu dengan yang lain, dengan posisi kerucut.
Sango itu digunakan oleh ratusan orang yang ikut dalam tradisi mosango pada pada satu titik lokasi. Dilokasi itu, warga secara bersama-sama melingkar dan bergerak bersama untuk menyudutkan wilayah-wilayah ikan. Lian bilang, gerakan bersama dalam mosango itu yang membuat mosango memiliki nilai filosofis.
Katanya, tradisi mosango itu juga disebut sebagai tradisi berbagi rejeki dengan menjunjung tinggi kebersamaan dengan kegembiraan yang dilakukan oleh masyarakat poso sejak puluhan tahun lalu. Katanya, masyarakat yang ikut dalam tradisi pengelolaan alam berkelanjutan itu juga saling berbagi ikan dan air untuk merayakan kebahagian bersama.
“Dalam pelaksanaan tradisi itu, semua orang datang dari berbagai kampung. Baik itu anak-anak, perempuan, dan laki-laki semua ikut dalam tradisi mosango. Perjumpaan itulah orang-orang merasakan kegembiraan,” kata Lian kepada Benua Indonesia akhir awal November lalu.
Danau Toju, kata Lian, menjadi salah satu lokasi tempat pelaksanaan tradisi mosango, karena memiliki banyak ikan. Selain itu, Danau Toju sangat memberikan kontribusi besar terhadap keberlangsungan hidup masyarakat sekitar, baik dari segi ekonomi, pendidikan, serta kesehatan. Lian bilang, hal itu yang membuat Danau Toju sangat penting untuk masyarakat sekitar.
Namun, semua berubah setelah sawit datang. Danau Toju menjadi korban akibat dari investasi ekstraktif di sektor perkebunan itu. Lian dengan tegas mengatakan, perkebunan sawit milik SJA 2 menjadi salah satu penyebab hilangnya Danau Toju yang menjadi sumber kehidupan dari lima desa yang ada disekitarnya. Katanya, perusahaan harus bertanggung jawab.
Dengan hilangnya Danau Toju yang disinyalir akibat perkebunan sawit, SJA 2 diduga kuat melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 69 bagian 1A dilarang keras melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pada pasal 76 juga menjelaskan, menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi administratif yang dapat diberikan terdiri atas: teguran tertulis; paksaan pemerintah; pembekuan izin lingkungan; atau pencabutan izin lingkungan.
Dalam Pasal 87 bagian 1 menjelaskan, setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi.
Awal September lalu, Benua Indonesia mendatangi kantor SJA 2 yang berada di Desa Taripa, Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso untuk memintai tanggapan soal Danau Toju yang hilang dan diduga akibat dampak lingkungan dari perkebunan sawit mereka. Tapi, pihak perusahaan tak memberikan komentar, dan hanya meminta nomor Benua Indonesia serta berjanji akan menghubungi untuk memberikan keterangan. Namun, janji itu tak pernah ditepati hingga berita ini diterbitkan.
PT SJA 2 sebenarnya adalah salah satu anak perusahaan dari PT. Astra Agro Lestari (AAL) Tbk, salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Dalam website resminya, perusahaan ini memiliki rencana aksi keberlanjutan dengan komitmen untuk melakukan budidaya kelapa sawit secara bertanggung jawab dengan menjaga keseimbangan antara kepentingan masyarakat, lingkungan hidup, profitabilitas ekonomi yang berkelanjutan, kemitraan dan perdamaian sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kebijakan keberlanjutan Astra itu sebagai upaya berkesinambungan dalam penerapan praktik-praktik efisien melalui konservasi keanekaragaman hayati, tanah dan air, pengurangan gas rumah kaca serta memastikan kondisi yang aman dan stabil bagi seluruh karyawan dan masyarakat sekitar. Mereka berkomitmen melindungi hutan, lahan gambut, Hak Asasi Manusia (HAM) dan bekerjasama dengan petani, untuk melaksanakan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Dalam laporan Forest Peoples Programme, TuK Indonesia, Pusaka, Walhi Riau, Walhi Jambi, dan Walhi Sulawesi Tengah yang terbit 2021 mencatat, AAL jadi pemasok langsung maupun tak langsung ke enam perusahaan multinasional yang punya label ‘hijau’ seperti; Unilever, PepsiCo, Nestle, AAK, Wilmar, dan Cargill. Mereka memiliki komitmen keberlanjutan ataupun mengadopsi kebijakan tanpa deforestasi, tanpa gambut, tanpa eksploitasi (NDPE).
Namun, kenyataan dilapangan berbeda, AAL melalui SJA 2 diduga kuat menjadi penyebab hilangnya Danau Toju di Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso. T Tampona, Helpin Sumoli, dan Lian Gogali yang merupakan masyarakat Poso meminta perusahaan harus bertanggung jawab atas hilang salah satu tempat yang menjadi sumber kehidupan warga sekitar.
Sejak 11 November 2022 lalu, Benua Indonesia menghubungi pihak perusahaan untuk meminta tanggapan soal hilangnya Danau Toju serta mempertanyakan pertanggungjawaban berdasarkan komitmen rencana aksi berkelanjutan mereka. Namun hingga kini, perusahaan tak merespon sama sekali.
Tanggal 28 Oktober lalu, Benua Indonesia menghubungi Markus Mutabisu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Poso untuk meminta tanggapan soal pengawasannya terkait Danau Toju hilang yang diduga akibat dampak lingkungan dari perusahaan sawit SJA 2. Sayangnya, Markus Mutabisu tak merespon, panggilan telepon terus ditolaknya, pesan whatsapp juga tak dibalas, hingga nomor yang dipakai menghubunginya diblokir.
Sementara itu, Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengaku tak mengetahui masalah Danau Toju yang hilang akibat perkebunan sawit milik SJA 2 di Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso. Ia juga mengaku, baru mengetahui kalau Danau Toju itu ada..
“Saya tidak mengetahui informasi ini. Saya juga baru dengar Danau Toju itu ada di Kabupaten Poso,” kata Subagyo kepada Benua Indonesia, awal November lalu.
Meski begitu, Subagyo akan mencari tahu masalah ini lebih lanjut dan akan melakukan pengawasan serta berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Poso. Ia bilang, pihaknya juga akan memastikan apakah Danau Toju hilang karena perkebunan sawit atau karena perubahan iklim. Walaupun begitu, ia mengaku, perkebunan sawit sangat rakus air.
Menurut Lian, hilangnya Danau Toju akibat adanya sawit menjadi pelajaran yang sangat nyata bagi warga-warga di berbagai desa atas berbahayanya perkebunan kelapa sawit terhadap keberlangsungan makhluk hidup. Ia bilang, definisi konsep kemakmuran dan konsep kedaulatan yang kerap disuarakan pemerintah dengan mengatasnamakan investasi harus direkonstruksi ulang. Katanya, investasi seperti solusi palsu untuk mensejahterakan rakyat.
“Konsep kemakmuran yang kerap ditawarkan oleh pemerintah hanya dengan memasukan investasi, dan masyarakat iming-iming lapangan pekerjaan. Alhasil, konsep yang ditawarkan itu terbukti memberikan penderitaan kepada masyarakat dengan hilangnya Danau Toju. Di situ, tidak hanya tanah yang hilang, tapi masa depan kehidupan masyarakat juga hilang serta kebudayaannya,” jelasnya.
Sementara itu, Helpin meminta perusahaan harus bertanggung jawab untuk mengembalikan Danau Toju seperti sebelumnya, meski tidak seperti dulu keadaanya. Menurutnya, Danau Toju merupakan harta yang sangat berharga untuk diberikan dan harus dinikmati oleh anak-anak dan cucu-cucu mereka. Ia menginginkan, Danau Toju akan terus menjadi sumber sumber kehidupan masyarakat sekitar.
“Danau toju itu merupakan alam yang indah yang diciptakan oleh tuhan untuk kita nikmati bersama, bukan dihancurkan oleh sawit,” katanya.
*Tulisan ini merupakan Fellowship dari Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak
Catatan redaksi : artikel ini sudah pernah dimuat di laman benua.id , dipublikasikan kembali seijin penulis.