Santoso dan Kekuatan Perdamaian Poso

0
3203

Santoso ditembak tewas. Perburuan terbesar dalam sejarah Indonesia di abad ke 21 ini dirayakan oleh berbagai pihak. Puja puji ditujukan pada aparat keamanan, terutama pada Kapolri baru Tito Karnavian yang sempat menjadi Satgas dalam operasi keamanan di Poso. Tak hanya itu, para pendukung kelompok Santoso tak ketinggalan mengaminkan kematiannya sebagai pahlawan.

Para pahlawan ini dibicarakan dengan menempatkan warga Poso sebagai pihak ketiga dari konteks perburuan. Sebagai pihak ketiga, warga di Poso tak penting untuk dibicarakan selain sebagai latarbelakang konteks. Bahkan melihat warga Poso sebagai pihak yang lemah dan tidak mengambil peran apapun dalam seluruh konteks yang terjadi di wilayahnya sendiri. Tulisan ini membicarakan dua catatan yang hilang dari hiruk pikuk ini.

Pertama, Keberkorbanan orang Poso

Sejak awal operasi keamanan ditetapkan di Kabupaten Poso, kehidupan warga di 6 kecamatan di Kabupaten Poso berubah. Warga di Poso Pesisir Selatan, Poso Pesisir Utara serta Lore Utara, Lore Peore, Lore Tengah dan Lore Timur menyesuaikan mekanisme dan sistem kehidupannya dengan operasi keamanan.

Ibu Tomi dari Desa Tri Mulya, Poso Pesisir Utara menceritakan ketika anaknya terkena penyakit saat itu sedang terjadi baku tembak dengan jarak sangat dekat. Bidan, satu-satunya harapan desa untuk urusan kesehatan warga tidak bisa berkunjung karena larangan dan takut menjadi sasaran salah tembak. Ibu Adi di Desa Tangkura bercerita ibunya dan banyak warga desa lainnya beralih pekerjaan menjadi buruh sawit di kabupaten lain. Mereka tidak bisa lagi berladang dan berkebun, meskipun saat itu musim panen. Ibu Citra dan banyak warga yang lain menjadi pemecah batu di Sungai Puna. Puluhan hektar kebun coklat  yang jaraknya tidak jauh dari desa tidak bisa lagi mereka rawat.

Lain lagi cerita ibu Desi, di Poso Pesisir Selatan. Untuk bisa tetap memanen pohon kelapanya, dia harus menyewa banyak orang. Biasanya ibu Desi dan keluarganya dapat menyelesaikan sendiri pekerjaan tersebut, tapi kali ini mereka harus berburu waktu sebelum jam 3, waktu yang dalam aparat bagi para petani. Sore menjelang malam, jalanan sepi. Jarang dijumpai suasana bercengkrama antar tetangga. Pernah juga kurang lebih 2 minggu, sebagian warga di 6 dusun mengungsi saat dilakukan latihan militer yang juga disebut ditujukan untuk mengejar kelompok Santoso. Sementara itu,   beberapa warga petani menjadi sandera sebelum dibunuh dengan cara kejam.

Baca Juga :  Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Danau Poso

Kisah para perempuan dari desa ini sangat sulit ditemukan di media massa, apalagi dibicarakan. Imajinasi orang tentang Poso telah ditetapkan sebagai wilayah konflik, wilayah teroris. Sebagai wilayah konflik, terdapat kesan segala peristiwa yang terjadi demi alasan keamanan adalah lumrah. Pengorbanan memang harus dilakukan.  Yang terjadi, keberkorbanan orang Poso.

Dalam berbagai serioperasi keamanan dengan berbagai nama, warga Poso memilih aktif berkorban dan menjadi korban, juga pada saat bersama dikorbankan. Berkorban dengan meninggalkan lahan pertanian mereka, menjadi korban hingga kehilangan nyawa , dikorbankan dalam kebijakan keamanan. Secara aktif warga Poso menjadi bagian dari seluruh proses itu, setiap hari dan bertahun-tahun.

Kedua, kekuatan damai yang tak lekang

Perburuan Santoso adalah  operasi perburuan manusia terbesar di abad 21 ini. Jumlah ini mengalahkan sejarah perburuan yang dilakukan terhadap Kartosoewirdjo yang memimpin pemberontakan Darul Islam di masa Presiden Soekarno. Saat itu Kartosoewirjo memimpin pasukan dengan kemampuan terlatih yang jumlahnya melebihi satu batalyon, diburu oleh pasukan 1 batalyon. Diluar operasi keamanan tahun 2012 – 2015, jumlah aparat keamanan gabungan TNI dari semua angkatan plus pasukan elitnya dan Kepolisian adalah 3.000 personil. Operasi keamanan berbiaya 57 miliar per  tahun ini ditujukan untuk memburu kelompok Santoso yang anggotanya 39 orang ( sekarang tercatat berjumlah 19 orang ). Bahkan, secara khusus untuk memburu Santoso, aparat keamanan dibagi dalam 63 tim. Santoso yang dalam rekam jejaknya tercatat terlibat  perampokan mobil box kelontongan di Maleali dengan tuntutan 1 tahun penjara ini ditangani oleh  pasukan yang paling terlatih di Indonesia.

Baca Juga :  Festival Mosintuwu, Ikhtiar Memuliakan Alam & Kebudayaan untuk Kehidupan Kini dan Kelak

Ketika sedang bermaksud menunjukkan keseriusan memburu kelompok Santoso, gelaran operasi keamanan ini sekaligus  melegitimasi kekuatan kelompok.  Selanjutnya, menciptakan imajinasi ketokohannya yang kemudian dirayakan oleh para pendukungnya saat kemudian tewas.

Imajinasi yang dibangun melalui serial operasi keamanan menyingkirkan kemampuan dan kekuatan masyarakat Poso dalam upaya-upaya perdamaian di Poso. Masyarakat Poso dibaca dan dibicarakan sebagai pihak yang semata-mata lemah tak berdaya mengatasi seri konflik yang terus terjadi.  Bahkan, masyarakat Poso diklaim sebagai bagian dari konflik itu sendiri.

Kenyataannya, sejak tahun 1999  masyarakat Poso berusaha bangkit bersama memulihkan trauma, mengurai dendam karena konflik dengan berbagai cara. Ketika larangan keluar rumah pada malam hari dengan alasan keamanan disampaikan oleh aparat keamanan, ibu-ibu dari berbagai desa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda berkumpul di salah satu lokasi penembakan untuk menyampaikan pesan damai termasuk kepada mereka yang diduga teroris.

“Kami ini semua korban konflik Poso, merasakan lari ke hutan, kehilangan keluarga. Tapi kami semua kembali pulang ke Poso. Saat kembali pulang, kami cuma punya satu pilihan yaitu menjaga kehidupan sebaik-baiknya” Ibu Martince, anggota sekolah perempuan Mosintuwu, sebuah organisasi masyarakat akar rumput di Poso menceritakan. “ Saya dulu sempat dendam. Sekarang, saya bersama dengan teman-teman yang lain saling bikin kode perdamaian. Kalau ada isu atau rumor beredar yang mengancam atau berpotensi menyebarkan konflik baru, kami akan bersama-sama bikin kabar baik yang diedarkan ke semua pihak. Ini bukan hanya untuk mencegah konflik, tapi juga membuktikan diantara kami yang terpenting adalah menjaga kehidupan”

Menjaga kehidupan adalah pilihan masyarakat Poso yang belajar dari sejarah konflik bawah tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang jika saling berperang. Yang ada adalah berhentinya kehidupan.

Karena itu, anak-anak dari berbagai agama berkumpul bermain bersama, menjalin pertemanan lintas batas melalui buku perpustakaan keliling. Anak-anak muda menginisiasi Generasi Damai Poso. Sebagian besar tokoh agama bergandengan tangan menyampaikan pesan damai di mimbar-mimbar agama. Pemerintahan desa sibuk membangun konsep desa membangun yang damai. Siapapun di Poso sibuk memastikan lokasi-lokasi wisata yang indah di Kabupaten Poso kembali aktif dan dikunjungi. Para perempuan desa menginisiasi forum perdamaian dengan tetap kritis pada pembangunan. Semua fokus pada bagaimana membangun Poso.

Baca Juga :  Poso Energy Keruk Muara Danau Poso : Nelayan Toponyilo dan Toporono Tidak Bisa Mencari Ikan

Cerita bagaimana para ibu dan warga desa di Kabupaten Poso menjalani semua kehidupan membangun perdamaian ditengah semua seri operasi keamanan, adalah bangunan harapan. Harapan bahwa tanah Poso adalah tanah dimana perekonomian mereka tumbuh, terikat kehidupan sosial yang tidak patah, dengan kebudayaan kebersamaan. Harapan yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari ini adalah kekuatan sebenarnya orang Poso dalam membangun perdamaian dan keadilan.

Sintuwu Maroso

Karena itu, cerita tentang Santoso tidak punya makna berarti dalam kehidupan orang Poso apalagi dalam upaya membangun perdamaian di Poso. Ketokohan yang diciptakan atas Santoso sesungguh tidak bisa dimaknai apapun selain menyadarinya sebagai sebuah permainan kepentingan.

Dalam konteks inilah, warga Poso adalah pahlawan atas proses apapun yang memastikan keamanan demi perdamaian dan keadilan di Poso. Sintuwu Maroso adalah akar budaya orang Poso yang dalam sejarahnya menunjukkan bagaimana orang Poso bahu membahu bekerjasama untuk damai Poso.

Tentu, tidak ada kenaikan pangkat dari warga desa menjadi warga istimewa berbintang tujuh. Warga Poso masih akan tetap bersusah payah berkebun atau mencari ikan menafkahi hidup. Tidakpun  berubah jabatan warga desa di Poso menjadi lebih tinggi setelah operasi ini. Warga Poso akan berusaha menjalani kehidupannya sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya untuk bertahan, sebelum akhirnya hidupnya beradaptasi dengan kebijakan keamanan baru  akan datang.  Tapi, disitu masyarakat Poso menunjukkan bahwa kekuatan sebenarnya dari upaya perdamaian adalah masyarakat Poso sendiri.

 

Catatan redaksi : Tulisan dimuat di koran Jawa Pos edisi 26 Juli 2016 , link :http://digital.jawapos.co.id/shared.php?type=imap&date=20160726&name=H4-A233006

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda