Sekolah Kepemimpinan PerempuanLeadership Women School

0
1998

“Apa artinya perempuan yang jadi pemimpin? Apakah karena jenis kelaminnya adalah perempuan atau karena karakternya sebagai pemimpin berbeda” Pertanyaan ini diajukan mbak Nana, panggilan akrab Kamala Chandra Kirana, mantan ketua Komnas Perempuan di hadapan 300-an lulusan sekolah perempuan angkatan 3 bulan November 2015.

 Pertanyaan ini mengajak kelompok perempuan lulusan sekolah perempuan Mosintuwu untuk melangkah dan berpikir lebih jauh. Sebelumnya sekolah perempuan fokus pada memperjuangkan agar suara perempuan dan anak didengarkan dan dipertimbangkan dalam menentukan model pembangunan.

Ibu Emi, anggota sekolah perempuan angkatan 3 sudah menjadi bendahara di Desa Didiri. Ibu Fatimah menjadi ketua kelompok perempuan di Desa Kilo. Ibu Fidar berhasil mempengaruhi proses pemilihan kepala desa di wilayah Lore Selatan. Ibu Widya di Desa Trimulya berhasil menjadi corong bagi masyarakat miskin di desanya untuk mendapatkan hak layanan dari pemerintah desa. Para ibu yang biasanya tidak dipercaya oleh masyarakat, sekarang menjadi pemimpin dalam kelompok.

Melanjutkan pertanyaan tentang kepemimpinan perempuan, paska kelulusan dilakukan perjalanan keliling ke seluruh wilayah kelas sekolah perempuan. Mengumpulkan kembali ibu-ibu yang meniatkan diri bergabung dalam tim Pembaharu Desa, Lian Gogali, pendiri sekolah perempuan memulai dengan pertanyaan “ Bagaimana agar ketika kita dipercaya oleh masyarakat, menjadi pemimpin, kita memastikan yang kita bela adalah orang miskin yang tertindas?. Bahwa yang kita perjuangkan adalah keadilan untuk masyarakat?

Baca Juga :  Dibalik Film Terendam Listrik : Memendam Amarah, Merangkai Fakta

Pertanyaan ini sebelumnya digali dengan melihat potret pemimpin perempuan di Indonesia, termasuk di Kabupaten Poso dan di desa-desa “Betul, kita semua lihat di televisi ada juga perempuan yang sudah jadi gubernur, jadi anggota dewan, bahkan jadi presiden. Tapi tidak ada jaminan apakah perempuan-perempuan itu memperjuangkan masyarakat” kata ibu Herda, dari Desa Boe. “ Malah mereka ikut korupsi” sambung ibu Erni dari Desa Saojo. “Maka kita harus pastikan perempuan di Poso yang menjadi pemimpin adalah mereka, kita yang berjuang untuk masyarakat akar rumput “ tegas ibu Martince, koordinator pengorganisasian.

Hasil perjalanan keliling di sekolah perempuan di 40 desa di Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali menemukan kebutuhan akan adanya kelas yang secara khusus membahas tentang kepemimpinan perempuan.

“Kelas kepemimpinan perempuan ini membantu perempuan untuk membangun karakter kepemimpinan yang peduli dengan orang miskin dan fokus pada keadilan masyarakat” Asni, koordinator program pendidikan Institut Mosintuwu menjelaskan. “ siapa saja, perempuan yang ingin mengembangkan konsep desa membangun bisa ikut di kelas ini”

Baca Juga :  Membincang Ulang Makna Kemakmuran Desa di Kelas Sekolah Pembaharu Desa

“Kita ingin memastikan agar lulusan sekolah perempuan bisa terlibat dalam mengembangkan konsep desa membangun, tapi tidak menjadi ekslusif” jelas Cici, manager Program Institut Mosintuwu “ Sangat sering mereka yang sudah punya pengetahuan atau ketrampilan hanya diperuntukkan bagi diri mereka atau keluarga di sekitar mereka. Nah, sekolah perempuan ini mempersiapkan pemimpin perempuan yang berpihak pada masyarakat miskin dan jernih dalam bersikap” demikian lanjutnya.

Kelas sekolah perempuan kepemimpinan dimulai bulan Juli 2016, difasilitasi oleh Lian Gogali, pendiri sekolah perempuan Mosintuwu. Mereka yang terlibat adalah gabungan antara anggota sekolah perempuan angkatan 3 dan kelompok perempuan lainnya di dalam desa. Terdapat lima tema khusus yang dibahas dalam kurikulum kepemimpinan perempuan ini, yaitu tema peta mimpi desa;  relasi kuasa ; desa membangun; perempuan memimpin.

Sebelumnya, kurikulum kepemimpinan perempuan digodok bersama dengan beberapa anggota sekolah perempuan setelah dibahas oleh tim bersama Mosintuwu bersama dengan tim PEKKA, dan mbak Nana.

 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda