Mendengar Anak, Mengimajinasikan Masa DepanListening Children, Imagining the Future

0
1532

Anak adalah rumah masa depan. Pada anak kita menggantungkan bagaimana kehidupan terbentuk. Pada setiap momentum hari anak, apakah kita mempertimbangkan suara anak?

Dengar-dengaran pada Anak

Air mata Grace berkaca-kaca, dia nampak berusaha keras untuk tidak menangis meskipun kemudian gagal. Tangannya gemetar memegang pena sambil sesekali mengusap air matanya. Kertas putih yang dibagikan baru setengah halaman yang tertulis. Sesekali dia mengumpulkan kekuatan dengan menghela napas panjang agar bisa meneruskan tulisannya. Hari ini pertama kalinya Grace diberikan keleluasaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.

Di sudut lain, seorang anak bertanya ke kakak pendamping “ kalau saya tinggal jauh dari orang tua, surat ini harus saya kirimkan kemana?” Stevan bercerita sudah 5 tahun ini dia tinggal di rumah keluarga yang lain untuk bisa sekolah. Hari itu dia memutuskan untuk mengirimkan suaranya dalam bentuk tulisan ke orang tuanya yang ada di Sulawesi Selatan.

“Saya ingin sekali mama tahu kalau saya berusaha keras untuk belajar disini dan tidak mengecewakan mereka yang kerja siang malam di kebun” cerita Vita tentang suratnya. Lain lagi Kristi  “saya minta mama tidak menikah lagi, saya takut, tapi tidak tahu mau cerita ke mana. Syukurlah saya punya kesempatan melalui surat ini” ungkapnya lega

Stevan dan Grace hanya salah satu dari 50 anak-anak yang hadir hari itu di Dodoha Mosintuwu. Mereka menuliskan perasaan dan pikiran mereka kepada orang tua. “Kita sangat sering meminta anak untuk dengar-dengaran, atau mendengar kita; tapi kita sangat jarang mendengarkan suara mereka” jelas Cici, koordinator Project Institut Mosintuwu.

Baca Juga :  Baku Tukar Motor, Pohintuwo Lembah Bada di Masa Pandemi

Menuliskan perasaan dan pikiran melalui surat yang dialamatkan pada orang tua mereka adalah bagian dari aktivitas memperingati Hari Anak yang jatuh setiap tanggal 23 Juli. Project Sophia bekerjasama dengan Perpustakaan Sophia, Radio Mosintuwu dan Dodoha Mosintuwu menyelenggarakan kegiatan untuk anak. Kegiatan dengan tema “ Anak Peka, Generasi Damai “ ini dimulai pada pukul 9 pagi hingga pukul 16.00 di beberapa lokasi .

“Pastikan surat saya sampai ke mama dan papa saya ya kak” ungkapan ini disampaikan hampir semua anak ketika meletakkan surat-surat mereka di kotak surat di tengah ruangan. Surat-surat itu menjadi bagian dari bagaimana selama ini anak-anak berpikir dan berperasaan tentang kehidupan mereka dan kehidupan sekitar mereka. “Iya dek, pasti akan disampaikan “ dengan yakin Cici menjamin surat mereka sampai dan perasaan mereka sebagai anak bisa dimengerti oleh orang dewasa.

Banyak peristiwa negatif terjadi justru karena tidak ada komunikasi yang terbangun antara anak dan orang tua. Akibatnya pilihan tindakan anak-anak seringkali kurang tersampaikan. Sementara para orang tua menggantungkan harapan mereka pada anak-anak, tanpa mau mendengarkan apa keinginan anak. Hal ini yang melatarbelakangi kegiatan ini menjadi bagian dari kegiatan di Hari Anak. Satu hari mendengarkan suara anak.

Mimpi Anak, Masa Depan Generasi

“Saya ingin menjadi dokter tapi kata orang tua mereka tidak sanggup lebih baik jadi perawat, atau PNS supada ada jaminan masa tua” cerita Glen, siswa SMU yang sehari-harinya dikenal menguasai pelajaran fisika dan kimia. “ Saya ingin jadi fotografer karena bikin foto itu membuat banyak orang bahagia. Tapi saya dengar orang bilang jadi fotografer itu cuma mau miskin saja” sambil tergelak Citra mengungkapkan mimpinya. “Jadi saya bilang saja saya mau jadi orang hebat”

Baca Juga :  Mencari Air : Seperti Padang Pasir di Bukit Bambu

Bukan cuma Glen dan Citra yang menunda mimpi mereka. Anak-anak yang pagi hari itu terkumpul di Dodoha Mosintuwu tampak berpikir. Sebagian berteriak kencang “ jadi orang pintar, jadi luar biasa” ketika ditanya mau menjadi apa. Ungkapan abstrak ini menjadi pilihan anak-anak ketika bermimpi.

Lian Gogali, ketua Mosintuwu dalam diskusi interaktif mengajak anak-anak untuk berani bermimpi dan memiliki keyakinan dalam mewujudkan mimpi mereka. Iim, pembicara dari jogjakarta menguatkan dengan ajakan agar mimpi anak-anak tidak lepas dari upaya untuk membantu orang lain, bukan hanya dirinya sendiri.

Diskusi  dilanjutkan dengan mendengarkan mimpi anak-anak. Mimpi ini ditulis dan dilipat dalam bentuk origami. Origami dalam bentuk bangau itu kemudian digantungkan di pohon harapan di bagian tengah ruangan Dodoha Mosintuwu.

“Saya bermimpi akan menjadi dokter untuk bisa bangun rumah sakit yang gratis untuk semua orang miskin “ Ety, salah satu peserta mengungkapkan mimpinya. “Saya ingin menjadi arsitek yang bisa mengangkat arsitektur orang Poso ke dunia, juga yang ramah lingkungan “ sambung Dina, peserta lainnya.

Sambil bergandengan tangan, anak-anak remaja tersebut berdoa bersama agar Poso di masa depan adalah tana perdamaian dan keadilan. Dari bermimpi, anak-anak mengimajinasikan Poso yang lebih baik ke depannya.

Baca Juga :  Sekolah Kepemimpinan PerempuanLeadership Women School

Anak Poso Peka, Bangun Generasi Damai

Hari sudah menjelang sore ketika Vika berdiri di hadapan 20-an teman-teman seusianya di Panti Asuhan Yahya “ Teman-teman, tetap semangat. Tidak perlu malu untuk tinggal di panti asuhan. Kami ini adalah teman kalian semua. Kita semua sama adalah anak-anak” Kata-kata Vika disambut tepuk tangan siswa lainnya. Dini, menyambut semangat Vika “ terimakasih banyak teman-teman kami tau kami tidak sendirian karena banyak teman yang peduli dengan kami”

Tiga bungkus dus berisi pakaian layak pakai dijadikan simbol kepedulian anak-anak kepada teman mereka. “Tema anak peka, generasi anak kami angkat menjadi isu utama untuk mengajak anak-anak di Poso memiliki kepekaan sosial kepada orang lain terutama teman-temannya” jelas Cici, koordinator Project Sophia Institut Mosintuwu. “ Kalau anak peka maka dia bisa peduli dengan kondisi di sekitarnya termasuk kasus kekerasan. Ke depannya anak-anak bisa membangun generasi damai dari kepedulian mereka pada sesama” Pakaian layak pakai ini dikumpulkan oleh anak-anak dari berbagai sekolah.

Masih menggunakan pakaian seragam sekolah, anak-anak SMP dan SMU ini mengunjungi Panti Asuhan di wilayah Tentena. Panti asuhan pertama adalah panti asuhan Yahya di Kelurahan Tendeadongi. Panti asuhan kedua yang dikunjungi adalah panti asuhan Imanuel di Kelurahan Buyumpondoli.

Kepekaan yang dimiliki oleh anak-anak Poso menjadi modal besar untuk masa depan Poso yang penuh damai dan keadilan bagi sesama.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda