Di Antara Aku dan Engkau, Ada Kita : Kisah Kami dari Poso

0
699
Anak-anak muda beragam agama dan suku di Desa Pinedapa dalam kegiatan Jelajah Budaya Rumah KITA Poso yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu. Foto : Dok.Kurniawan Bandjolu.

Semua mahfum bahwa keragaman adalah keniscayaan. Tidak ada yang benar-benar sama untuk menjadi seragam. Tapi, ada kecenderungan untuk menginginkan sesuatu yang seragam, yang sama, yang itu saja. 

Apa yang hilang dari naluri itu? Keinginan untuk berada bersama yang lain, passing over. Kita hanya ingin berada bersama dengan yang sama dengan kita. Sama agama. Sama suku. Sama ras. Sama golongan. Kita hanya ingin berdiam di benteng-benteng identitas yang sama itu. Identitas yang kita ciptakan. Makin lama benteng-benteng itu makin dipertebal dan dipertinggi. Apa yang segera terjadi adalah kita hanya bisa mengira-ngira, menebak-nebak, dan bergulat di dalam pikiran sendiri tentang apa yang ada di sebelah tembok benteng. 

Kira-kiraan, tebak-tebakan, dan gulat-gulatan dalam pikiran sendiri itulah yang membentuk persepsi kita tentang yang lain. Jadinya, apa yang kita pahami tentang orang lain hanyalah hasil pikiran kita sendiri, tanpa konfirmasi kepada yang lain itu. Kemudian, kita tidak merasa perlu mengonfirmasi pengetahuan itu, sebab kita merasa sudah tahu tentang yang lain. Lalu, kita memahami pengetahuan itu sebagai kebenaran. Satu-satunya kebenaran. Di sinilan kebenaran pengetahuan itu menjadi bias.

Agar kebenaran pengetahuan tidak menjadi bias, maka perjumpaan dengan yang lain mutlak diperlukan. Perjumpaan itulah yang terjadi di Desa Pinedapa melalui Program Jelajah Budaya. Kegiatan – yang diikuti oleh 178 orang pemuda desa, mahasiswa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama dari 27 desa di Kabupaten Poso – mengusung tema “keberagaman”. Desa Pinedapa dipilih sebagai tempat kegiatan, sebab desa ini terdiri dari dua agama (Islam dan Kristen) dengan masyarakat yang terdiri dari 24 suku bangsa baik dari Sulawesi maupun dari luar Sulawesi. 178 orang peserta yang mengikuti Program Jelajah Budaya pun berlatar 27 suku bangsa Indonesia. 

Baca Juga :  Perempuan Tuntut Transparansi Pengelolaan Dana Desa

Kita tahu, bahwa lama sekali Poso memiliki citra negatif. Pengalaman konflik menjadikannya distigma dengan gambaran segregasi masyarakat berdasar agama atau suku. Karena itu, Jelajah Budaya di Desa Pinedapa bertujuan untuk memecah kebuntuan itu. Bahwa ini adalah upaya akar rumput untuk menunjukkan kepada dunia tentang kesadaran terhadap kearifan lokal dan nilai-nilai hidup keberagaman yang dihayati, dikerjakan, dan dihidupi oleh masyarakat Poso. 

Pengalaman peserta merayakan keberagaman latar belakang sudah dimulai sejak mereka berada bersama dalam tenda-tenda keberagaman. Mereka diajak untuk berkenalan berdasarkan desa – ada yang satu desa tapi karena berbeda agama dan suku malah tidak saling kenal, berdasarkan suku, agama, hobi, sekolah, kesukaan panjang-pendek rambut, hobi, dan lain-lain. Peserta diajak mengenal berbagai keragaman identitas dan latar belakang mereka, tetapi segera menyadari bahwa keragaman itu tidaklah benar-benar berbeda. Kita mengakui bahwa tidak ada yang benar-benar berbeda, sebab keberbedaan itu akan menemukan titik-titik temunya. Pada ujung titik temu itulah keberagaman akan berjumpa pada kemanusiaan (humanity).

Baca Juga :  10 Tahun Mosintuwu : Membangun Gerakan tanpa Amplop dan Uang Duduk

Desa Pinedapa merupakan desa yang unik di Kabupaten Poso. Menurut Kepala Desa Pinedapa, yang bisa dijangkau untuk Jelajah Budaya ini adalah 16 dari 24 suku bangsa yang ada di Desa Pinedapa. Itu berarti, berbagai suku bangsa dari berbagai asal mereka di penjuru negeri Indonesia telah hidup dan beranak pinak di Desa Pinedapa. Tidak ada orang yang bersedia meninggalkan negeri leluhurnya apabila tidak mengharapkan yang baik di masa depan, sekalipun masa depan tak bisa ditentukan oleh siapapun manusia di dunia ini. Akan tetapi kesadaran bahwa Tana Poso adalah negeri harapan – sekalipun pernah berada di lembah kekelamaan, demikian ungkapan Kitab Zabur – menunjukkan kehendak untuk hidup baik di masa depan. 

Inilah yang dikerjakan dalam Jelajah Budaya. Merayakan keniscayaan keragaman dalam harapan untuk Tana Poso yang baik di masa depan. Dimulai dari sekarang ini oleh kita yang tinggal di negeri tercinta ini. Kesadaran terhadap keniscayaan itu harus dikerjakan dan dihidupi oleh massa rakyat ugahari tanpa polesan seremonial formal yang hanya tampak di kulit tapi tak masuk mendalam kepada sanubari. 

Baca Juga :  Perempuan Pekerja Seni berkumpul di Poso, MamPakaroso

Hidup sehari-hari bersama-sama dalam keberagaman itulah yang diperkenalkan oleh masyarakat Desa Pinedapa kepada peserta. Mereka memperkenalkan identitas dan keunikan sukunya, menceritakan tentang nilai-nilai kedamaian dan kemanusiaan dari kearifannya, menyajikan kudapan-kudapan khasnya, dan berdiskusi tentang seluk beluk dan latar belakang mereka sejauh dapat diingat. Mereka adalah orang-orang bersahaja dalam hidup sehari-hari yang didatangi pula oleh orang muda bersahaja dari berbagai tempat yang sedang menatap masa depan di Tana Poso. Tatapan dan gerak itu dimulai dari Desa Pinedapa. 

Pengalaman perjumpaan dengan berbagai keunikan keberagaman itu menjadikan peserta melampaui batas-batas identitas mereka. Mereka melihat, mendengar, dan menyentuh ruang dan waktu hidup keberagaman Pinedapa, yang kemudian diekspresikan dengan menghayati dan menunjukkan perasaan dan pengetahuan mereka tentang keberagaman identitas Pinedapa melalui unjuk karya pada malam keberagaman hingga suntuk menjelang.

Ohaiyo Pakaroso!

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda