Terendamnya Polapa Baula: Saat Kesejahteraan Warga Dihentikan Demi Investasi

0
402
Polapa Baula, ladang penggembalaan di Desa Tokilo berkurang ratusan hektar akibat bendungan PLTA Poso Energy menaikkan dan menahan level air pada ketinggian tertentu. Peternak yang biasanya memiliki puluhan kerbau, sekarang dipaksa hanya memiliki terbatas agar bisa berbagi lahan penggembalaan dengan yang lain. Foto : Dok.PenjagaDanauPoso/Ray

Jelang siang, padang penggembalaan tradisional warga di Desa Tokilo Kecamatan Pamona Tenggara mulai terlihat dari perahu yang kami tumpangi. Hari itu Minggu 11 September 2022, kami merapat di pantai desa. Hanya beberapa ekor kerbau yang terlihat sedang berkubang di pinggir danau.

Jumlah hewan mahal itu semakin berkurang dibanding tahun lalu. Untuk mengetahui populasi kerbau disini, kami menemui Moris Tosadu, penggembala yang paham A sampai Z kerbau.

Laki-laki umur 40 tahun itu dipercaya masyarakat setempat untuk mengurus salah satu harta berharga itu.

Tokilo adalah desa yang terletak di tenggara Danau Poso. Butuh 2,5 jam untuk mencapainya menggunakan perahu motor dari Tentena. Di desa yang berpenghuni 157 keluarga ini, sebagian besar punya kerbau yang dilepas di padang gembalaan komunal, warga menyebut lokasi ini Polapa Baula, dalam bahasa Pamona artinya tempat melepas kerbau. Hewan yang dahulu dipelihara untuk membantu mengolah sawah ini berubah jadi tabungan dan sumber biaya kebutuhan penting, mulai dari bangun rumah, biaya kuliah, kesehatan hingga ongkos pernikahan atau kadangkala untuk bayar hutang.

Kontribusi penting kerbau dalam hidup warga diceritakan ibu Martha, ibu rumah tangga yang membayar kuliah anaknya dari hasil jual kerbau.

Tahun 2019 populasi kerbau di Polapa Baula mencapai 700 ekor. Jumlahnya menyusut drastis saat PT Poso Energi yang mengoperasikan PLTA Poso I menaikkan level air Danau Poso hingga merendam lebih dari setengah kawasan penggembalaan tradisional itu.

Baca Juga :  Dibalik Film Terendam Listrik : Memendam Amarah, Merangkai Fakta

3 tahun kemudian, populasinya tinggal 400 ekor. Berkurang hampir setengahnya.

Moris Tosadu mencatat, 94 ekor mati sepanjang tahun 2019-2020. Dari jumlah itu sebanyak 60 ekor adalah kerbau dewasa, sisanya anakan.

Tahun 2021-Agustus 2022, ada 50 ekor yang mati. Sehingga selama 3 tahun ini tercatat 144 ekor mati. Sebabnya, kekurangan rumput.

Polapa Baula seluas kurang lebih 300 hektar adalah hamparan rumput hijau, sumber utama pakan kerbau. Kini tersisa kurang lebih 100 hektar. Moris mengatakan, luasan saat ini hanya cukup menyediakan rumput untuk 200 ekor kerbau.

Perangkat desa Tokilo, Benhur Bondoke mengatakan, matinya kerbau itu menimbulkan protes masyarakat. Setelah negosiasi alot, perusahaan itu bersedia mengganti kerugian matinya ternak. Namun harga yang dibayar hanya setengahnya saja.

Menurut Benhur, harga umum kerbau dewasa jantan sebesar 20-40 juta per ekor. Anakan umur 1 tahun 10 juta. Perusahaan mematok angka 6,5 juta rupiah untuk kerbau dewasa dan 3,5 juta untuk anakan.

Bayangkan, jika 94 ekor itu dijual warga dengan harga normal 20 juta per ekor, ada Rp 1,880,000,000 uang yang diterima dan ditabung atau dibelanjakan.

Namun karena perusahaan hanya bayar 6,5 juta per ekor dewasa dan 3,5 juta anakan jumlahnya jauh dibawah itu. Kita anggap saja semua kerbau yang mati itu dewasa. Maka warga hanya terima Rp 611,000,000. Selisihnya mencapai Rp 1,269,000,000. Kerugiannya lebih besar.

Baca Juga :  Penataan Sungai Poso tanpa Sosialisasi AMDAL

Jika padang gembalaan Polapa Baula terus terendam, kerugian akan semakin besar.

“Tinggal urusan jangka panjang yang masih dibicarakan”ujar Benhur mengenai janji perusahaan kepada warga desanya. Janji itu adalah membangun pagar yang berfungsi mencegah kerbau merusak kebun milik warga desa tetangga.

Peternak Desa Tokilo dipaksa harus mengurangi jumlah ternaknya karena level air danau Poso yang dibendung PLTA Poso Energy membuat ladang penggembalaan berkurang sehingga akses makanan bagi kerbau berkurang. Foto : PenjagaDanauPoso/Ray Rarea

Ini adalah persoalan tambahan yang dihadapi pemilik kerbau akibat naiknya air danau. Kerbau yang kekurangan pakan menerobos pagar pembatas, merusak kebun yang mengakibatkan kerugian petani.

Sayangnya, ketika 94 ekor kerbau yang mati diganti rugi, seakan persoalan dianggap sudah selesai. Dampaknya yang terus berlanjut dianggap bukan lagi tanggungjawab perusahaan. Ini sama dengan nasib ratusan hektar sawah dan kebun di pinggir danau yang terendam. Dianggap selesai ketika perusahaan membayar ganti rugi sebanyak 3 kali panen, mulai dari kerugian tahun 2019-2020. Sawah dan kebun yang masih terendam sampai kini tidak lagi dianggap sebagai tanggungjawab yang harus diselesaikan. Jangan harap perhatian atau bantuan pemerintah untuk memikirkannya, mereka sudah sangat sibuk dengan urusan lain.

Urusan pemberian ganti yang nilainha hanya setengah dari nilai kerugian itu menunjukkan petani dipaksa kalah. Ini harus dialami karena pemerintah, tempat dimana mereka bayar pajak justru membelakangi.

Baca Juga :  Anak Muda Adat Poso : Tolak Nama Yondo mPamona di Jembatan Poso Energy

Sebagai contoh, ketika petani menuntut ganti rugi 40 kg/are berdasarkan hasil yang biasanya mereka dapatkan setiap panen, hitungan itu dinegasi pemerintah dengan nilai hitungan hanya 7 kg/are. “Itu hitungan dari mana?”ketus I Gede Sukaartana, kepala desa Meko. Kalau hanya dapat 10 kg/are lanjutnya, tidak ada petani yang mau bersawah. Di desanya 96 hektar sawah terendam sampai sekarang.

Kembali ke soal kerbau. Moris Tosadu, orang yang mengenal semua kerbau di Polapa Baula menceritakan persoalan serius yang mengancam kehidupan ternak disana sejak ketinggian air Danau Poso ditetapkan PT Poso Energi sebagai pengelola PLTA Poso I.

Perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu mengunci air diketinggian 511,7 mdpl. Dengan ketinggian itu, lebih dari 60 persen lahan gembalaan Polapa Baula terendam. Artinya sumber pakan kerbau berkurang drastis.

“Kalau kondisi sekarang. Pakan yang ada hanya cukup untuk 200 ekor saja”katanya.

Benhur mengatakan, upaya mengatasi keterbatasan lahan itu dilakukan dengan mencoba mengusulkan pembatasan jumlah kerbau yang boleh dimiliki warga hanya 5-7 ekor. Wacana ini menurut dia baru akan disosialisasikan kepada seluruh warga Tokilo.

Jika nanti wacana ini disepakati, maka ini adalah kekalahan berikutnya untuk warga. Hak mereka untuk memiliki kesejahteraan dibatasi demi penambahan kekayaan keluarga mantan satu orang pejabat penting di republik ini saja.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda