Cerita Rakyat untuk Mitigasi Bencana

0
7177
Mural " Imbu" karya Decky. Imbu adalah legenda naga di Danau Poso. Foto : Dokumentasi Mosintuwu

Jangan menganggap remeh dongeng atau cerita rakyat. Dibalik ceritanya ada peristiwa yang sedang diceritakan , termasuk didalamnya peristiwa alam.

“Pada suatu ketika di sebuah kampung, diselenggarakan pesta besar-besaran. Seluruh masyarakat di sekitar kampung tersebut diundang. Di tengah kampung terdapat rawa yang dipenuhi oleh ratusan katak. Seorang nenek, mengumpulkan katak-katak itu untuk dibawa ke tengah lingkaran moende , sebuah tarian rakyat dalam bentuk lingkaran. Si nenek bermaksud untuk menyemarakkan pesta malam itu dengan suara katak yang berbunyi berirama. Namun yang terjadi suara katak ditertawakan oleh seluruh pengunjung pesta. Semakin lama semakin keras tawa kepada katak. Turunlah hujan, semakin deras disertai tanah bergoyang. Lama kelamaan, seluruh kampung dipenuhi air, hingga menjadi danau. Danau itu disebut kemudian dikenal saat ini dengan nama  Danau Poso”

Demikian cerita Ngkai Kabaya. Saat itu di Dodoha Mosintuwu, sedang dilakukan diskusi terfokus tim Ekspedisi Poso untuk mitigasi bencana di Poso.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, DR Herry Yogaswara. Herry menuturkan pentingnya menggali kembali kebudayaan atau tradisi masyarakat Poso dalam berbagai bentuk mulai dari Kayori, Laolita hingga permainan untuk dijadikan pelajaran dalam menghadapi berbagai peristiwa alam seperti bencana. 

Suasana cerita rakyat untuk mitigasi bencana di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dokumentasi Mosintuwu

Herry Yogaswara yang merupakan peneliti bidang ekologi manusia itu mengatakan “ Biasanya orang-orang tua atau leluhur kita sering menyampaikan pesan atau peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu lewat cerita selain cerita biasanya warisan pengetahuan tentang sejarah diabadikan lewat nama tempat”

Baca Juga :  Pembongkaran Yondo mPamona, Penghilangan Warisan Nilai Sintuwu Maroso

Dia mencontohkan SMONG sebuah cerita rakyat Simelue di Aceh yang terus dipelihara masyarakat untuk menjaga agar sejarah gempa dan tsunami yang merenggut banyak korban pada tahun 1907 silam bisa diantisipasi.

SMONG atau Semong adalah ombak tinggi yang belum pecah menjadi gelombang yang kemudian menjadi cerita yang diwariskan turun temurun oleh masyarakat Simelue kepada anak-anak mereka. Lirik lagunya mengajarkan agar ketika terjadi gempa, larilah ketempat tinggi.

Pada waktu bencana Tsunami pada tahun 2004 di Aceh, hampir seluruh masyarakat Simelue selamat, meskipun ada 7 orang yang menjadi korban. Namun di Aceh dan tempat lain, lebih  dari 200 ribu meninggal dunia dalam peristiwa traumatik itu.

Selain cerita, tradisi membaca tanda-tanda alam juga menjadi penting untuk didokumentasikan. Arkeolog Museum Sulteng, Muh Iksam mengatakan, masyarakat lembah Palu menandai bencana dengan memperhatikan cuaca atau suhu udara. Misalnya 3 hari sebelum terjadi gempa, biasanya udara akan sangat panas terik dan angin seakan tidak bertiup. Kata Iksam, bila ada suasana seperti itu, masyarakat Kaili lembah Palu akan waspada karena percaya akan ada peristiwa yang terjadi. Namun kisah ini diakui pula oleh Iksam masih harus dibuktikan secara ilmiah.

Bapak Tauro bercerita tentang lampu misterius di Danau Poso . Foto : Dokumentasi Mosintuwu

Kristian Bontinge saat diskusi fokus bersama tim Ekspedisi Poso di Dodoha Mosintuwu 22 Februari 2019 mengatakan, ada beberapa tempat di pinggiran danau Poso yang diberi nama sesuai dengan peristiwa alam yang pernah terjadi. Misalnya Tobi Maombo yang terletak didekat desa Peura, dalam cerita yang didengarnya dari orang-orang tua sebelum dia, lokasi Tobi Maombo adalah kampung tua yang runtuh karena sebuah peristiwa gempa. Namun hingga kini belum ada pembuktian ilmiah atau penggalian arkeologi yang membuktikan kisah itu. Karenanya kawasan Tobi Maombo akan salah satu tempat yang akan menjadi tujuan ekspedisi.

Baca Juga :  Mesidoe , Perjalanan Menemukan Kembali Kehidupan Danau

Sementara itu, Hajai Ancura, pengurus lembaga adat kelurahan Sawidago mengatakan, orang-orang tua di kampungnya sudah mengenal jalur gempa atau Sesar sejak dahulu. Mereka menyebutnya Jaya Apu (jalur api). Saat masih kecil, Hajai kerap mendengarkan kisah bagaimana Jaya Apu terhubung dengan gunung Colo, gunung berapi yang ada di pulau Una-Una, di gugusan kepulauan Togean. Ketika gunung Colo meletus tahun 1983 membawa debu tebal sampai ke danau Poso yang banyak orang menyebutnya sebagai penyebab punahnya ikan Bungu, salah satu ikan khas danau Poso. Jaya Apu menjadi salah satu penanda bagi masyarakat untuk tidak membangun rumah disembarang tempat. 

Kabupaten Poso merupakan satu dari ratusan  daerah yang wilayah bumi dibawahnya terdapat sesar aktif. Terdapat  3 sesar yang aktif, Sesar Poso, Sesar Tokararu dan Sesar Poso Barat yang menjadi pemicu gempa. Berkaca dari  peristiwa 28 September 2018 di Palu, diperlukan pengetahuan yang cukup agar masyarakat yang berdiam diwilayah yang dilaluinya tahu bagaimana harus tinggal diatasnya. Salah satu caranya mengingat sifat-sifat alam dan mengenal kembali tradisi warisan leluhur yang biasanya menyelipkan cerita atau pesan sebuah peristiwa dalam syair atau Kayori (pantun sastra Poso) agar kita terus mengingatnya.

Baca Juga :  Festival Hasil Bumi Poso, hadir untuk desa rajut kedaulatan
Salah seorang tokoh adat menceritakan legenda imbu / naga Danau Poso . Foto : Dokumentasi Mosintuwu

Ekspedisi Poso adalah sebuah gerakan yang lahir dari kesadaran masyarakat Poso, khususnya yang tinggal dipinggir danau Poso untuk mengenal kembali tanah tempat tinggalnya lewat sebuah  perjalanan yang menyusuri wilayah pinggiran danau Poso untuk mendokumentasikan catatan, ingatan atas peristiwa pergerakan alam atau bencana yang pernah terjadi disana dan bagaimana masyarakat kala itu meresponnya. 

Hasil eskpedisi akan menjadi sebuah dokumen yang diusulkan menjadi bahan penyusunan model pembangunan yang bersahabat dengan alam.

Sebagai langkah pertama, tim Eskpedisi Poso akan mengkaji cerita-cerita rakyat yang sudah dibukukan oleh Nicholaus Adriani 87 tahun lalu, tentu saja setelah terlebih dahulu menterjemaahkannya kedalam bahasa Indonesia. Sebanyak 150 cerita rakyat Poso yang dirangkum Nicholaus Adriani dari penelitiannya selama di Poso itu berjudul Bare’e Verhalen atau Laolita nTo Pamona . Cerita rakyat ini  diterbitkan pertamakali pada tahun 1932. Selain akan mengambil cerita-cerita yang menyinggung peristiwa alam dari buku ini, tim Ekspedisi Poso juga akan mencari cerita lain dengan berjalan keliling danau Poso untuk mendengarkan kisah dari orang-orang tua yang masih mengingat Laolita, syair-syair atau Kayori tentang alam dan pengalaman mereka saat bencana terjadi.

Sebagai sebuah gerakan yang lahir dari inisiatif warga, ekspedisi Poso diharapkan bisa melibatkan lebih banyak masyarakat di desa-desa untuk menggali cerita-cerita rakyat, dan menemukan simbol peristiwa alam yang diceritakan dalam cerita tersebut.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda