Perempuan Poso Membangun Indonesia dari Poso

0
1695
Anggota Sekolah Perempuan Poso sampaikan seruan hak perempuan di Hari Kartini. Foto : Dok. Mosintuwu

“Di setiap desa, perempuan itu ada. Setiap saat perempuan yang ada di desa” suara ibu Yarlin nampak bergetar “Tapi kami tidak pernah dilibatkan. Dianggap tidak ada. Sekarang tidak bisa begitu lagi. Makanya kami disini. Kaum perempuan hadir untuk sama-sama membangun di desa” seru ibu Yarlin. Pernyataan ibu Yarlin disambut tepuk tangan meriah dan teriakan “hidup perempuan Poso” dari beberapa sudut ruangan berstruktur bambu pagi hari itu. Selain ibu Yarlin yang berasal dari Desa Didiri, hadir pula 60 perempuan lainnya dari 39 desa di Kabupaten Poso dan dari dua kecamatan di Kabupaten Morowali termasuk kurang lebih 50 perwakilan pemerintah desa termasuk BPD dan LPM.  Kehadiran mereka mewakili semangat bersama masyarakat di desa untuk menyambut dan mengimplementasikan UU Desa dengan mengikuti workshop Langkah Bersama UU desa.

Kelompok perempuan menjadi bagian penting dari rangkaian kegiatan belajar UU Desa tersebut. Seperti yang disampaikan ibu Yarlin, Institut Mosintuwu yang menyelenggarakan kegiatan ini mempercayai bahwa membangun desa tanpa melibatkan perempuan bukan saja tidak adil tetapi akan membuat pembangunan tersebut berjalan timpang. Kehadiran UU Desa telah memberikan harapan yang penting bagi masyarakat desa untuk kembali berdaulat dalam mengelola desa. Namun sayangnya, kelompok perempuan adalah pihak yang paling terakhir mendapatkan informasi mengenai UU Desa. Pengetahuan selama ini dimonopoli oleh para pejabat yang sebagian besar adalah laki-laki. Oleh karena itu memberikan informasi mengenai UU Desa kepada kelompok perempuan adalah bagian penting untuk membangun sistem pengetahuan bersama yang adil sehingga selanjutnya bisa bersama-sama dapat dilibatkan dalam pembangunan di desa.

Baca Juga :  Lingkaran Perempuan untuk Masa Depan Damai dan Adil

Ketika pengetahuan menjadi milik perempuan di desa, maka pembangunan desa dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa, termasuk kelompok-kelompok marginal. Oleh karena itu, setelah mengikuti serangkaian Workshop UU Desa, kelompok perempuan dari sekolah perempuan bertekad menjadi salah satu penentu bagi kehidupan di desanya. Ibu Elphin dari Desa Tiu, Pamona Timur, misalnya menjelaskan bagaimana sebuah kolam ikan di desanya telah menghidupi dan menyekolahkan ratusan anak. Namun, pemerintah desa memberikan kolam ikan tersebut kepada perusahaan sawit. Akibatnya, pola produksi masyarakat berubah dan menjadi lebih miskin karena menggantungkan kehidupan mereka pada perusahaan. Hal ini bisa terjadi ketika perempuan yang sehari-harinya berada di desa tidak dilibatkan dalam keputusan pembangunan, padahal perempuanlah yang sehari-hari terlibat langsung dengan perkembangan yang ada di desa.

Workshop yang dilaksanakan pada tanggal 29 – 30 November 2014 di Dodoha Mosintuwu ini, adalah bagian dari rangkaian kegiatan yang sebelumnya sudah dilaksanakan yaitu Workshop UU Desa dan Training Peraturan Perundangan Pendukung UU Desa. Workshop UU Desa difasilitasi oleh Yando Zakaria, salah satu mantan tim ahli penyusun UU Desa, melibatkan pemerintah desa dari 60 desa di Kabupaten Poso dan perwakilan sekolah perempuan. Kegiatan dilaksanakan secara terpisah di tiga wilayah utama, yaitu wilayah Lage, wilayah Pamona Bersaudara yang bergabung dengan Lore Selatan dan sebagian kecamatan dari Kabupaten Morowali, serta wilayah Poso Pesisir bersaudara. Sementara itu training peraturan perundangan difasilitasi oleh Farid Hadi, dari Forum Pengembangan dan Pembaharuan desa, sebuah organisasi yang ikut mengagas lahirnya UU Desa. Sementara itu, proses workshop juga difasilitasi oleh Lian Gogali, ketua Institut Mosintuwu, yang menguatkan pentingnya peran serta perempuan dalam pembangunan desa.

Baca Juga :  Gerakan Saling Jaga, Posko Informasi COVID-19 Poso

Memberikan akses informasi dan pengetahuan kepada kelompok perempuan, telah memberi kekuatan bagi perempuan untuk melawan ketidakadilan dalam pembangunan. Ibu Filis dari Desa Didiri menyebutkan “sekarang karena kami sudah tahu, kami tidak bisa lagi dibodohi urusan pembangunan. Langkah pertama kami, kami mau pilih kepala desa yang bisa berpihak dan mendukung sekolah perempuan dan kegiatan-kegiatan perempuan di desa, termasuk yang mendengar kalau perempuan bicara” Kekuatan perempuan ini disadari oleh para pemerintah desa. Kepala Desa Dulumai misalnya mengatakan “perempuan kalau ditanyakan apa yang terjadi di desa, mereka semuanya tahu. Jadi kalau sudah dibekali pengetahuan tentang pembangunan desa melalui UU Desa ini, saya yakin perempuan yang menentukan desa itu mau maju atau tidak”

Langkah perempuan membangun desa memang masih panjang. Pengetahuan saja tidak cukup, mereka masih belajar dari proses mempraktekkan pengetahuan yang dimiliki sehingga bisa bernegosiasi dengan pihak pemerintah desa. Oleh karena itu Workshop UU Desa yang pada awalnya ditujukan terutama kepada kelompok perempuan, akhirnya melibatkan kepala desa, BPD dan LPM yang mayoritas terdiri dari laki-laki. Terdapat kesadaran bersama bahwa perjuangan pembangunan desa yang adil dan damai tidak bisa dikerjakan parsial, terkotak-kotak, sebaliknya harus bersama-sama, melibatkan semua pihak. Termasuk kelompok Perempuan.

Baca Juga :  Menangkal Siar Kebencian, Menabur Perdamaian di Poso

Kepentingan perempuan terlibat dalam pembangunan diakomodir oleh UU Desa antara lain dengan menyebutkan pentingnya keterwakilan perempuan dalam struktur BPD ( pasal 58:1) , dalam penyelenggaraan Musyawarah Desa (Pasal 80 : 2), dalam perencanaan APBDes (Pasal 73 – 74) termasuk memastikan menjadi kelompok kelembagaan desa yang diakui (Pasal 94). Meskipun demikian hak-hak keterlibatan perempuan ini harus terus diperjuangkan. Maka, rangkaian workshop UU Desa, training dan pelatihan terkait perencanaan UU Desa menjadi pendukung penting. Dengannya, perempuan di desa turut membangun Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda