Lian Padele : Tentang Teologi Semesta dalam Kebijakan Pembangunan

0
3402
Seorang ibu bersama sango yang dipakai untuk mosango di wilayah Kompodongi, outlet Danau Poso. Foto : Mosintuwu/Lian

Kajian teologi sosial dan kajian budaya sangat sering diabaikan dalam pembicaraan tentang pembangunan yang berdampak pada lingkungan, terutama dari perspektif perempuan. Demikian juga dalam perencanaan PT Poso Energy dan Pemerintah Kabupaten Poso untuk mengeruk Danau Poso . Rencana pengerukan danau sedalam 4 meter, selebar 40 meter dan sepanjang 12,8 km ini bertujuan untuk menggerakkan turbin PLTA Poso.

Radio Mosintuwu mewawancarai Pdt. Dr. Yuberlian Padele, dalam program Suara Warga dengan tema “Frekuensi Suara yang Terabaikan” tanggal 22 Maret 2018. Perbincangan ini dipandu oleh Lian Gogali. Berikut petikan perbincangannya :

Pertanyaan : Bisa dijelaskan, apa yang dimaksudkan dengan teologi semesta dalam pembangunan?

Sesungguhnya setiap dimana titik-titik indah itu diciptakan Tuhan dan semua tempat indah itu miliki karakternya masing-masing dan tidak persis sama dengan yang lain. Tempat-tempat lain memiliki karakternya sendiri seperti Danau Toba, begitu juga danau Poso memiliki karakternya sendiri sebab dia berada pada suatu lokasi tersendiri pula.

Kita tidak bisa melepaskan danau, artinya air yang memberi kehidupan dan sumber kehidupan dengan semesta yang ada di dalamnya maupun eksternal yang menjadi pengguna utama dari air itu. Artinya ada banyak sekali mahluk hidup didalamnya dan juga kehidupan sosial yaitu nilai-nilai sosial yang telah muncul dari kehadiran danau poso itu sendiri dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Misalnya mitos. Mitos tentang danau poso itu sungguh memberikan makna tersendiri bagi kehidupan sejak dahulu kala sampai hari ini. Misalnya mitos tentang rumongi, lampu danau dan macam-macam lainnya.

Kalau saya tidak keliru, dalam mitos orang Poso, danau poso ini adalah air mata Rumongi yang sedih dengan peristiwa yang terjadi dengan keluarganya, karena itu dia menangis. Dari air mata seorang perempuan, Rumongi lalu memberi kehidupan.

Air tidaklah sendirian sebagai air. Dia mengandung berbagai elemen-elemen ilmiah tapi juga seluruh kehidupan yang ada didalamnya. Jadi air tidak sendirian. Air bersama-sama dengan seluruh komunitas didalam air itu sekecil apapun yang mungkin belum sempat diteliti secara ilmiah, jenis-jenis apa mahluk yang ada didalamnya. Saya kira bukan hanya sekedar Masapi yang sangat terkenal sebagai simbol kota Tentena, ada banyak sekali mahluk yang butuh kehidupan didalamnya. Jadi semesta yang ada didalamnya itu berhubungan juga dengan manusia. Kalau air ini rusak, kehidupan manusia akan rusak, dan alam akan rusak. Dengan dasar pikiran seperti itu, ketika ada unsur keras yang lain yang datang menyentuh kehidupan semesta dalam air itu dan itu asing bagi mereka, itu membuat mereka akan panik. Kepanikan seluruh semesta yang hidup di dalam danau itu pun manusia akan panik dengan keadaan yang baru itu. Keadaan ini kemungkinan akan menimbulkan stres, tekanan secara psikologis baik yang ada didalam air itu maupun manusia.

Baca Juga :  Kebun Bersama : Gerakan Kembali Berkebun, Belajar dari Sejarah Wabah Poso

Mungkin saya tidak mengatakan dengan ekstrim ada kerusakan lingkungan hidup sebagaimana bahasa orang-orang lingkungan. Tapi saya mengambil alih pemahaman itu dengan mengatakan bahwa kesemestaan yang ada di dalam dan di luar air itu akan terganggu. Ketergangguan daripada seluruh semesta di danau itu berarti juga ketergangguan sosial. Mungkin ini sangat sederhana analisis saya secara sosio teologis tapi juga kultur teologi itu. Tapi ini penting sebab kehati-hatian kita untuk menjamah apa yang nature dalam ciptaan itu adalah bagian dari tanggung jawab. Dalam pemahaman saya kalau kita tidak mengerti, kita tidak sadar. Sebab kesadaran itu adalah pusat pengetahuan. Jadi saya berbicara atas nama kesadaran dari pengetahuan itu. dan kalau saya tidak berbicara itu berarti saya mengabaikan pengetahuan. Jadi, saya berdiri atau saya berbicara dari pengertian-pengertian yang berdasarkan pengetahuan.

Pertanyaan : ibu perpendapat bahwa mitos juga perlu untuk diperhatikan. Ada banyak orang yang mengatakan bahwa mitos tidak ada hubungannya dengan pengetahuan. Bagaimana kita bisa mengkajinya sebagai bagian dari teologi sosial dan teologi budaya bahwa mitos ada hubungannya dengan kebijakan pembangunan

Saya kira ini yang disebut dengan kearifan lokal. Local wisdom yang kita agung-agungkan sebagai kekuatan kita untuk merawat seluruh lingkungan yang ada di sekitar manusia. Tanpa lingkungan manusia juga tidak bisa hidup. Menyangkut mitos sebagai bagian dari teologi, saya kira dengan mitos itulah masyarakat masa lalu kita, nenek moyang kita memelihara dengan begitu berhati-hati terhadap air atau sungai yang diberi itu, sungai yang begitu indah.

Cara seperti apa mereka menjaga, yaitu dengan membangun mitos. Jadi mitos adalah salah satu cara nenek moyang untuk melindungi supaya kekeramatan suatu tempat yang memberi sumber kehidupan tidak diganggu semesta yang ada didalamnya. Justru dengan mitos itu adalah cara untuk memelihara , cara untuk mewariskan, cara untuk melihat dan memahami, dan cara untuk memperlakukan disi dari mitos atau subyek mitos itu.

Saya kira mengapa danau yang mengalirkan sungai Poso itu mengapa begitu terpelihara hingga saat ini saya kira itu bagian dari warisan mitologi yang diwariskan dari nenek moyang sampai pada kita hari ini. Jadi menurut saya, mitologi itu adalah cara paham teologi dari nenek moyang kita pada masa lalu. Ini nilai kultur dari mitologi itu bukan sekedar mitos atau karangan atau khayalan-khayalan tapi sebenarnya mitologi itu hidup pada masa lalu dan memiliki efek dalam kehidupan, dalam perilaku, dalam keseharian orang-orang yang hidup dengan mitologi pada masa lalu. Saya kira jika kita tidak lagi perhatikan mitologi itu maka sesungguhnya kita membunuh mitologi itu.

Baca Juga :  Mikroplastik, Ancaman Baru Bagi Lingkungan dan Kesehatan di Danau Poso

Pertanyaan : Ada rencana PT Poso Energy dan Pemda untuk mengeruk danau Poso dengan menggunakan teknologi. Apa bahayanya apabila teologi semesta, teologi sosial ini tidak diperhatikan dalam kebijakan ini? Apakah memang nilai-nilai sosial, termasuk mitologi tadi bisa dirupiahkan?

Mitologi mengakar pada rakyat , ketika pembangunan masuk, maka pembangunan membawa nilainya sendiri. jadi sebenarnya arus antara mitologi dan pembangunan itu pasti. Saya kira kita juga tidak juga alergi dengan pembangunan, karena tanpa pembangunan itu sendiri, saya juga setuju pembangunan, tanpa pembangunan kita tidak bisa menikmati cara hidup, cara pandang yang lebih bertanggung jawab dalam peningkatan kehidupan manusia, dan memang pembangunan itu sebenarnya pertama-tama adalah sumber daya manusia. Kalau sumber daya manusia itu dibangun dengan kesadaran yang penuh tanggung jawab termasuk tanggung jawab lingkungan, maka ketika kita mewujudkan atau sumber daya yang tersedia itu merencakanan suatu pembangunan, maka pembangunan yang akan diaplikasikan akan berdasarkan pada rasio apa yang saya katakan tadi.

Masalahnya adalah pembangunan ini adalah pembangunan megaproyek yang memiliki suatu rasionalitas yang sangat berbeda dengan kultur yang ada. Dengan perencaan yang ada sendiri sudah memuat benturan-benturan yang berbeda dengan kebudayaan, yang kedua dengan nilai-nilai yang dibawa megaproyek. Dari sisi nilai saja sudah bebeda, apalagi dalam aplikasi. Pembangunan tidak memiliki mitologi, bahkan pembangunan itu mematikan mitologi rakyat .

Sebab pembangunan memang mempunyai rasionalitas, terutama jika kita melihat masa lalu pembangunan muncul pada pasca perang 2 . ( saat itu – ed. ) ketika ada kehancuran maka mereka merancang pembangunan untuk memperbaiki kehidupan. Rasio itu yang dibawa sampai sekarang yang ada pada kita ini. Karena itu pasti nilainya berbeda, karena dia akan merubah nilai tradisional, ke suatu yang modern. Tapi memang mega proyek pasti menggunakan teknologi. Dan teknologi itu sangat rasional, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan rasionalitas dari suatu lingkungan dan kebudayaan setempat. Ini mesti juga menjadi suatu kajian dari sejarah pembangunan itu dan juga kultur dimana lokasi pembangunan itu akan beroperasi.

Saya kira kajian-kajian itu penting sehingga suatu pembangunan tidak akan menghasilkan keterasingan dari komunitas yang lain. Efek dari pembangunan yang menyebabkan keterasingan baik manusia maupun semesta yang ada, mahluk hidup yang ada ddi dalam air itu mesti dipertimbangkan.

Kalau kita memakai bahasa yang sangat sensitif terhadap semesta yang tidak bisa berbicara misalnya wayamasapi, tapi juga masapi itu sendiri, dia tidak bisa bersuara.  Tapi kalau dia mau ditanya “dalam situasi apa yang kau mau hidup, air seperti apa, tempat seperti apa kau mau hidup”? tentu itu dia akan menyampaikan – kalau dia manusia yang bisa bersuara. Tapi kita kan manusia yang diberikan khimat oleh Allah untuk mampu membaca binatang dan tumbuhhan, untuk merumuskan bagaimana mereka tetap hidup bersama dengan kita.

Baca Juga :  MoU Kuatkan Kajian, Penelitian dan Penyebaran Nilai-nilai Perdamaian di Tana Poso

Dalam pembangunan kita tidak hanya memikirkan generasi sekarang yang akan mendapatkan prestise dari dampak pembangunan itu. Tapi kita juga harus berpikir bagi generasi kemudian. Jangan-jangan model pembangunan ini tahap pertama, nanti dalam 20, 30, 40, 50 tahun kemudian akan ada tuntutan-tuntutan lain untuk suatu atas nama pembangunan untuk memelihara turbin.

Coba, berapa yang harus kita korbankan dari komunitas yang ada di danau Poso itu terhadap apa yang ada sekarang ini. Memang kita bersyukur dengan lampu yang ada tapi janganlah seolah-olah kita hidup sekarang ini. Kita perlu juga berpkir untuk apa warisan yang kita wariskan pada generasi selanjutnya. Akhir-akhir ini saya membaca dan terutama di Afrika sekarang setiap orang membutuhkan 10 liter untuk air .  Kalau pohon-pohon di sekitar ini mati karena pengerukan, dia akan bertanya. Seperti manusia stress juga binatang stress,  mereka bisa punah juga. Ini berbahaya.

Ini perlu menjadi bagian kajian. Memang kemarin saya secara kritis mengatakan ini, saya sudah mendengarkan proposal acuan mereka, memang ada 3 tujuan . Pertama untuk pemeliharaan, saya lupa yang kedua tapi yang ketiga memang mendukung program pemerintah. Pemeliharaan ini adalah pemeliharaan turbin. Memang kita bisa mengerti. tapi dimana tujuan pada frekuensi suara-suara yang tidak didengarkan ini? semesta itu tadi. Kalau itu menjadi salah satu tujuan, maka pasti akan ada kolaborasi yang akan memperhitungkan suara yang tidak berbicara itu, artinya lingkungan hidup, semesta yang hidup di sekitar danau Poso itu.

Karena itu jika tujuan suatu pembangunan hanya untuk mendukung suatu prestise tapi lalu mengorbankan yang lain, itu memang pincang. Tapi dimana-mana namanya pembangunan seperti simalakama, tidak dimakan siapapun mati, dimakan mati. Tapi jika dimakan lebih mati. Semua orang kan mati.

Keindahan tidak sekedar datang dari suatu desain rasional manusia, tapi keindahan juga datang dari percikan-percikan hikmat lokal. Nilai-nilai lokal jika ditata sedemikian rupa maka dia akan memberikan sebuah panorama yang artistik kuno. Kapan lagi kita akan melihat rumah kuno, jembatan kuno. Anak cucu kita akan melihat dengan bangga untuk hidup di sekitar danau poso. Itu kultur yang akan hilang nanti.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda