Perempuan Poso dan Musyawarah Desa

0
2008
350 perempuan lulusan Sekolah Perempuan Mosintuwu angkatan 3 menyatakan komitmen untuk mengabdikan pengetahuan, ketrampilan dan akses yang mereka miliki untuk kepentingan masyarakat. Komitmen ini disampaikan dalam Festival Sekolah Perempuan 2015. Foto : Dok. Mosintuwu

“Memang perempuan harus pro aktif, kalau perlu berjuang lebih 2 kali 3 kali lipat untuk bisa didengarkan di desa. Apalagi kalau sudah berkaitan dengan program desa membangun dan anggaran” ungkap ibu Marce, warga Desa Bancea, anggota Sekolah Perempuan Mosintuwu Angkatan 3. Cerita ini disampaikan dalam diskusi bersama di kantor Institut Mosintuwu, Senin, 23/01/2017.

Ibu Marce melanjutkan ceritanya “ Karena itu, saat kami tahu akan ada musyawarah desa, kami semua datang. Iya kami, berbaju pink seragam, tulisan sekolah perempuan Mosintuwu, datang di balai desa, ikut pertemuan dan bicara. Rame dan saling mendukung” Kalau hanya satu orang, menurut ibu Marce, sulit suara perempuan didengarkan. “Biasanya yang banyak perempuan bersuara pun biasanya hanya dicatat tapi tidak sampai menjadi dokumen APBDES, apalagi yang cuma sedikit” sambung Sisen, warga Desa Bo’e , yang juga anggota sekolah perempuan Mosintuwu.

Cerita Marce dan Sisen, menggambarkan sulitnya suara perempuan menjadi bagian dari program pembangunan di desa. Akibatnya, sangat sering program pembangunan di desa berorientasi pada pembangunan infrastruktur atau penyediaan alat material.

Setelah perjuangan bersama kelompok  perempuan di desanya, alhasil Musyawarah Desa memutuskan mengalokasikan dana Rp.2 juta ( dua juta rupiah ) untuk kegiatan perempuan di desa. Dana Rp. 2 juta ini ironis dibandingkan puluhan hingga ratusan juta anggaran desa yang diperuntukkan bagi infrastruktur. “Padahal kegiatan perempuan yang diajukan biasanya fokus pada kesehatan, pendidikan dan pembentukan karakter” demikian Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu meyayangkan.

Dalam konteks itu, meskipun sangat minim dan tidak memberikan dampak, kelompok Perempuan Desa Bancea lebih beruntung dibandingkan desa lain. “Sangat sering kami tidak diundang. Kalaupun diundang hanya sebagian saja. Kalaupun hadir, tidak diberikan kesempatan bicara. Kalaupun bicara, hanya dicatat dan tidak ditindaklanjuti” demikian catatan kelompok perempuan yang ditemui dalam pendampingan Institut Mosintuwu di desa-desa Kabupaten Poso dan Morowali sejak 2014 terkait desa membangun.

Baca Juga :  Irmawati : Cerita Semalam dan Transformasi Kepemimpinan

“Perlu ada langkah strategis yang dibangun oleh kelompok perempuan, tapi juga perlu ada kesadaran dari pihak Pemerintah Desa bahwa mereka tidak bisa tidak melibatkan perempuan dan memasukkan program perempuan dalam desa” sahut Budiman Maliki, Tim Ahli Pendampingan Desa Kabupaten Poso menanggapi cerita keduanya.

“Sebuah partisipasi aktif, bukan soal kehadiran, meskipun itu langkah awal. Partisipasi aktif melibatkan seluruh ide dan konsep yang mempertimbangkan kebutuhan masyarakat” tukas Lian. “ Karena itu langkah awal bentuk partisipasi yang bukan simbolik tapi dibangun dari kesadaran adalah melibatkan kelompok perempuan dalam musyawarah desa, melibatkan dalam penyusunan program dan anggaran, memasukkan program perempuan setara dengan program lainnya di desa dalam RKP dan ada anggaran yang adil gender dalam APBDES” Jika tidak, menurut Lian, Kabupaten Poso masih sangat jauh dari perjuangan kesetaraan dan keadilan dalam pembangunan desa. Hal ini cukup ironis, mengingat Kepala Badan Pemerintahan Desa saat ini dipimpin oleh perempuan.“Women should be proactive, if necessary to fight twice or thrice to be heard in the village. Especially when it is related to village developing programs and budgeting” said Marce, a resident of Bancea village and a student of Mosintuwu’s Women School batch III. This story was narrated in a collected discussion at Mosintuwu Institute’s headquarter, Monday 23/01/2017.

Marce continued her story “That’s why when we know there will be a village meeting, we all come together. Yes, we dress up in a unison pink shirt written Women School of Mosintuwu and we come in the village meeting hall to participate and talk in the meeting. We are full-packed and supportive to one another” If it was just one person, Marce thought it would be hard for the women’s voices to be listened to. “Usually, when a lot of women voice out their opinions, they are noted down but never documented and counted in Village Revenues and Expenditures Budget (APBDes), even more, when there are only a few women” continued Sisen, a resident of Boe village who was also a student of Mosintuwu’s Women School.

Baca Juga :  Sekolah Pembaharu Desa : Kelas Membaharui Desa

Marce ‘s and Sisen’s stories showed the struggle of women’s voices to be part of development programs in a village. As a result, often times, it was oriented to infrastructure development or materials supply.

After a joint struggle with the group of women in her village, Village Meeting decided to allocate Rp 2 million (two million rupiahs) for women’s activities. The two million rupiah was actually ironic in comparison to the tens up to hundreds millions of village budget which were meant to infrastructure “Even though women are suggesting activities that focus on health, education and character building” thus LianGogali, Director of MosintuwuInstitut lamented.

In that context, even if the allocated budget was very minimum and did not give any significant impacts, women’s village group in Bancea were luckier in comparison to others villages. “There are many times we are not invited. Even when we are invited, it is only partial. Even when we attend the meeting, we are not given the chance to talk. Even when the chance is given, it is just noted down and never followed up” hence the note from women’s group who met in a mentoring session conducted by Mosintuwu Institute for villages of Poso and Morowali regency since 2014 related to village developing.

Baca Juga :  Aksi Damai Perempuan Poso untuk Perdamaian dan Keadilan

“There should be a strategic move which is built by a group of women, but also, there should be an awareness of the village government that they cannot disengage women and exclude women’s program in the village” said BudimanMaliki , the Expert Monitoring Team for Villages in Poso Regency, in respond to the both stories.

“An active participation is not about the presence, even though it is the first step. An active participation involving all ideas and concepts that consider the needs of society” said Lian. “Because the first step of participation which is not symbolic but built from a consciousness is to involve women at a village meeting, in the making of programs and budget. It is to insert women’s program equally with others program in the village in Government Working Plan (RKP)  and there is a gender just budget in Village Revenues and Expenditures Budget (APBDes)” If not, according to Lian, Poso Regency was still far away from the fight for equality and justice in village development. It was quite ironic considering the current head of Village Administration led by a woman.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda