Ganti Untung yang Tetap Merugikan

0
2175
Salah satu pagar masapi, teknologi budaya untuk menangkap ikan endemik Danau Poso, Masapi. Foto : Dok. Mosintuwu

“Kita akan diganti rugi oleh perusahaan kalau kita memberikan wayamasapi ini” ujar seorang nelayan pada tim Mosintuwu. Nelayan ini kemudian menyebutkan sejumlah nilai uang dengan bunyi jutaan.

Dalam rencana pengerukan sungai di mulut danau Poso untuk kepentingan pasokan air bagi 2 PLTA milik PT Poso Energy ada karamba ikan dan pagar Sogili milik warga yang jumlahnya mencapai seratusan yang harus dibongkar. Waya Masapi atau pagar Sogili adalah teknik tangkap Sidat khas Danau Poso yang ramah lingkungan dan menjadi salah satu budaya masyarakat pinggiran danau sejak seratusan tahun silam. Dari Waya warisan leluhur inilah banyak generasi di Tentena bisa bersekolah hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula Karamba ikan. Namun rencana pengerukan sepanjang 12 kilometer dan sedalam kurang lebih 4 meter oleh perusahaan milik keluarga wakil presiden Jusuf Kalla ini akan meminggirkan keduanya.

Perusahaan dengan dukungan pemda menawarkan kompensasi sebagai pengganti kerugian kepada pemilik Karamba dan kelompok Waya Masapi. Informasi yang diperoleh dari beberapa nelayan pemilik Karamba nilai ganti rugi atau kompensasi bervariasi. Beberapa orang menyebutkan nilai puluhan juta rupiah untuk satu karamba. Sedangkan satu Waya Masapi dihargai hingga seratusan juta rupiah.

Selain Karamba dan Pagar Sogili, harta masyarakat lain yang juga mendapatkan ganti rugi adalah tanah dan sawah disepanjang alur sungai Poso dari Tentena sampai Saojo. Nilainya juga beragam, mulai dari puluhan juta hingga 1 miliar rupiah. Jika semua pemilik Karamba, Waya Masapi dan pemilik tanah sudah menerima bayaran lalu bagaimana nasib mereka selanjutnya?

Baca Juga :  22 Desember : Memaknai Hari Gerakan Perempuan Indonesia di Poso

Dalam percakapan dengan pemilik Pagar Sogili di area Wali Limbanga kelurahan Petirodongi, mereka menceritakan hampir setiap malam ada Sogili yang berhasil ditangkap dengan berat antara 7 sampai 10 kilogram setiap malam. Kalau beruntung biasanya lebih dari 20 kilogram Dengan harga jual 70 ribu per kilogram maka nelayan mendapat 490 ribu hingga 700 ribu semalam. 

Kita ambil hitungan paling sedikit, yakni mendapat 7 kilogram Sogili setiap malam dengan harga 70 ribu per kilogram, maka dalam sepekan bisa menghasilkan Rp 3.430.000. Lalu dibahagi dengan giliran menjaga Pagar satu malam per orang dalam sepakan, maka dalam sebulan, setiap orang mendapatkan giliran 4 kali. Jika setiap kali jaga mendapatkan 7 kilogram maka dalam sebulan pendapatannya sebesar Rp 1.960.000, dalam setahun menjadi Rp 23.520.000.

Jika satu Waya Masapi dimiliki bersama oleh 7 orang dihargai 120 juta, lalu dibagi rata, maka satu orang mendapat Rp 17.142.857 ini hanya setara penghasilan selama kurang lebih 8 bulan saja. Lalu setelah pembayaran itu, para nelayan harus mencari sumber penghasilan baru. Bukan hanya hilang penghasilan, tradisi budaya warisan leluhur juga lenyap hanya dalam sehari seiring dibelanjakannya uang kompensasi untuk membeli motor dan barang konsumtif lainnya.

Lalu bagaimana dengan Karamba? hampir sama saja dengan Waya Masapi, meskipun dikatakan setelah proses pengerukan warga masih bisa membuatnya kembali. Namun belum ada jaminan kalau itu akan dibolehkan, sebab ada wacana untuk membuat tembok disepanjang alur 12 kilometer setelah pengerukan itu. Belum lagi penambahan kedalaman hingga 4 meter membuat kayu pancang untuk karamba sulit diperoleh.

Baca Juga :  Hari (Gerakan) Perempuan Indonesia: Kritik terhadap Hari Ibu

Wacana ganti untung kini muncul seiring proyek-proyek infrastruktur jalan tol oleh rezim Jokowi. Dalam pembebasan tanah, banyak pemilik kebun disepanjang aliran sungai Poso yang dilewati proyek ini juga melepaskan tanahnya dengan harga yang menurut pemiliknya sudah menguntungkan. Sayangnya tidak begitu. Ada kebun yang dilepas dengan harga 100 juta rupiah tanpa menghitung nilai tanaman yang ada di dalamnya.

Jika prinsip ganti untung diterapkan, maka tanah dan isinya haruslah masuk dalam perhitungan. Sebab setelah dilepaskan, tanah itu bukan milik kita lagi untuk selamanya, artinya satu sumber kehidupan untuk generasi datang juga hilang.

Dalam UU no 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah  bagi pembangunan untuk kepentingan umum pada pasal 2 menyebutkan 10 prinsip pengadaan tanah untuk kepentingan umum, diantaranya, Kemanusiaan, keadilan, keterbukaan, kesepakatan dan kesejahteraan.

Ketua Adat kelurahan Pamona, Christian Bontinge, memberikan perhitungan ganti untung yang masuk akal. Menurut dia warga harus mempertahankan tanah kebunnya dengan harga wajar. Apa yang dimaksud wajar? Selain tanah, yang harus dihitung adalah penghasilan dari tanah itu hingga 10 tahun kedepan.

Misalnya jika ada 100 pohon kakao didalam kebun, maka harus dihitung penghasilannya selama 10 tahun. Misalkan satu kali panen setiap 2 pekan didapatkan 20 kilogram biji kakao kering dengan harga jual Rp 27.000/kg. maka setiap kali panen didapatkan Rp 540.000, sebulan kebun itu menghasilkan Rp 1.080.000, dalam setahun menghasilkan Rp 12.960.000 dan 10 tahun menghasilkan Rp 129.600.000. Seharusnya nilai tanah yang 100 juta itu ditambahkan dengan nilai panen selama 10 tahun kedepan sehingga pemilik kebun mendapatkan pembayaran nilai tanah dan nilai panen selama 10 tahun.

Baca Juga :  Keanekaragaman Hayati Poso dalam Ancaman Manusia

Penggantian dengan nilai ini wajar untuk pemilik tanah karena mereka sudah kehilangan sumber penghidupannya. Sebab yang pasti harga tanah tidak pernah turun dan tanah juga tidak pernah bertambah lebar. Harga yang dibayarkan hari ini jika dihitung dimasa datang nilainya akan terasa kecil.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ganti rugi artinya uang yang diberikan sebagai pengganti kerugian atau pampasan. Dalam banyak peraturan pemerintah seperti UU no 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum misalnya, prinsip ini yang dipakai. Namun protes selalu mengiringi karena biasanya pembayaran lahan tidak sesuai atau rendah. Lalu pemerintah memunculkan istilah baru, Ganti Untung.

Istilah Ganti untung ternyata bukanlah istilah resmi dan belum ada aturan yang memayungi prinsip ini. Namun dia muncul karena realitas politik dimana masyarakat yang kehilangan hartanya berupa tanah tidak boleh rugi akibat pembangunan.

Dalam buku Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang terbit tahun 2017, Dr. Sugianto dan Leliya menekankan bahwa ganti rugi adalah sistem yang memberikan keuntungan kepada warga. Jadi ganti untung sebenarnya sama saja dengan ganti rugi karena istilah ini muncul dari cara berhitung ganti kerugian.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda