Konferensi Sekolah Perempuan : Langkah Baru Peran Perempuan Poso

0
1715

“Kasur, sumur, dan dapur” tiga kata ini dianggap melekat kepada perempuan bahkan sering dianggap sebagai kodrat perempuan. Namun ketiga istilah ini tidak lagi berlaku bagi ibu-ibu Sekolah Perempuan Mosintuwu. Setidaknya hal ini tergambar pada tanggal 3 Juni 2013 ketika kurang lebih 150 ibu-ibu Sekolah Perempuan dari 24 desa, beragama Islam, Kristen, dan Hindu berkumpul bersama merencanakan program-program besar mereka.

Pukul 9 pagi, di jalan masuk menuju sebuah bangunan unik di tepi Danau Poso, nampak beberapa rombongan ibu Sekolah Perempuan turun dari dua truk dan beberapa mobil membawa beberapa tas besar dan beberapa peralatan tidur. Beberapa datang dengan anak-anak. Jalan sempit menuju bangunan yang keseluruhannya terbuat dari bambu ini tidak menghalangi mereka untuk menyempatkan diri saling bercanda dan menyapa satu sama lain.

Setelah beristirahat sejenak, kegiatan yang diselenggarakan di kantor baru Mosintuwu ini dimulai dengan lagu Perempuan Poso. “Maju Perempuan Poso, janganlah ragu-ragu; capai cita-citamu; memimpin masyarakat , mengambil keputusan; bersama menuju kemakmuran” Lirik lagu yang dibuat oleh ibu Herni, anggota Sekolah Perempuan Angkatan I ini memulai semangat para anggota Sekolah Perempuan Angkatan I dan II.

Peserta konferensi Sekolah Perempuan bertambah semangat ketika Lian Gogali, pendiri Sekolah Perempuan Mosintuwu mengajak beberapa ibu-ibu untuk merefleksikan capaian mereka setelah mengikuti Sekolah Perempuan. Ibu Yanti dari Angkatan I dan Ibu Sarna dari Angkatan II mewakili komitmen anggota Sekolah Perempuan terlibat dalam politik praktis dengan mencalonkan diri menjadi salah satu calon anggota legislative. Ibu Atin dan ibu Hasna dari Angkatan I serta ibu Hasna Limbang dari Angkatan II menjadi contoh keberhasilan anggota Sekolah Perempuan memperjuangkan perekonomian masyarakat. Ibu Lina dan ibu Asni dari Angkatan I serta ibu Evi dari Angkatan II menjadi figure anggota Sekolah Perempuan yang sanggup melakukan advokasi terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lian mengajak ibu Martince dari Sekolah Perempuan Angkatan I dan ibu Nengah dari Angkatan II berbicara mengenai bagaimana mereka berhasil mengurai rasa takut dan curiga terhadap agama lain setelah mengikuti Sekolah Perempuan.

Bukan hanya 10 anggota Sekolah Perempuan tersebut yang diajak untuk berefleksi. Seluruh peserta konferensi Sekolah Perempuan diajak berdiri untuk menggambarkan bahwa pertemuan hari itu bisa terjadi pertama-tama karena seluruh anggota Sekolah Perempuan telah bekerja bersama-sama membangun kepercayaan, telah bergandengan tangan selama setahun (dua tahun untuk angkatan I) menunjukkan bahwa perdamaian di Poso telah dimulai dari perempuan. Semua anggota Sekolah Perempuan telah bersama-sama melakukan aksi damai menolak kekerasan di pusat kota Poso; melakukan aksi jalan dan aksi menari di jalanan untuk menolak kekerasan terhadap perempuan; mengikuti pertemuan-pertemuan penting di desa, kecamatan dan kabupaten. Bahkan, beberapa kali para anggota Sekolah Perempuan telah berperan aktif dalam mencegah konflik kekerasan meluas melalui pesan singkat di telepon, atau melalui telepon.

Baca Juga :  Lokakarya Guru-Guru Agama Poso : Bentuk Siswa ToleranTraining of Religious Teacher in Poso

Kebahagiaan telah mengikuti Sekolah Perempuan tidak berhenti sampai disitu. Konferensi Sekolah Perempuan kemudian menghasilkan kesepakatan mengenai program yang akan dilaksanakan oleh anggota Organisasi Perempuan Poso di enam wilayah utama, yaitu Poso Pesisir Utara, Poso Pesisir Selatan, Poso Kota Bersaudara, Lage bagian Timur , Lage bagian Selatan, dan Pamona. Membangun ekonomi komunitas melalui kebun organik merupakan salah satu langkah awal anggota Sekolah Perempuan bekerja bersama-sama. Sementara itu disepakati juga dibangunnya Posko pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di 6 wilayah utama Sekolah Perempuan. Sementara itu, merespon Pemilu 2014 dan Pilkada tahun 2015 , dibuat komitment bersama untuk memperjuangkan isu perempuan dan anak dalam kebijakan pembangunan sekaligus mendukung penuh perempuan mengambil posisi strategis dalam pembangunan di Poso.

Konferensi yang baru pertama kali ini diadakan oleh Sekolah Perempuan ini diakhiri dengan acara api unggun. Tawa lepas tak henti-hentinya mewarnai acara yang baru berakhir pada pukul 1 pagi hari. Masing-masing wilayah menampilkan atraksi seni dan budaya yang mengundang tawa. Peristiwa bom bunuh diri di Kota Poso hari itu tidak lagi dianggap penting oleh ibu-ibu yang seluruhnya adalah korban konflik Poso. Bagi mereka kebersamaan yang mereka capai, melintasi rasa curiga, trauma dan dendam adalah hal yang bermakna bagi kehidupan mereka. Sebaliknya, keesokan harinya , ibu-ibu ini kembali turun ke jalan melakukan aksi menolak semua bentuk kekerasan di Kabupaten Poso. Sekali lagi mereka menunjukkan pikiran dan tindakan mereka melampaui kata kasur, sumur dan dapur. Mereka, anggota Sekolah Perempuan.
________________________________________
Mattresses, wells and kitchens” – these three words are closely associated with women and are often even seen as being intrinsically linked to women. However, the third term no longer applies to the women at Mosintuwu Women’s School. At least, this is evident on 3 June 2013 when approximately 150 women from the Women’s School, from 24 villages and of Muslim, Christian and Hindu faiths, gather together to plan their ambitious programs.

Baca Juga :  Dokumen Warisan Geologi Danau Poso, Jalan Panjang Menuju Taman Bumi

At 9 am, at the entrance to a unique building on the shores of Lake Poso, groups of women from the Women’s School can be seen alighting from trucks and cars, carrying big bags and overnight gear. A few bring children with them. The narrow street leading to the building, which is made entirely from bamboo, doesn’t deter them from using the time to greet each other and joke around. After a short rest, the activities at the new Mosintuwu office begin with a Poso women’s song. “Advance Poso women, do not hesitate, achieve your ideals, lead society, make decisions, towards prosperity together”. The song’s lyrics were written by Ibu Herni, a Women’s School member from Intake I, igniting the enthusiasm of members of the Women’s School Intake I and II.

The enthusiasm of the participants at the Women’s School conference increases when Lian Gogali, founder of the Mosintuwu Women’s School, invites some women to reflect on their achievements after joining the Women’s School. Ibu Yanti from Intake I and Ibu Sarna from Intake II represent the commitment of Women’s School members involved in practical politics with their nominations as candidates for the legislature. Ibu Atin and Ibu Hasna from Intake I and Ibu Hasna Limbang from Intake II are examples of the success of Women’s School members fighting in for the community’s economy. Ibu Lina and Ibu Asni from Intake I and Ibu Evi from Intake II are Women’s School members who provide advocacy in cases of violence towards women and children. Lian invites Ibu Martince from the Women’s School Intake I and Ibu Nengah from Intake II to speak about how they succeeded in breaking down fear and suspicion of other religions after joining the Women’s School.

It’s not only these ten Women’s School members who are invited to reflect. All Women’s School conference participants are invited to stand to illustrate that today’s meeting is able to occur in the first place because all the Women’s School members have worked together to build trust, hand-in-hand for a year (two years for Intake I), showing that peace is Poso has been initiated by women. All members of the Women’s School have conducted peaceful protests together against violence in the city of Poso; marched and danced in the streets against violence towards women; joined important meetings in villages, sub-districts and regencies. In fact, Women’s School members have several times had an active role in preventing violent conflicts spreading via SMS or phone.

Baca Juga :  Dulu Tak Berani Melintas, Kini Saling MenginapThe Story of Women in Post Conflict Zone

By now, there’s a good atmosphere at the Women’s School but it doesn’t stop there. The Women’s School conference then reach an agreement about a program to be implemented by Poso Women’s Organisation members in 6 main areas – Poso North Coast, Poso South Coast, Poso City, Eastern Lage, Southern Lage, and Pamona. Developing an economic community through an organic garden is one of the first steps taken by Women’s School members together. The construction of posts for advocacy in cases of violence against women and children in 6 main areas of the women’s school is also agreed. Responding to the 2014 general elections and the 2015 local elections, a commitment is made together to fight for women and children’s issues in policy development as well as fully supporting women taking strategic positions in development in Poso.

This new conference, held for the first time by the Women’s School, concludes with a bonfire. Uninterrupted laughter colours the event, which has just ended at 1 in the morning. Each area shows art and cultural attractions, attracting more laughter. Suicide bombings in Poso that day are no longer seen as important by women who are all victims of the conflict in Poso. For them, the solidarity that they’ve achieved, overcoming feelings of suspicion, trauma and revenge, is what’s meaningful in their lives. The next day, the women take to the road again to protest against all forms of violence in Poso Regency. Once again, they demonstrate their thoughts and actions go well beyond “mattresses, wells and kitchens”. They are members of the Women’s School.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda