Hoegeng Award 2025 untuk Velmariri, Paralegal Mosintuwu

0
83
Velmariri Bambari, koordinator Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak Mosintuwu, menerima penghargaan Hoegeng Awards kategori Tokoh Mitra Penegakan Hukum Kaum Rentan. Foto : Dok. Mosintuwu

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden RI ke-4 pernah berkelakar, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur dan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso.

Kelakar Gus Dur menjadi salah satu yang melatarbelakangi Hoegeng Awards. Selain itu tagar “percuma lapor polisi” dan “satu hari satu oknum” menjadi alasan lain yang melatarbelakangi munculnya Hoegeng Awards.

Hoegeng adalah Kapolri dari tahun 1968 hingga 1971 yang dikenal sebagai pejabat polisi yang paling berani dan jujur, khususnya saat mayoritas pejabat pemerintah melakukan banyak korupsi. Mantan Komandan Tentara Laut Jawa Tengah itu terkenal karena tindakan dan upayanya yang terus menerus dalam memberantas korupsi dan permainan kekuasaan dalam kepolisian Indonesia serta mendorong peradilan pidana yang setara.

Velmariri Bambari, koordinator Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak Institut Mosintuwu mendapatkan penghargaan di Hoegeng Awards 2025 untuk kategori Tokoh Mitra Bhayangkara Penegakan Hukum Kaum Rentan, 16 Juli 2025 di Jakarta.

Lulus SMK Poso, Velma melanjutkan pendidikan informal dengan mengikuti kelas Sekolah Perempuan Mosintuwu angkatan 3 tahun 2015- 2016. Lulus dari Sekolah Perempuan, tahun 2016 Velma bergabung dengan tim Pembaharu Desa yang dibentuk oleh para lulusan Sekolah Perempuan Mosintuwu untuk mengabdi pada masyarakat. Dari 5 bidang tim Pembaharu Desa, Velma memilih bidang Rumah Aman Perempuan dan Anak. Setelah mengikuti serangkaian training di Institut Mosintuwu, sejak 2018 Velma aktif menjadi paralegal mendampingi kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak di desa-desa yang tersebar di Lembah Bada.

Keputusan Velma untuk menaruh perhatian dan mengabdikan dirinya untuk mendampingi korban kekerasan dilatarbelakangi kondisi di lingkungan sekitarnya. Di lingkungannya, anak-anak termasuk remaja seringkali mengalami kekerasan fisik dan psikis dalam keluarga , juga kekerasan seksual.

Baca Juga :  Workshop Dongeng dan Dongeng Damai dalam Gambar di Festival Dongeng

Korban Menjadi Korban Lagi

Di lingkungannya di Kecamatan Lore Selatan, dimana Velma tinggal, sangat sering kasus kekerasan, terutama kekerasan seksual tidak dibicarakan secara terbuka karena dianggap aib bagi keluarga. Banyak keluarga korban terpaksa memilih untuk menyelesaikan secara adat atau menutupinya.

“Kasihan anak-anak yang sering alami kekerasan. Dulu saya tidak tau apa dampaknya bagi kehidupan mereka saat dewasa, tapi saya belajar di kelas sekolah perempuan bahwa mereka bisa mengalami trauma yang sangat dalam. Lalu saya membayangkan bagaimana itu jika terjadi pada saya sewaktu kecil atau jika terjadi pada anak saya. Itu sebabnya saya ingin menyelamatkan masa depan mereka” ujarnya.

Mata Velma sedikit berkaca-kaca, beberapa kali berhenti berusaha menjelaskan apa maksud dan pikirannya.

“Mungkin bukan menyelamatkan mereka, tapi setidaknya membantu mereka tidak sendirian” ralatnya

Berulangnya kasus kekerasan seksual di lingkungannya diperparah dengan pilihan penyelesaian kasus yang seringkali diselesaikan secara adat. Dalam hukum adat yang berlaku, sanksi adat yang seringkali diistilahkan “cuci kampung” diberlakukan bukan hanya pada pelaku tapi juga pada korban, termasuk korban anak. Dalam sistem ini, korban dan pelaku sama-sama dianggap bersalah.

“Ini sangat jelas, mereka sudah korban, lalu dikorbankan lagi”

Velma kemudian aktif bekerjasama dengan tetua adat mendorong agar penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak menggunakan hukum adat, melainkan hukum positif.

Baca Juga :  Telusuri Jejak Geologi Danau Poso, Menuju Warisan Geologi Danau Poso

Tangkapan layar, pemberian penghargaan Hoegeng Awards 2025 Kategori Tokoh Mitra Penegakan Hukum Kaum Rentan kepada Velmariri Bambari, koordinator RPPA Mosintuwu.
Hingga saat ini, tercatat Velma telah aktif mendampingi 13 kasus kekerasan seksual pada anak dan 4 kasus KDRT, dengan maksimal hukuman penjara yang pernah dijatuhkan pengadilan kepada pelaku, 14 tahun penjara. Tantangan yang dihadapinya bukan hanya dari sistem peradilan adat yang cenderung menguntungkan pelaku. Dalam beberapa kasus dia harus terus mendesak aparat kepolisian untuk serius.

Dia mencontohkan sebuah kasus kekerasan seksual yang dialami seorang anak pada tahun 2022. Saat itu, proses penangkapan terhadap pelaku berjalan lamban.

“Padahal bukankah polisi itu ada dimana-mana diseluruh Indonesia? jadi menurut saya itu tidak masuk akal”

Sering Mendapat Tekanan

Sikap Velma yang sangat keras untuk membawa setiap kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak ke pengadilan membuatnya harus menghadapi berbagai tekanan. Paling sering dia menghadapi tekanan keluarga pelaku dan oknum di lembaga adat.

Salah satu kasus kekerasan seksual yang ditangani Velma membuat dia harus berhadapan dengan lembaga adat. Peristiwa itu terjadi di tahun 2019 ketika dia baru saja mendampingi korban dan keluarganya yang mengalami kekerasan seksual.
Dua hari setelah diskusi dengan keluarga korban, dia mendapat panggilan dari dewan adat dengan tuduhan tidak main-main. Tidak menghargai Dewan Adat. Beberapa orang di lembaga itu berusaha menekan dia dengan mengatakan bahwa anak yang menjadi korban itu memberi keterangan yang tidak benar. Dia kemudian meminta dewan adat menghadirkan keluarga korban untuk mendengarkan secara langsung dari mereka.

“Kalau hukum adat berpihak kepada korban. saya ikut. Tapi kalau tidak, saya akan bawa ke kepolisian”katanya tegas dihadapan dewan adat.

Baca Juga :  Mo mPadungku

Upayanya yang kuat untuk mengubah perspektif dewan adat di lembah Bada dalam menyikapi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak membuahkan hasil. Musyawarah adat wilayah lembah Bada kemudian memutuskan, setiap kasus kekerasan seksual terhadap anak harus diselesaikan secara hukum positif.
Namun kekerasan terhadap perempuan, masih bisa dibicarakan dilembaga adat.

Membangun Sistem Pendampingan Berbasis Komunitas

Ilustrasi : Project M/Inez Kriya – di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0 .
Diambil dari artikel Project Multatuli dibawah judul : Mendobrak Sirkel Sendiri: Saat Penyintas Melaporkan Kekerasan Seksual di NGO

Di Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA), Institut Mosintuwu mendorong konsep pendampingan kasus kekerasan berbasis komunitas. Konsep ini mendorong lingkaran rumah perlindungan korban dengan keterlibatan aktif ekosistem di sekitar korban.

Mengaktifkan konsep lingkaran rumah perlindungan merupakan langkah untuk melibatkan seluruh pihak di sekitar korban, yaitu keluarga, sekolah atau kampus, tetangga korban, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama yang ada di lingkaran korban. Mereka diajak untuk menjadi bagian dari proses perlindungan pada korban dengan membangun kesadaran kritis dan perspektif adil gender pada korban . Konsep lingkar perlindungan ini bukan hanya mencegah korban mengalami kekerasan berlapis, seperti disalahkan dan didiskriminasi, namun juga mendorong pemikiran kritis agar lingkar kekerasan terhadap perempuan dan anak terputus di lingkungan tersebut. Konsep ini lahir sebagai sebuah konsep kerjasama komunitas akar rumput untuk bersama-sama memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Penghargaan di Hoegeng Awards 2025 yang diberikan kepada Velma adalah sebuah pengakuan tentang pentingnya keterlibatan aktif komunitas masyarakat mendorong keadilan dan penegakan hukum kaum rentan. Individu seperti Velma dan paralegal lainnya di Kabupaten Poso dan daerah lain di Indonesia.

Bagikan
Artikel SebelumnyaMengenalkan Pelajar Poso Kekayaan Danau Poso dan Keragaman Hayati
Website ini dikelola oleh Institut Mosintuwu, organisasi masyarakat akar rumput yang bekerja bersama komunitas khususnya perempuan, anak, anak muda, tetua adat untuk mencapai kedaulatan rakyat.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda