Hidup Baru Bersama Semesta Lewat Permakultur

0
430
Training permakultur bagi petani desa di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

“Kita sedang menghadapi krisis. Ada yang menyebutnya krisis pangan, krisis iklim. Kita menyebutnya krisis sosial ekologi.  Menghadapinya, kita bisa mulai dengan apa yang kita punya, yaitu pangan” ujar Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu memulai percakapan dengan 15 petani di Dodoha Mosintuwu, Selasa 8 November 2023.  Para petani dari 8 desa di Kabupaten Poso ini sedang belajar kembali bertani dengan mengenal konsep permakultur dengan menghadirkan Sayu Komang,  orang yang mendedikasikan dirinya mengembangkan sistem ini.

Isu perubahan iklim yang mengubah pola konsumsi manusia serta membuat harga bahan pangan seperti beras mulai mahal membuka materi training. Kemahalan harga dikarenakan keterbatasan bukan saja pasokan, tapi juga jenis yang ditawarkan. Coba jalan-jalan ke pasar tradisional. Jenis sayur yang dipajang pasti sawi, kol, wortel, kentang dan beberapa jenis lain yang ditanam secara massal. Di beberapa pasar seperti di Tentena, Kecamatan Pamona Puselemba, kita masih sedikit beruntung melihat ada pakis dan daun ubi, sesekali jamur hutan di atas lapak.

Terbatasnya jenis sayur di pasar juga tidak tiba-tiba. Revolusi hijau diawal 1970-an dengan sokongan Kapitalisme yang bikin itu terjadi. Mengubah orientasi bertani orang tua kita yang sebelumnya merawat alam dan mengambil secukupnya menjadi untuk hasil sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya. Caranya, merangsang panen dengan sebanyak-banyaknya pupuk kimia. Tidak cukup dengan aneka pupuk kimia, ditambahi juga dengan beragam cairan untuk membunuh hewan-hewan kecil dengan melabelinya sebagai hama dengan beragam racun. Padahal sebagian besar hewan kecil itu berperan membantu kesuburan tanah dan turut menjaga keseimbangan ekosistem. Contohnya serangga tanah yang memperkaya nutrisi dan mineral yang dibutuhkan tanaman. Begitu juga tawon yang berperan penting memberantas parasit yang menyerang tanaman.

Training permakultur bagi petani desa di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Lewat penguasaan sistem distribusi yang menjangkau petani hingga pelosok terjauh, kolaborasi korporasi internasional dengan negara menjajakan bibit se paket dengan aneka pupuk kimia, pestisida dan herbisida. Jika petani tidak beli salah satunya, gagal panen mengintai. Begitulah cara bertani kita diubah, dan sejak itu apa yang mau kita tanam ditentukan para pemilik modal raksasa itu. Sistem ini memang bikin panen meningkat, tapi sejak itu pula kerusakan tanah berlangsung dan mengancam keberlangsungan pangan kita hari ini.

Permakultur berangkat dari pemikiran Bill Mollison “bekerjalah dengan alam, bukan melawannya”. Manusia berperan sebagai desainer untuk kehidupannya sendiri dan memiliki tanggung jawab terhadap masa depannya dan bumi. Prinsip utamanya adalah bertanggung jawab akan eksistensi manusia dan keturunannya, termasuk menjaga keberlangsungan puspa, satwa, dan makhluk hidup lainnya. Prinsip-prinsip permakultur yang mengajak hidup bersahabat dengan alam berbeda dengan sistem pertanian umumnya yang lebih berorientasi hasil dengan bertumpu pada penggunaan bahan-bahan kimia dan pengolahan tanah yang tidak ramah alam yang muncul sejak Revolusi Hijau yang jadi dasar kebijakan pemerintah pertanian pemerintah.

Baca Juga :  Petani Poso Dibunuh, Dari Cap Banpol Sampai Salah Tembak

Bukan sekedar teknik. Permakultur adalah laku hidup, bukan pola pikir. Karena itu dia punya etika, yakni Care for people (peduli sesama) ini bisa diartikan sebagai praktek berbagi dengan sesama, Care for earth (bertani dengan cara berkelanjutan) dan Justice for All (bagaimana cara hidup bertani yang menitikberatkan pada cara bertani yang berkeadilan terhadap lingkungan dan masa depan)

Training permakultur bagi petani desa di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Lian

Kerusakan tanah

Kerusakan tanah akibat pupuk kimia berlebihan dikonfirmasi oleh penelitian guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Iswandi Anas Chaniago mengatakan, 72 persen tanah pertanian di Indonesia sudah sakit, kekurangan kandungan organik. Dalam webinar Menjawab Tantangan Peningkatan Produksi Padi dan Jagung Nasional dengan Pemupukan Berimbang, Sabtu 28 Mei 2022, Profesor Iswandi Anas Chaniago menjelaskan, hingga 1960-an, kadar bahan organik tanah di Indonesia masih baik. Akan tetapi tahun 1970-an, sebagian besar kadar organik tanah hanya kurang dari 1 persen, bahkan pada 2010 semakin rendah dan tidak gembur lagi.

Di Poso, nyaris tidak ada lagi petani yang mengandalkan kesuburan tanah. “Coba pupuk ini. Ini andalanku tanam jagung”,tawar seorang petani ketika mendengar tetangganya hendak menanami lahannya.

“Kalau tidak pake pupuk sama saja pulang pokok, tidak ada hasil”ujar seorang petani sawah di Desa Meko, kecamatan Pamona Barat. “Kami di sini pastikan pupuk dulu baru menanam pak”lanjutnya ketika ditanya kapan akan menanami sawahnya.

Urea, TSP dan beragam jenis pupuk lainnya bahkan sudah menjadi faktor utama petani merencanakan kehidupannya. Mulai dari rencana menyekolahkan anak, membangun rumah, menabung hingga jenis handphone yang akan dibeli. Ketika pupuk-pupuk yang disubsidi dan terbatas jumlahnya itu menghilang karena dimainkan pihak tertentu,rencana-rencana itu buyar. Sayangnya jarang yang menyiapkan diri untuk menghadapi kesulitan itu, termasuk tidak menanam tanaman pangan sehari-hari untuk antisipasi bila panen gagal.

Besarnya potensi gagal panen dilahan tidak subur karena tidak adanya pupuk jelas tergambar dari data kebutuhan pupuk Indonesia yang tahun ini yang menyentuh 13,5 juta ton, sedangkan kemampuan produksi pupuk kita hanya 3,5 juta ton/tahun. Ini juga sebabnya yang bikin banyak petani harus mengeluarkan tambahan uang untuk mendapatkan pupuk non subsidi yang jauh lebih mahal.

Training permakultur bagi petani desa di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Menanam Apa yang Dibutuhkan

Tanah yang semakin tidak subur harus dipulihkan. Sayu menceritakan, memulihkan tanah bukan pekerjaan instan, diperlukan tindakan dan kesabaran. Dia mengajak para petani tidak langsung tergiur menanam sebanyak-banyaknya dilahan yang tersedia.

“Tanam apa yang dibutuhkan, yang dimakan terlebih dahulu. Kelebihannya baru dijual”,kata Sayu. Dia mengajak hidup sederhana dan melihat kondisi sosial di sekitar kita. Inilah salah satu prinsip hidup yang diajarkan dalam sistem Permakultur, Sebuah konsep bertani yang menyesuaikan dengan kondisi alam, bukan mengubah alam.

Bill Mollison yang mencetuskan konsep ini menekankan bahwa, manusia bertanggungjawab terhadap masa depannya dan bumi. Sederhananya, dalam pertanian permakultur adalah cara bertani atau beternak yang menjaga dan memperbaiki kualitas alam. Sehingga hidup sederhana dan selaras dengan alam jadi kunci.

Baca Juga :  Sekolah Perempuan : Gelora Berkarya untuk Damai dan Adil di Poso

“Masalahnya, kita petani ini, selalu ingin menanam sebanyak-banyaknya dalam sekali tanam”kata Mojito mengenai tujuan menanam yang pertama-tama untuk menjual hasil panennya. Cara sepertinya ini menurut Sayu, akhirnya jadi masalah karena menjebak petani untuk menanam satu jenis tanaman saja. Lalu ketika harga anjlok saat panen maka bukan  hanya kerugian ekonomi yang didapatkan, kerugian lainnya yang menyusul, tanah bermasalah. “Sebab tanah memerlukan rotasi”kata Sayu. Dia mengingatkan, Permakultur bukan tentang teknik bertani tapi tentang filosofi hidup secukupnya.

“Apa yang sudah kita ambil (dari alam) harus kita kembalikan”katanya. Yang kita kembalikan adalah kelestarian dan keharmonisan alam, sehingga nanti masih layak untuk ditinggali generasi berikutnya.

Training permakultur bagi petani desa di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Pian

Pentingnya Modal Sosial

Hari pertama training, peserta tidak langsung diajarkan bagaimana bertani yang baik. Tapi terlebih dahulu membaca apa yang ada disekitarnya, bagaimana kondisi sosial disekelilingnya dengan menyusun analisis SWOT. Ada 3 faktor yang dianalisis, yakni kondisi sosial, lingkungan dan ekonomi.

“Saling membantu masih ada didalam kehidupan kami. Kalau ada pesta masih gotong royong, begitu juga berkebun mesikipun sudah semakin jarang”kata Itje Potowe peserta dari kelurahan Tentena, Pamona Puselemba. Sedangkan pak Mojito, petani dari desa Pinedapa, Kecamatan Poso Pesisir menyebut hubungan sesama masyarakat desa masih sangat akrab. Problem besar justru ada di bagian lingkungan, berkaitan dengan kondisi tanah yang semakin bergantung pupuk kimia dan banyaknya balita yang mengalami stunting. Masalah lingkungan merembet ke kondisi ekonomi.

“Hasil panen berkurang, akibatnya lapangan kerja juga berkurang”kata Dewi, peserta dari Desa Tindoli, kecamatan Pamona Tenggara. Kondisi ini membuat hasrat generasi muda menjadi petani susut, mereka meninggalkan kampung dan tanahnya untuk jadi buruh di Kota atau di pabrik-pabrik tambang. Itu sebab mengapa jumlah petani usia muda terus menerus berkurang dan tanah ditinggal atau dijual. Pemenuhan kebutuhan pokok lalu diserahkan pada pasar.

“Apa yang dijual mas-mas, itu yang kami masak” sahut Alce, petani dari Didiri mengenai sumber makanan sehari-hari yang mereka siapkan untuk keluarga. Hampir tidak ada yang menjelaskan apa yang mereka hasilkan sendiri dan mengapa tidak menanam sendiri bahkan untuk sayuran.

Ketergantungan pangan dari luar, terutama sayuran adalah bukti makin lemahnya kemampuan memproduksi makanan secara mandiri. Salah satu sebabnya, kurangnya perhatian pada penyediaan bibit. Hilangnya bibit padi endemik Poso misalnya, adalah manajemen bibit yang keliru dimasa lalu.

“Sebaiknya setiap desa punya bank benih setidaknya perpustakaan benih.Kampanye ini harus digencarkan supaya bukan hanya perusahaan yang terus menerus kampanyekan benih mereka”kata Sayu. Semakin banyaknya bibit-bibit hasil rakayasa genetik produksi perusahaan-perusahaan raksasa yang memberi syarat penggunaan pupuk tertentu atas produk bibit mereka adalah masalah yang akan terus menjadikan petani tidak mandiri.

Baca Juga :  Pasar Organik : Warisan Leluhur Kita

“Itu sebab sekarang benih yang ditanam adalah benih yang tersedia di toko. Sebaliknya benih-benih lain hilang karena petani juga sudah hampir tidak mempertahankan benihnya. Misalnya beberapa benih kecipir lokal, labu-labuan dan cabe”katanya lagi.

Training permakultur bagi petani desa di Dodoha Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Permakultur Adalah Keseimbangan Hidup

Keseimbangan hidup. “Ini adalah kunci” kata perempuan yang sering menyebut dirinya petani keliling ini. Menurutnya, konsep permakultur sebagai pendekatan untuk mewujudkan masyarakat tangguh dalam tiga dimensi, lingkungan, sosial dan ekonomi.

“Sebenarnya ini adalah sebuah filsafat dan budaya kehidupan yang memang selaras dengan alam semesta”,lanjut Sayu. Lewat jalan ini manusia diajak membuat perencanaan, rancangan kehidupan yang berkelanjutan. Sayangnya banyak yang hanya melihatnya sebagai sebuah sistem pertanian saja.

Menyusun perencanaan dan rancangan menjadi salah satu tahapan penting dalam sistem ini. Perencanaannya disandarkan pada etika, pertama, peduli terhadap bumi, yang berarti semua tindakan bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan seperti tanah dan ekosistem sekitar. Kedua peduli sesama atau lingkungan sekitar, tujuannya menyiapkan masa depan yang sehat dan aman bagi semua. ketiga peduli masa depan, apa yang dilakukan saat ini akan berdampak pada generasi di masa depan.

Tentang prinsip ketiga, kita diminta memikirkan tanah seperti apa yang kita wariskan ke generasi yang hidup 100 tahun kedepan. Itu sebab, mengerjakan lahan dilakukan dengan menggunakan sebanyak-banyaknya sumber-sumber lokal, mengutamakan tetangga dan komunitas dalam pembagian hasil. Tetapi ini bukan hanya soal tanah dan tanaman, ini menyangkut pola hidup sederhana yang sesedikit mungkin menghasilkan sampah dan sebisa mungkin mendaur ulang.

Tiga prinsip warisan leluhur ini bisa dikatakan hilang dari praktek hidup sehari-hari yang ditunjukkan dalam cara bertani. Hilangnya Mesale, budaya saling bantu masyarakat Poso sudah menjadi perbincangan serius belakangan ini. Semua masgul. Tapi kegelisahan itu berhenti di perasaan. Belum melahirkan tindakan nyata untuk mengembalikan Mesale di hidupnya.

Seperti kata Robi Navicula di lirik lagunya, Metamorfosa Kata.

Harus ada yang wujudkan kata-kata /

Agar tak terpenjara di kepompong wacana/

Karena diam takkan jawab pertanyaan/

Tapi kalau bicara lebih bermakna jika kau pikir, kau bilang, kau lakukan/

Permakultur menjadi salah satu cara mengembalikan semangat adi luhung itu. Sebab dia bukan hanya soal menanam, tapi bagaimana adat istiadat dipertahankan dengan cara menjaga lingkungan. “Ini bukan teori, dia harus dipraktekkan untuk diri sendiri dan lingkungan lebih luas”kata Sayu Komang.

Pada akhir proses belajar bersama ini, para petani berkomitmen merancang kebun pertanian permakultur dari halaman rumah, lalu kebunnya. Alce, bahkan menyebutkan akan mengajak lebih banyak ibu-ibu di desanya sehingga suatu saat mereka akan bisa punya pasar komunitas yang merupakan hasil dari pertanian permakultur.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda