Bencana dan Tanggungjawab Publik

0
882
Seorang warga melihat rumahnya yang roboh diterjang banjir bandang di Desa Lengkeka, 3 Maret 2020. Foto: Dok.Mosintuwu/Ray

Kepada siapa kita minta pertanggungjawaban ketika kebijakan publik itu berefek membunuh (mortal) ribuan manusia puluhan tahun kemudian.Inilah hal mendasar yang tidak terjawab hingga kini terkait kejadian lukuifaksi yang terjadi di Palu dan Sigi pada tgl 28 September 2018. Peristiwa tersebut,  selain menyisahkan derita panjang, Juga meninggalkan teka-teki tidak terjawab tentang pemicu kejadian. 

Dalam sebuah presentasi oleh ahli geologi pada seminar nasional tentang bencana yang pernah digagas ACT di Palu beberapa waktu lalu, mengungkap hal ini. Tentu saja, masih butuh riset mendalam,  tapi testemoni masyarakat, menjelaskan hal menarik, sekaligus mengerikan. Mereka bilang, patut diduga bahwa ketersediaan air tanah dangkal sebagai salah satu faktor pemicu likuifaksi (soil liquefaksi), amat terkait dengan keberadaan irigasi gumbasa. Jaringan irigasi ini kata masyarakat yang diungkap pembicara, tidak memiliki alas beton, sehingga imbibisi atau rembesan air terjadi setiap kali aliran irigasi berfungsi. 

***

Allen Hazen, adalah orang pertama yg menggunakan istilah ini berkait kegagalan bendungan Calaveras di California tahun 1918. Persis seratus tahun kemudian,  2018, terjadi di Palu dan Sigi, Indonesia. Mekanisme sederhananya,  jika tekanan air dalam pori pori cukup besar untuk membawa semua beban. Tekanan itu akan berefek membawa partikel-partikel menjauh dan menghasilkan tekanan yang secara praktik seperti pasir hisap.

Baca Juga :  Hari (Gerakan) Perempuan Indonesia: Kritik terhadap Hari Ibu

Masyarakat  bercerita tentang korelasi aliran irigasi dengan naik turunnya tinggi permukaan air sumur mereka. Ketika aliran irigasi dihentikan oleh adanya tindakan teknis pemeliharaan, maka permukaan air sumur pasti surut. Sebaliknya, bila air irigasi mengalir, maka permukaan air sumurnya pasti naik. Dan, ini telah berlangsung selama lebih kurang 40 tahunan. 

Pertanyaannya, bila ini dianggap kesalahan fatal dalam perencanaan  pembangunan dan kebijakan publik, siapa yang mestinya dimintai pertanggungjawabannya..?  Waktu empat puluh tahun  itu, apriori, pejabat pengambil keputusan dan pengawas pembangunan mungkin sudah wafat semua. Lantas, kita harus bertanya kepada siapa ?

Sangat pesimis, sebab untuk kasus bangunan yang rontok parah saat ini, diduga tidak cuma karena sebab langsung bencana semata. Tapi, diduga juga karena kesalahan bestek  bangunan (baca : bahan dan komposisinya). Pengambil kebijakannya masih ada bahkan masih berkuasa, sulit tersentuh hukum. Apalagi mereka, pengambil kebijakan yang sudah wafat ?

***

Jadi, inilah pelajaran luar biasa tentang pengambilan keputusan dalam kebijakan pembangunan. Berangkat dari kajian teknokratik, partisipasi stakeholders hingga pengawasan pekerjaan, tidak boleh lagi asal asalan atau malah bersekongkol dalam jaringan mafiaso. Jaringan ini biasanya ada antara oknum atau kelompok penguasa, pengusaha maupun rakyat jelata. 

Baca Juga :  Anggrek di Bancea

Tidak bisa dianggap enteng atas semua nya ini. Sebab,  ada ribuan manusia tertimbun di sini. Pada bangunan perumahan, perkantoran dan hotel yang runtuh, ada pula mayat bergelimpangan. Sebagiannya tinggal tengkorak karena sanak famili tidak punya daya untuk evakuasi. Semua Korbanan ini kita doakan memperoleh tempat yang paling layak di sisiNya. Tapi, hikmah berharga harus diambil sebagai teguran untuk tindakan kedepan. 

Namun, kalau ini juga tidak menyentuh nurani kita, maka tunggu saja satu ketika alam yang akan bekerja kembali sebagai pengadilan. Dia, adalah penguji, pengawas dan eksekutor yang paling jujur, objektif tanpa kompromi. Itulah yg dilakukannya pada tanggal 28 September 2018. Dan, sebahagian besar dari kita telah tampil sebagai saksi hidupnya.  Wallahualam.

Bagikan
Artikel SebelumnyaDanau Toju Yang Tak Terlupakan, Yang Kini Hilang
Artikel SelanjutnyaDi Pagar Masapi, Fredi Kalengke Melawan Hingga Titik Terakhir
Nur Sangadji , Associate Profesor bidang Ekologi Manusia, akademisi dan pegiat lingkungan. Aktif sebagai salah satu tim ahli Kajian Lingkungan Hidup Strategis ( KLHS ) dan Forum Danau Indonesia, dan Dosen di Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah. Lahir di Ambon, saat ini tinggal di Palu, Sulawesi Tengah. Menempuh pendidikan S1 bidang budidaya pertanian di Univ.Tadulako, pendidikan S2 di Université Jean Moulin, Lyon, Prancis, bidang Ekologi Manusia, dan pendidikan S3 di IPB Bogor bidang Ekologi Manusia Penyuluhan Pembangunan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda