Temu Perempuan : Merayakan dan Menjahit Mimpi Kepemimpinan Perempuan

0
986
Festival Sekolah Perempuan tahun 2016 mengumpulkan 350 anggota sekolah perempuan menghasilkan komitment untuk membangun desa. Foto : Dok. Mosintuwu/Vifick

“Rindu” dan “Selamat ulang tahun” kata ini berulang-ulang mengemuka dari mulut 54 perempuan dari berbagai desa dan kelurahan di Kabupaten Poso. Pertemuan yang dirancang hanya 2 jam pun menjadi 5 jam. Terlalu banyak yang ingin dibicarakan dan dibahas. Gelak tawa terdengar berulangkali diselingi keluhan jaringan internet yang kurang bersahabat di beberapa daerah. Ini pertama kali pertemuan antar perempuan desa diorganisir melalui daring oleh Institut Mosintuwu. Banyak yang terasa kurang karena tidak bertemu secara langsung, namun kehangatan melihat dan mendengar suara antar perempuan lintas agama dari berbagai desa tetap terasa.

Pertemuan ini diselenggarakan dalam rangka hari perempuan internasional sekaligus merayakan tahun pertama di dekade kedua kehadiran Institut Mosintuwu sebagai organisasi masyarakat sipil di Kabupaten Poso, 8 Maret 2021. Ucapan selamat ulang tahun ke Mosintuwu terasa sangat berharga karena diucapkan oleh para ibu dari desa yang selama ini terlibat langsung berkembang bersama Institut Mosintuwu selama 10 tahun.

“Selamat ulang tahun Institut Mosintuwu, terimakasih sudah berbagi pengetahuan kepada saya, kepada kami semua hingga kami bisa seperti ini , terlibat di desa” demikian ungkap ibu Ratna dari Desa Pandiri. Ucapan yang sama terus menerus disampaikan oleh para ibu lainnya yang bergabung melalui layar telepon genggam mereka. Beberapa diantara para ibu ini harus berulangkali mencari tempat dengan sinyal yang cukup baik. Di Lore, para ibu dari berbagai desa berkumpul di Desa Gintu hanya untuk bisa mendapatkan sinyal. Para ibu yang memiliki hp android menginisiasi tempat berkumpul bersama dengan ibu lainnya yang tidak memiliki hp android. Sekalian reuni , kata mereka. 

Baca Juga :  Relawan Muda Mosintuwu dan Kisah Totalitas Berbagi

Kata rindu dan ucapan selamat ulang tahun dikuatkan dengan cerita-cerita kaya dan menginspirasi dari para perempuan , alumni sekolah perempuan Mosintuwu angkatan 1 hingga angkatan 3 ini. 

Seperti biasanya jika para perempuan berkumpul, berbagai persoalan terkini dibahas. Mulai dari tantangan di desa menghadapi kepemimpinan yang masih patriaki, aktivitas ekonomi yang sedang dikembangkan, pendampingan kasus yang terjadi di sekitar mereka, hingga pandemi Covid-19. 

Diceritakan oleh semua ibu, pandemi Covid19 membuat kegiatan ekonomi warga menjadi terbatas. Hal ini berdampak pada usaha-usaha kecil yang banyak dikerjakan oleh para alumni sekolah perempuan Poso. Salah satu dampaknya adalah penurunan omzet penjualan. 

“Dulu kami masih bisa jualan kue dan usaha makanan lainnya di dalam desa, banyak yang beli, sekarang jadi berkurang” demikian cerita ibu Fatriani dari Desa Pandayora. 

Cerita -cerita yang disampaikan mendorong ide saling berkolaborasi dan berjejaring. Dalam diskusi muncul ide untuk mengatasinya dengan meluaskan pasar ke kios atau warung alumni di desa lain.

Ibu Plistin, dari Desa Didiri, merespon cerita ibu Mariati dengan mengusulkan kripik yang diusahakan alumni sekolah perempuan di desa Pandayora kecamatan Pamona Selatan misalnya, nantinya juga bisa dipasarkan di kios atau warung yang ada di desanya. Desa Didiri terletak di jalur trans Sulawesi sehingga lebih memudahkan akses penjualan. Para alumni sekolah perempuan di desa itu menjadi kontak yang menghubungkan antara produsen kripik dengan penjual. Dari hubungan ini terbangun pasar.

Baca Juga :  Sawah-sawah Tenggelam, Kerbau Mati: Nasib Warga Tepi Danau Poso

Bukan hanya membangun jejaring pemasaran, alumni sekolah perempuan juga merancang kegiatan untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan. Rahmawati Arifin, alumni angkatan ketiga dari desa Masamba Poso Pesisir, menawarkan keterampilan memembuat berbagai olahan makanan berbahan dasar sagu. Keterampilan ini diperolehnya saat diundang mengikuti pelatihan di kabupaten Kerinci. 

Ibu Dian, alumni Sekolah Perempuan Angkatan III yang menjadi kepala desa Sepe menceritakan perjuangannya memimpin desa :

“Banyak tantangan, terutama karena perempuan dianggap lemah dalam memimpin, tidak bisa tegas. Saya berusaha dan memperjuangkan hak perempuan supaya jadi bagian penting dalam membangun desa. Banyak yang kritik, tapi karena saya percaya jadi saya terus lakukan “

Cerita ibu Dian, direspon ibu lainnya yang mengusulkan ada sebuah diskusi untuk membicarakan tantangan perempuan menjadi pemimpin di desa. 

“Supaya bisa saling belajar dan menguatkan “ ujar ibu Plistin.

Cerita lain yang juga berkembang adalah pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ibu Velma Riri , dari Desa Gintu Lore Selatan, alumni sekolah perempuan angkatan III menceritakan bagaimana proses pendampingan kasus yang selama ini dilakukannya. Cerita pendampingan juga disampaikan oleh ibu Evi Tampakatu, alumni Sekolah Perempuan Angkatan I yang juga aktif sebagai pendamping korban, 

“Kita berharap, lebih banyak perempuan yang ikut melindungi korban yang umumnya di desa, sehingga pelaku jera dan lebih banyak masyarakat yang sadar “ cetus ibu Velma, yang berusaha menyampaikan ceritanya dengan keterbatasan internet . Ibu Velma juga menyampaikan kebutuhan untuk training dan workshop yang menguatkan perempuan di desa terlibat aktif di dalam pendampingan dan perlindungan perempuan dan anak. 

Baca Juga :  Lara Roslin Langgara, Perempuan Mengejar Haknya atas Sawah Terendam

Pertemuan yang mengangkat tema perempuan maju, bersuara, bergerak , memimpin ini menjadi ruang konsolidasi untuk menguatkan peran perempuan untuk turut mempengaruhi kebijakan pembangunan di desa . Para perempuan mengkritisi model pembangunan di desa yang hingga kini belanja desanya masih lebih fokus pada proyek-proyek fisik ketimbang pembangunan sumberdaya manusia di desa.

Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali , mengatakan, konsolidasi perempuan yang merupakan alumni sekolah perempuan itu nantinya akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan terbatas untuk mendiskusikan isu-isu di desa dan bagaimana perempuan bisa terlibat dalam pembangunan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya.

“Pembangunan di desa tidak boleh mengabaikan suara dan keterlibatan perempuan. Pengabaian atas suara dan penghilangan peran perempuan akan menciptakan pembangunan yang timpang dan tidak adil “ tegas Lian. 

Sambil berjanji untuk meneruskan jejaring dan kolaborasi serta aktivitas untuk menguatkan gerakan perempuan untuk maju, terus bersuara, bergerak dan memimpin perubahan di desa, pertemuan yang dimulai pukul 14.00 ditutup pukul 18.00 dengan lagu mars perempuan Poso. 

“Ayo Perempuan Desa

Maju,  bersuara, bergerak, memimpin

Bersama, mari kita tuju

Kedaulatan rakyat

untuk Perdamaian dan Keadilan

Bagikan
Artikel SebelumnyaTerjerat Korupsi Dana Desa
Artikel SelanjutnyaKalender Musim Masapi Danau Poso
Website ini dikelola oleh Institut Mosintuwu, organisasi masyarakat akar rumput yang bekerja bersama komunitas khususnya perempuan, anak, anak muda, tetua adat untuk mencapai kedaulatan rakyat.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda