Menyambung Hidup bersama Mahluk Hidup Lainnya

0
5026
Buah Jongi (Dillenia celebica) salah satu endemik di Poso. Foto : Dok. Mosintuwu/Ray

Danau Poso menjadi tempat tinggal bagi banyak biota perairan yang tidak dapat kita temukan hidup secara alami di tempat lain, di seluruh dunia yang lain. Kita sering menyebutnya endemik. Biota endemik ini, hadir di ekosistem darat dan perairan Kabupaten Poso, seringkali tanpa disadari, tapi sangat mempengaruhi bagaimana orang Poso menyambung hidup.

Dalam sejarahnya, orang-orang Mungkudena (sekarang wilayah Sawidago) pernah menyepakati bersama untuk tidak menggunakan galah panjang saat berperahu di wilayah Kompo Dongi. Galah Panjang yang menancap di dasar sungai atau Danau Poso dikuatirkan merusak berbagai jenis siput kecil yang hidupnya di dasar sungai dan sekitar Danau Poso. 

“Padahal, kalau dipikir, kenapa harus hati-hati berperahu agar siput tidak rusak?” Kata Hajai Ancura, salah seorang tokoh adat Sawidago ketika ditanya mengenai hubungan pelarangan itu dengan kelestarian alam yang diyakini masyarakat sekitarnya.

Menurut Hajai, larangan penggunaan galah itu menunjukkan eratnya hubungan manusia dengan mahluk hidup di sekitarnya. Dia menceritakan keyakinan leluhur mereka terdahulu tentang alam yang memberi kehidupan kepada manusia sehingga harus dihormati. 

Para orang tua dahulu lanjut Hajai, bukan hanya mengenal keberagaman mahluk hidup di dalam air dan sekitar sungai Danau Poso, tapi juga menyadari bahwa keberagaman mahluk hidup ini menjaga keberlangsungan hidup mereka. Sebagai sumber makanan dan minuman. 

Di danau yang menampung 216 giga liter air ini terjadi hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan fisik. Ekosistem Danau Poso dan sungai Poso tentu tidak dapat dipisahkan secara ekologi, sebab makhluk hidup didalamnya saling terkait, baik yang di air, di darat maupun tumbuh-tumbuhan disekitarnya.

Makhluk yang hidup di danau ini antara lain ikan, udang, alga, fitoplankton, zooplankton, serta hewan air tawar dan tumbuhan air tawar lainnya yang saling terkait. Pakar Iktiologi Dr. Meria T. Gundo mengatakan danau Poso dan sungai Poso merupakan habitat asli dari dari 12 Jenis ikan endemik, sekitar 6 jenis udang endemik dan lebih dari 7 jenis siput endemik. 

Bagaimana berbagai macam hewan dan biota lainnya ini saling terkait bisa dilihat secara sederhana dalam semacam rantai makanan yang membentuk ekosistem di danau Poso. Contohnya Alga dan tumbuhan air sebagai produsen, kemudian dimakan oleh ikan, kemudian ikan yang mati dimakan oleh siput yang berfungsi sebagai pengurai, begitu seterusnya rantai makanan ini berlangsung. 

Baca Juga :  Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Danau Poso

Bagi nelayan disekitarnya, danau Poso bukan hanya sekumpulan air, tapi sumber kehidupan. Danau seluas 32 ribu hektar ini sebenarnya tidak terlalu besar sehingga sangat dipengaruhi oleh musim, saat musim penghujan, air akan naik lalu pada musim kemarau segera surut. 

Selain kaya dengan ikan dan sidat, para nelayan juga mencari, Rono, Lamale, maupun Wuriri untuk dimakan maupun dijual sebagai sumber penghasilan. Banyak yang mengaku bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi dari hasil mencari ikan di danau ini.

Pengrusakan hutan, penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam pertanian serta sampah plastik yang dibuang ke  sungai yang mengalir ke danau adalah contoh nyata yang mengancam hewan dan tumbuhan yang menghuninya. Kondisi ini diperparah kebijakan pemerintah melepas spesies ikan baru seperti Nilam(osteochilus vittatus). Selain itu kurun dua tahun terakhir para nelayan semakin sering menemukan ikan yang aslinya berasal dari Malaysia. sayangnya ikan-ikan baru ini sangat agresif sehingga mengalahkan spesies asli ikan-ikan danau Poso seperti ikan Mas.

Introduksi ikan-ikan dari luar danau Poso dan sistem pertanian berbasis bahan kimia lahir dari motif ekonomi sehingga mengalahkan kearifan masyarakat yang punya tradisi menjaga kelestarian lingkungan.

Caridina sp. (Family Atyidae) , salah satu jenis udang endemik Danau Poso. Dalam bahasa Pamona, sering disebut Lamale. Foto : Dok. Ekspedisi Poso/Evans Labiro

Industri dan Ancaman Terputusnya Jaring Kehidupan.

Terancamnya ekosistem danau Poso diperparah pengerukan mulut danau Poso oleh PT Poso Energi sebuah perusahaan milik keluarga mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang berambisi mengembangkan kapasitas turbin-turbinnya hingga menghasilkan listrik sebesar 515 megawatt. Salah satu lokasi yang menjadi tempat berkembang biak atau transisi serta habitat asli ikan-ikan sebelum kembali ke sungai atau berenang ke danau adalah kawasan seluas kurang lebih 34 hektar bernama Kompo Dongi. 

Secara tradisional ini merupakan lokasi tempat tradisi Mosango, menangkap ikan secara komunal dengan alat Sango yang terbuat dari bambu atau lidi Enau.

Baca Juga :  Burung–Burung di Danau Poso : Menjaga Ekosistem, Mengenalkan Kita dengan Arogo

Belakangan, kekayaan sungai dan Danau Poso ini tidak hanya menjadi daya tarik wisata tapi juga para peneliti. Berbagai penelitian menemukan keanekaragaman hayati di sungai dan danau Poso

Selain satwa, disekitar Danau Poso dan sungainya ditumbuhi banyak flora endemik penyusun ekosistem hutan, sebut saja p Jongi (Dillenia celebica), Molore (Pterospermum celebicum), Kasa Yopo (Macadamia hildebrandii), Taripa (Mangifera minor), Toe (Diospyros celebica), Loka (Musa celebica), dan lain-lain. 

Ngkai Yombu Rameode, ketua majelis adat desa Buyumpondoli menuturkan, masyarakat suku Pamona sudah turun temurun memanfaatkan tumbuhan dalam berbagai aspek kehidupannya baik untuk ritual adat, makanan pokok, obat tradisional, maupun bahan bangunan.

Selain flora, fauna juga merupakan penghuni ekosistem hutan yang akan saling terkait satu sama lain di dalam ekosistem tersebut. Pak Made seorang pencari madu di desa Didiri menceritakan, pada saat musim kemarau yang berarti musim madu, dia bisa mendapat madu sampai 15 liter/hari dengan kisaran keuntungan mencapai 1 sampai 3 juta per hari, ini menunjukan kayanya daerah kita. Madu yang dipanen di hutan-hutan dipinggir danau Poso tidak lepas dari masih banyaknya pohon-pohon yang tumbuh.

Adapun fauna endemik yang hidup di hutan sekitar danau Poso antara lain Kus-Kus (Ailurops ursinus), Burung Alo atau Rangkong(Rhyticeros cassidix), Boti (Macaca tonkeana), Mbawu Yopo (Sus celebensis), Kongka (Spilornis rufipectus), Anoa (Bubalus quarlesi) dan lain sebagainya.

Apa pentingnya keanekaragaman jenis Flora dan Fauna ini bagi kita? Jawabannya sungguh sangat penting. Hewan dan tumbuhan itu berperan  menjaga keseimbangan lingkungan melalui rantai makanan. 

Dalam rantai makanan ada yang disebut Produsen, yaitu makhluk hidup yang dapat membuat makanannya sendiri seperti tumbuhan dan fitoplankton, kemudian konsumennya mulai dari hewan jenis herbivora, karnivora hingga omnivora yang mendapat makanan dari produsen.

Contoh hewan yang terancam punah karena rusaknya sistem rantai makanan karena kerusakan ekosistem itu adalah Babi hutan Sulawesi (Sus celebensis) yang saat ini mengalami penurunan jumlah paling tajam karena hutan yang menjadi habitat dan sumber makanannya rusak berat, selain karena diburu manusia. Terakhir Jamur dan bakteri yang disebut sebagai pengurai atau decompose. setelah makhluk hidup mati akan membusuk dan membuat tanah menjadi subur hingga tumbuhan tumbuh kembali dan rantai makanan terus berjalan. 

Baca Juga :  Pembongkaran Yondo mPamona, Warga Bincangkan Sejarah dan Nilai yang Hilang

Bukan hanya tempat tinggal mahluk hidup, Hutan yang ada disekitar danau dan sungai Poso juga bersrti sumber ketersediaan air. Selain menyuplai oksigen di atmosfer setiap hari. Pohon juga menyerap air dari dalam tanah dan melepaskan hasil fotosintesis melalui daun. Itulah sebabnya mengapa hutan menjadi sangat penting bagi kita untuk hidup.

Tugas generasi kitalah untuk tetap menjaga hutan dan mengurangi kegiatan-kegiatan yang dapat merusaknya. Dalam beberapa tahun terakhir kerusakan hutan di Sulawesi Tengah terus terjadi akibat pembukaan lahan perkebunan hingga penebangan kayu ilegal. Dampaknya adalah bencana.

Data tahun 2019 yang disampaikan Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah saat itu, Nahardi mengungkapkan lahan seluas 264.874 hektare di provinsi saat ini dalam kondisi kritis. Kondisi lahan-lahan yang kritis itu mempengaruhi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) dan menjadi ancaman bencana hidrometerologi di masa yang akan datang.

Banjir bandang yang menerjang desa Tuva di kabupaten Sigi pada 28 April 2019 lalu adalah salah satu contoh nyata dampak kerusakan hutan yang membawa petaka. Selain korban nyawa, ratusan rumah dan harta benda ludes dibawa air bah.

Efek deforestasi atau rusaknya hutan bagi petani adalah menurunnya tingkat kesuburan tanah, menurunnya keanekaragaman hayati hingga kepunahan, banjir, tanah longsor, suhu bumi mengalami kenaikan, dan sumber air semakin sulit pada daerah tertentu.

Menjaga kelestarian lingkungan berarti kita turut menjaga keanekaragaman hayati dan iklim dunia serta menjaga kualitas dan sumber air. Langkah-langkah sederhana yang dapat kita lakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan antara lain tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk berbahan kimia dan melakukan penanaman pohon di lokasi yang kita anggap perlu

Karena merusaknya, mempercepat terputusnya keberlangsungan kehidupan kita, mahluk manusia.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda