MoU Kuatkan Kajian, Penelitian dan Penyebaran Nilai-nilai Perdamaian di Tana Poso

0
1756
Lian Padele, ketua STT dan Lian Gogali , direktur Institut Mosintuwu menandatangani kerjasama mengembangkan sekolah keberagaman . Foto : Dok. Mosintuwu

“Kita membutuhkan kajian teologi atas sebuah mimpi besar tentang kedaulatan bagi rakyat” demikian Lian Gogali, Direktur Insitut Mosintuwu dalam sambutannya sebelum menandatangani MoU kerjasama antara Institut Mosintuwu dengan STT GKST, Senin 11 Februari 2019. Pernyataan Lian, disambut Ketua STT GKST , Pdt. Dr. Yuberlian Padele “ Kerjasama ini adalah juga sebuah ruang untuk memungkinkan adanya perjumpaan-perjumpaan dengan mereka yang memiliki latarbelakang yang berbeda sehingga kita semakin menjadi kaya dalam memaknai perdamaian dan keadilan di Tana Poso” Lian Padele merujuk perjanjian kerjasama yang sebelumnya sudah dilakukan oleh Institut Mosintuwu dengan Komda Alkhairat Kabupaten Poso. 

Keduanya atasnama Institut Mosintuwu dan STT GKST Tentena menyepakati bahwa kerja bersama  lintas stakeholder terutama dengan lembaga pendidikan tinggi menjadi penting. Selain karena disana ada sumberdaya manusia yang mumpuni juga akan ada proses saling menguatkan nilai dan kerja membangun damai di tana Poso. Kedua hal itu dari banyak alasan lain yang mendorong Institut Mosintuwu membangun kerjasama dengan STT GKST Tentena, perguruan tinggi tertua di Sulawesi Tengah yang lahir sekira 100 tahun lalu.  Pekan sebelumnya, ditandatangani pula kesepakatan dengan Alkhairaat, organisasi Islam terbesar di Poso dan Sulteng untuk hal yang sama. 

Baca Juga :  Perempuan, Mereka yang Ciptakan Lapangan Kerja

Dalam naskah kesepakatan STT GKST-Institut Mosintuwu ada 4 pekerjaan besar yang akan dilakukan bersama. Pertama mendorong dialog antar umat beragama di kabupaten Poso yang melibatkan tokoh-tokoh agama Islam, Hindu dan Kristen dalam sebuah kegiatan yang diberi nama Sekolah Keberagaman. Selain Sekolah Keberagaman yang adalah proses bersama dialog agama-agama atas nilai nilai Ketuhanan, Keberagaman , Kesetaraan ,  Keadilan, Membongkar Prasangka , Nilai Kesatriaan ,  Kemandirian, Nilai Solidaritas , Perdamaian , Kearifan Tradisi , Kekeluargaan , dan  kesederhanaan, kerjasama juga menyepakati adanya kajian bersama yang disertai dengan penerbitan serta kampanye kabar baik dari Poso.

Dialog diantara tokoh agama ini dilakukan untuk terus menyuarakan damai ditengah masyarakat yang terus digoda propaganda intoleransi sebagaimana diwartakan sejumlah hasil penelitian. Salah satu fakta menguatnya intoleransi itu ditemukan dalam penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diumumkan pada akhir Desember 2018 lalu dimana ada gejala yang makin kuat ditengah lingkup masyarakat terkecil kita menolak bukan saja orang yang berbeda pandangan politik dengan mereka namun juga yang berbeda agama. Salah satu pemicu intoleransi adalah fanatisme keagamaan.

Catatan Setara Institut menunjukkan, sepanjang tahun 2018 lalu terjadi 109 kasus intoleran dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah ini naik dibandingkan tahun 2017 yang tercatat 80 kasus. Sedangkan diukur dari skor kota Toleran di Indonesia, Poso dan Palu tidak termasuk dalam 10 kota paling toleran di Indonesia meski juga belum menjadi kota yang paling intoleran.

Baca Juga :  Poso, Situs Narasi Multitekstual Agama untuk Teologi Kontekstual Pembebasan

Dalam diskusi bersama tokoh agama di Institut Mosintuwu tahun lalu, Alissa Wahid mengemukakan hasil penelitian  yang dilakukan Gusdurian Sulawesi termasuk di Sulawesi Tengah yang menemukan meningkatnya ekslusivisme ditengah masyarakat kita khususnya kaum muda yang berujung radikalisme. Bayangkan dalam penelitian di kota Palu, ditemukan ada 14 orang remaja yang mengaku siap menjadi pengantin alias pembom bunuh diri.

Jika melihat data-data hasil penelitian tentang fenomena menguatnya intoleransi itu tentu diperlukan kekuatan bersama untuk menghalanginya dengan menyatukan pikiran dan kerja antara lembaga-lembaga yang punya visi sama menjadikan warga Poso dan Indonesia sebagai umat yang toleran.

Bukan hanya membuka dialog rutin diantara kelompok agama-agama yang ada di Poso. Direktur Institut Mosintuwu mengatakan, dilakukan juga kajian dan penelitian bersama hingga bagaimana membuat hasil penelitian itu menjadi landasan untuk menabur nilai toleransi ditengah masyarakat Poso yang plural. Hasil-hasil penelitian dan kajian yang dilakukan bersama dengan STT maupun dengan Alkhairaat nantinya akan diterbitkan dalam bentuk jurnal yang bisa dibaca dan mudah dipahami pembacanya di kota maupun di kampung-kampung.

Baca Juga :  Berbagi Cerita Baik di Lebaran Poso

Mengkaji atau mengaji bersama baik dengan Alkhairaat maupun STT GKST Tentena akan menjadi kolaborasi menarik, sebab ini melibatkan para agamawan dan akademisi serta aktivis sosial. Isu yang dibahas tentu saja peran agama dan budaya ditengah masyarakat. Diskusi dan workshop yang santai adalah bentuk yang dipilih untuk membahas berbagai topik serius misalnya mengapa tradisi Padungku identik dengan Kristen? padahal prakteknya sudah ada sebelum agama-agama samawi ini kita anut. Diskusi dengan tema seperti ini tentu akan melibatkan budayawan, antropolog atau sosiolog untuk duduk bersama.

Kajian tentang Poso dan segala persoalannya mungkin sudah banyak dilakukan oleh akademisi. Namun kita jarang membacanya. Karena itu hasil-hasil kajian baik oleh STT GKST maupun Alkhairaat atau yang dilakukan bersama-sama akan dipublikasi agar masyarakat Poso maupun daerah lain bisa mempelajarinya. Publikasi itu melalui terbitan berkala maupun secara online sehingga bisa diakses seluas-luasnya oleh publik.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda