Waya Masapi, Ketika Bambu dan Ikan Merajut Kekeluargaan

0
6150
Wayamasapi, nelayan berteologi dalam cara menangkap Ikan. Tradisi wayamasapi sudah diwariskan oleh leluhur Poso ratusan tahun sebelumnya. Wayamasapi adalah salah satu tradisi yang akan dihilangkan jika pengerukan, dan reklamasi kompodongi dilakukan. Foto : Dok. Mosintuwu/Lian

Waya Masapi, bagi Fredi Kalengke (48) bukan sekedar tumpuan mencari nafkah. Teknologi ramah lingkungan untuk menangkap Sidat atau Sogili dalam bahasa Pamona ini adalah warisan dari leluhur. Kini dia adalah generasi ke empat pemilik bangunan di tengah sungai Poso itu.

Fredi menerima warisan berharga dari ibunya berupa hak atas satu Waya Masapi yang berdiri di sebelah utara Yondompamona. Berbentuk sebuah pondok berlantai bambu ,  pada bagian depannya terdapat pagar bilah-bilah bambu yang melebar hingga lebih dari 20 meter. Sidat yang terjaring masuk dalam lokasi ini tidak bisa keluar lagi, terjebak didalam Bubu yang dipasang di tengah pagar.

“Pokoknya kalau sudah ada suara ba banting-banting malam hari, sudah itu Sogili yang terperangkap”kata Fredi mengenai bagaimana mereka mengetahui ada Sidat yang tertangkap. Selain suara, para nelayan juga dapat mencium bau Sogili sebelum masuk dalam Bubu. Dalam keadaan hidup, Sidat ini kemudian dijual kepada pedagang pengumpul. Harganya lumayan mahal. Menurut nelayan lainnya, Kompudu, kalau beruntung, dalam semalam mereka bisa dapat hingga 1 juta rupiah.

Waya Masapi juga menunjukkan bagaimana kekerabatan terjalin, budaya Mesale atau bekerja sama dalam kelompok ini berjalan dengan saling percaya diantara mereka. Fredi, C Kompudu, Ngkai Kaose dan 6 orang lainnya bergiliran masing-masing mendapatkan hak 1 malam sepanjang tahun untuk memiliki hasil yang didapatkan pada saat giliran jaga.

Dari pondok bambu beratap rumbia ini pula mereka mampu menyekolahkan anak hingga jenjang sangat tinggi dari tingkat strata satu, magister hingga menjadi dokter. Beberapa diantaranya sudah menjadi pejabat penting di kabupaten Poso.

“Ibu saya memberikan ini sebagai warisan untuk dijaga bersama-sama dengan pemilik lain. Ini artinya, harus diteruskan, tidak boleh dibongkar, ibu saya juga menerima ini sebagai warisan dari bapaknya,”kata pak Kalengke kepada tim yang bertandang ke Waya Masapi.  Saat itu Fredi bersama 8 pemilik hak lainnya tengah Mesale memperbaiki beberapa bagian dari alat penangkap Sidat itu yang sudah rusak dimakan usia. Mesale adalah tradisi kebudayaan Poso yang bekerja bersama-sama menyelesaikan sesuatu. Bersama-sama mereka memperbaiki pagar , bubu atau pondok. 

Baca Juga :  Sawah-sawah Tenggelam, Kerbau Mati: Nasib Warga Tepi Danau Poso

Adapun C Kompudu mendapatkan hak mengelola pagar Sogili ini sejak tahun 1990 . C Kompudu  mengganti hak menjaga dari salah satu anggota kelompok sebelumnya. Pensiunan di salah satu bank ini mendapatkan hak pengelolaan dengan cara membelinya.

“Sudah lama, sejak tahun 1982 ketika saya pertama kali datang di Tentena, saya sudah jatuh hati sama kota ini dengan pagar Sogilinya, saat itu dalam hati saya berkata, suatu hari nanti saya akan punya juga disini, dan akhirnya kesampaian juga”kata Kompudu. 

“Dari sini sudah lahir 9 orang magister, ada dokter juga, jadi bisa dibayangkan begitu pentingnya  waya masapi ini bagi kami”tutur ngkai Kaose. 

Sistem pengelolaan pagar Sogili dilakukan secara bergiliran oleh 9 pemilik hak. Mekanisme ini juga merupakan warisan sejak orang-orang Pamona mengenal teknologi penangkap sidat ramah lingkungan ini.

Ngkai Kaose, sudah 36 tahun menjaga pagar Sogili. Bagaimana dirinya yang berasal dari lembah Bada bisa menjaga hubungan layaknya saudara dengan pemilik lainnya tentu menjadi bahan diskusi menarik. 9 pemilik pagar Sogili ini berasal dari suku yang berbeda-beda, ada Pamona, Mori bahkan keturunan China. Rupanya, kata ngkai Kaose, pagar Sogili memiliki aura yang membuat orang nyaman, membuat rasa kekeluargaan menjadi kuat.

Baca Juga :  Kalender Musim Masapi Danau Poso

“Kalau dirumah biasanya saya merasa ingin kesini biarpun bukan giliran saya. Kalau sudah disini ketemu ini teman-teman hati jadi senang. Itulah istimewanya pagar Sogili. Bukan semata-mata hasil tangkapan dan uangnya,”kata ngkai Kaose.

Selain itu, orang tua mereka mengajarkan untuk saling berbagi. Jika salah satu anggota keluarga terkena musibah atau mengalami hal baik, mereka akan saling membagikan hasil yang ada.

Bersama sama dengan saudaranya yang lain, mereka pernah bermalam di pagar Sogili itu untuk mengenang bagaimana orang tua mampu menyekolahkan mereka sampai menjadi sarjana dan pejabat dari hasil Sogili yang ditangkap. Tidak lupa, lagu Waya Masapi dinyanyikan memperkuat kekerabatan mereka.

Kebersamaan yang terbangun diatas Waya Masapi itu tengah terancam. Ambisi  PT Poso Energy untuk menambah kapasitas produksi listriknya serta Pemda Poso yang ingin membangun sektor pariwisata berbasis bangunan fisik . PT Poso Energy yang didukung Pemda berencana mengeruk dasar sungai Poso sedalam antara 2 hingga 4 meter. Jika proyek ini berjalan, otomatis Waya Masapi akan dibongkar. Setelah proyek selesai, Waya Masapi sulit didirikan lagi, salah satu sebabnya, kayu Kulahi untuk tiang-tiang penyangga yang panjang sudah sulit ditemukan lagi. Seperti kata para nelayan, yang akan hilang bukan cuma bangunan fisik wayamasapi, tapi warisan peradaban Danau Poso dan kekeluargaan serta kebahagiaan yang dirajut karena wayamasapi akan hilang.

Merasakan Kuah Onco Arogo di Waya Masapi

Sogili, daging Sidat jenis Marmorata yang ada di danau Poso sudah terkenal gurih. Jenis masakan khas yang sering disajikan dari Sogili  adalah Onco Arogo, sejenis kuah asam dari daun Onco dan Arogo yang juga khas Poso.

Baca Juga :  Jacky Manuputty : Gereja Harus Terlibat dalam Isu Sosial dan Lingkungan

Kami sempat merasakan bagaimana lezatnya daging Sogili dimasak ditengah sungai. Bahannya sederhana, sebuah ciri khas kuliner Poso. Terdiri dari daun Onco dan Arogo, garam dan cabe serta jeruk nipis, bahan-bahan dapat dicampur di dalam bambu. Bertindak sebagai koki kala itu adalah Ngkai Kris. Dia memberi tips bagaimana agar daging Sogili yang dimasak tidak keras. Sederhana, setelah daging dipotong-potong, jangan langsung diberi perasan jeruk.

“Bumbunya sederhana, daun Arogo Onco, cabe, bawang merah dan jeruk atau belimbing, ini warisan orang tua kita. Kalau ditambah bumbu lain ciri khas rasa dan aroma daging Sogili bisa hilang”kata ngkai Kris yang menjadi juru masak hari itu. Sebuah belanga kecil di dudukkan diatas tungku sederhana yang terbuat dari kayu sisa. Duduk di lantai bambu diatas arus air yang mengalir ke sungai Poso kami menikmati masakan yang diracik para penjaga tradisi danau Poso itu sambil melihat lalu lalang orang di jembatan Pamona yang katanya akan segera dirubah. 

Makan semakin nikmat karena suasana kekeluargaan yang terbangun diatas sungai. Bagi nelayan, mereka bukan sekedar mendapatkan hasil tangkapan dan hasil penjualan, tapi sudah menjadi kegembiraan, karena danau adalah tempat mereka hidup, tempat bersantai melepas segala persoalan sambil merenungkan kembali kekayaan alam yang diberikan kepada masyarakat di Tentena.

Ditengah aroma sedap daging Sogili bercampur asam dari daun Arogo, ngkai Kaose menjawab banyak pertanyaan yang kami ajukan. Salah satunya mengenai kandungan daging Sogili yang disebut kaya akan protein. 

Dilansir dari laman khasiat.co, disebutkan bahwa daging Sidat mengandung vitamin A, mempertahankan darah normal dan meningkatkan kecerdasan otak sekaligus juga menjadi antioksidan tubuh.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda