Seperti Memecah Batu dengan Air Belajar di Sekolah Perempuan

0
1308

Kursi-kursi sudah diatur rapi dalam lingkaran, peralatan tulis telah dilengkapi, sementara para fasilitator mulai menempatkan diri untuk menyambut para perempuan yang datang dengan penuh semangat memulai sekolah. Yah, hari ini di Bulan April 2011, di empat tempat di Kabupaten Poso yaitu Tangkura, Toyado, Bukit Bambu dan Pamona, Sekolah Perempuan MOSINTUWU dimulai.Layaknya masuk sekolah pertama, para perempuan yang rata-rata berusia 25 hingga 40 tahun ini masih terlihat malu-malu dan segan satu sama lain. Maklumlah perbedaan agama dan suku juga latarbelakang sosial dan golongan di antara mereka masih menjadi beban, apalagi beberapa diantaranya baru pertama kali bertemu. Menjaga sikap tubuh, mengatur senyum lalu duduk dalam kelompok masing-masing masih terlihat. Dalam tiga puluh menit pertama, beberapa terlihat tegang dan serius, beberapa mulai saling melempar senyum dan menyambut uluran tangan. Saat fasilitator mulai memainkan perannya dengan kertas plano, spidol, permainan jam dinding, para perempuan warga SP diharuskan melepas wilayah aman tempat duduknya pindah ke tempat lain dengan orang yang berbeda, lalu terpaksa saling berinteraksi. Satu jam kemudian, mereka mulai saling mengenal nama, asal, hobi, agama, suku, keluarga, dan beragam yang lain dalam suasana yang mulai mencair. Tak lama kemudian tawa mulai meledak, wajah-wajah mulai terlihat  rileks, mau tidak mau bergandengan tangan hingga canda mulai dilemparkan, meski masih menahan diri.

Baca Juga :  Festival Sekolah Perempuan : Pameran Kekuatan Desa dan Karya Perempuan

Dalam satu jam, ruangan kecil sederhana tempat semua hal itu terjadi mulai dipenuhi suara gelak tawa. Bahkan teriakan lantang dan serempak “Bisa!Maroso!” begitu teriak ibu-ibu anggota sekolah perempuan saat fasilitator lokal memotivasi mereka melalui pertanyaan:”bisakah perempuan menjadi pejuang perdamaian dan keadilan?”. “bagaimana?” lanjut fasilitator. Sejenak beberapa diam, lalu seorang yang lain pelan mengatakan” Sekolah Perempuan MOSINTUWU akan membantu kami”. Saat semangat mulai terbentuk, keengganan mulai dilepas, kekakuan mulai mencair, fasilitator membantu warga SP dari masing-masing desa untuk bicara soal proses sekolah perempuan, menyusun aturan, kesepakatan-kesepakatan bersama dalam kelas.

Ikatan emosi antar warga SP kemudian diikat kembali dan diperkuat oleh kehadiran tokoh agama Islam, Kristen dan Hindu yang meletakkan dasar utama hakekat manusia untuk kemanusiaan dan keadilan meskipun  berbeda identitas. Di Sekolah Perempuan MOSINTUWU Poso Pesisir hadir Sekretaris II Sinode GKST Pdt. Frederika Kulas,M.Hum, Ustad Asri dan catatan tentang agama Hindu dari Ketua Parisada Hindu Dharma Kabupaten Poso, Pak Wildana. Di Sekolah Perempuan MOSINTUWU Poso Kota Selatan hadir Ketua STT Tentena Pdt. Dra. Lies Saino dan Kepala Departemen Agama Kabupaten Poso Najamuddin S.Ag, SPd, MP . Di Sekolah Perempuan MOSINTUWU Lage hadir Pdt. Frederika Kulas,M.Hum, Ustad Asri dan di Sekolah Perempuan MOSINTUWU Pamona hadir Pdt. Dra. Lies Saino dan Ustad Asri. Kehadiran para narasumber ini mendasari sebuah upaya bagi warga SP untuk memiliki cara pandang baru tentang orang lain yang berbeda identitas keagamaan dari dirinya.“ Setiap agama mengajarkan kebaikan” kalimat ini menyertai penjelasan para narasumber tentang kebutuhan untuk menggunakan agama untuk kemanusiaan.

Baca Juga :  Rayakan Hari Kartini, Pastikan Perlindungan Anak dengan Nota Kesepahaman

Seorang warga Sekolah Perempuan dari Pamona, ibu Heni, dalam penutupan kelas pertama ini mengatakan dengan penuh semangat “kita ini dulu seperti batu terhadap orang lain yang berbeda, bukan cuma tidak mau peduli tapi juga malah saling membenci. Saya harap Sekolah Perempuan MOSINTUWU di prosesnya sampai akhir nanti bisa seperti air yang meneteskan terus menerus air sehingga batu itu akan pecah. Jadi kitorang bisa saling peduli dan membantu satu sama lain”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda