Berpisah Bukan Karena Benci,Tapi Karena Saling Jaga

0
1574
Ibu Miliana dan Ibu Eva, berpelukan hangat setelah saling bercerita kecurigaan di antara mereka yang berhasil mereka urai dan menjadi teman baik . Foto : Dok.LianGogali

“Coba tanya sama siapa saja dari ujung Tangkura ke ujung Tangkura, siapa yang tidak bersaudara. Kami ini sudah bersaudara, kawin mawin, Islam dan Kristen. Imam mesjid disini istrinya Kristen dan tidak pernah ada masalah. Sampai sekarang. Kami ini berkerabat, bersaudara sedarah. Itu yang bikin kami bertahan sama-sama. Boleh ditanya, kami yang paling cepat pulih dan cepat pulang kampung. Kami saling mengajak dan kirim surat satu sama lain di lokasi pengungsian supaya pulang bersama dan bertemu lagi di kampung. Kami memang berpisah mengungsinya itupun bukan kehendak kami.

Tahun 2000, sudah banyak isu kami dengar di kampung bahwa ada kelompok-kelompok orang yang memasuki desa-desa, menjarah, membakar, membunuh. Tapi tidak jelas kelompok apa itu. Ini membuat banyak orang dari desa-desa lain di sekitar Tangkura mengungsi masuk wilayah Tangkura.

Kalau diantara kami orang Tangkura sesama muslim dan kristen saling percaya, ini susah kalau sudah ada komunitas lain meskipun sesama agama masuk di desa dan mengungsi. Soalnya kalau kerumunan orang jadi berbeda tidak bisa dikendalikan. Keadaan ini mendesak penduduk Muslim dan Kristen menginap sementara di kebun-kebun. Lokasi kebun-kebun penduduk Muslim dan Kristen di Tangkura saling bersebelahan dan berdekatan. Lucunya kami kemudian sama-sama sadar, kami ini mengungsi di kebun untuk menghindari yang mereka sebut dengan musuh. Tapi karena kami sama-sama mengungsia jadi ketemu di kebun dan lalu ketawa-tawa dan tanya-tanya.

Baca Juga :  Wisuda Sekolah Perempuan Angkatan II : Perempuan Poso, Bangkit!

“lalu siapa yang kita hindari?bukan muslim,bukan Kristen, karena kitorang sama-sama mengungsi”.Akhirnya, dipertengahan tahun 2000, tidak ada lagi penduduk yang mengungsi meskipun sementara di kebun-kebun, semuanya kembali ke desa dan menjalankan ronda bersama.

Terus, keadaan berkembang terus. Pada awal bulan November 2000, sekelompok bersenjata sudah berada diujung kampung dan siap memasuki Tangkura, belum diketahui kelompok siapa yang berada disana. Dalam situasi yang sangat tidak menentu dan mengancam setiap orang yang berbeda identitas keagamaannya, seluruh masyarakat muslim dan kristen berkumpul bersama. Karena yang Muslim lebih sedikit dari yang Kristen, maka yang Muslim berkumpul semuanya di rumah Pak Deki, yang Kristen dan dikenal sebagai pemimpin sementara desa.

Malam itu,seluruh penduduk Tangkura yang beragama Islam demi keamanan mereka diputuskan untuk diungsikan ke Poso. Pertimbangan utamanya berdasarkan rekomendasi dari tokoh masyarakat lainnya adalah ketidakmungkinan menjamin keamanan kelompok Muslim sebagai kelompok agama minoritas ditengah keluar masuknya pengungsi dari luar desa yang sebagian besar beragama Kristen sehingga diperkirakan akan mengganggu penduduk Muslim atas nama pembelaan terhadap Kristen. Yang mengatur pengungsian kelompok Muslim ini semua masyarakat Kristen Tangkura. Penduduk Kristen yang laki-laki dewasa diminta mencari kendaraan-kendaraan yang bisa mengantar rombongan kelompok Muslim.

Baca Juga :  Randa Ntovea: Kisah Wabah di Sulteng, Covid-19 Bukan Yang Pertama

Penduduk Kristen perempuan, para ibu menyediakan perbekalan makanan sepanjang perjalanan dan saat di pengungsian. Perjalanan rombongan ini dikawal langsung oleh penduduk Kristen. Sebelum berangkat kami semua bernyanyi bersama, lagu Poso, saling menghibur. Kami berpelukan, banyak yang menangis, soalnya kami tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi kami saling kase ingat kalau kami akan terus saling menjaga. Kita baku pisah (berpisah) ini bukan karena baku marah (saling marah) tapi karena baku jaga (saling jaga).

Saat rombongan sudah hampir tiba di Poso, beberapa penduduk Kristen baru teringat bahwa mereka lupa menyediakan tikar untuk tempat tidur untuk rombongan ini. Akhirnya beberapa orang diutus pulang ke Tangkura, diminta kumpulkan tikar-tikar di kampung untuk diantarkan lagi ke saudara-saudara mereka yang muslim. Kami ingat, kasihan mereka nanti tidur tidak ada alasnya.

Jadi, sejak awal sebelum konflik, saat konflik juga dan sampai sekarang kami ini saling ingat tentang persaudaraan kami.   Kami ini saling jaga karena kami bersaudara, bukan karena agama.

Baca Juga :  Transformasi Gerakan Perempuan Poso untuk Keadilan

Redaksi : Diceritakan ulang ibu Asni , anggota sekolah perempuan angkatan I kepada Lian Gogali .

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda