Duta Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ; Melanjutkan Sejarah Kruyt dan Baso Ali

1
780
Pertunjukan Damai : Peserta lokalatih KBB menampilkan pertunjukan dengan tema perdamaian dalam lokalatih KBB . Foto : Dok. Mosintuwu/Pian

“Dulu kalau saudara dari kristiani pigi moasu (berburu), mereka membawa Kalando di belakang. Mereka lewat di muka ( red : depan rumah ) , tapi kalau sudah ada isi ( red: hasil buruan), mereka lewat di belakang rumah. Karena begitu cara menghargai”.

Maryam Lasawedi, asal Desa Matako kecamatan Malei menceritakan masa kecilnya. Cerita Maryam mengawali diskusi dalam lokalatih advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan ( KBB ) yang berlangsung selama 5 hari di kota Poso sejak tanggal 5 September 2023. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja Indonesia(PGI),  PUSAD Paramadina,  bekerjasama dengan Institut Mosintuwu dan Sinode GKST klasis Poso Pesisir. Sebanyak 25 orang peserta datang dengan latar belakang agama Islam dan Kristen, memiliki pekerjaan beragam. Mereka bukan hanya tokoh agama saja, ada aparat pemerintah desa, imam masjid dan pendeta jemaat serta guru dari kecamatan Pamona Puselemba, Lage, Poso Kota dan Poso Pesisir di Kabupaten Poso .

Tema KBB sebenarnya bukan hal baru bagi peserta ini. Pengalaman konflik masa lalu sudah mengajarkan mereka, tidak ada yang diuntungkan jika saling menghalangi kebebasan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Sejarah Metubunaka (sikap menghormati dan menghargai) orang Poso terhadap orang lain sudah ada jauh sebelum agama monoteisme datang. Itu berlanjut dalam kisah pertemuan A.C. kruyt, seorang zending dan etnolog Belanda pertamakali menginjakkan kakinya di Takule, sekarang Kelurahan Mapane, Poso Pesisir, disambut hangat Baso Ali, seorang tokoh islam yang lebih dulu ada diwilayah itu. Baso Ali kemudian menunjukkan wilayah dimana sebaiknya Cruyt berdakwah. Cerita Maryam menegaskan kisah itu.

Cerita Poso : Lian Gogali memberikan presentasi mengenai cerita perdamaian yang dikerjakan masyarakat Poso dan Institut Mosintuwu. Foto : Basrul

Bukan hanya cerita Maryam, sejarah tentang kehangatan hubungan warga muslim dan kristen di Poso berulangkali diceritakan para peserta lokalatih. Diana, sekretaris desa Tokorondo mengisahkan tentang  ibu Sarino  yang berjualan ikan ke desa-desa berpenduduk mayoritas Kristen. Mohamad Salman, imam masjid Baabul Jannah Desa Pinedapa, Poso Pesisir  menceritakan dirinya yang diselamatkan warga Kristiani saat konflik tahun 200-2003. Masih banyak cerita warga lainnya yang secara sadar membangun kembali relasi dengan yang berbeda keyakinan saat konflik masih panas-panasnya.  Baik Maryam, Diana dan Salman, ingin kenangan kehidupan harmoni desanya itu kembali lagi.

Disadari atau tidak, paska konflik kekerasan banyak wilayah Poso kini seakan terbagi berdasarkan agama. Ini adalah sisa konflik yang belum benar-benar sembuh dari trauma. Diana, bercerita bagaimana harus meyakinkan warga Tokorondo yang bertanya-tanya mengapa harus menerima sejumlah pendeta untuk tinggal semalam bersama mereka pada 25-26 Agustus 2023 lalu dalam rangkaian kegiatan di desanya. Saat itu Pemerintah Desa Tokorondo bekerjasama dengan Institut Mosintuwu menyelenggarakan Jelajah Budaya yang melibatkan 100 anak muda dari berbagai desa dan latar belakang agama serta sejumlah pendeta.

Baca Juga :  Pemulasaraan Jenazah, Dialog Mencari Persamaan dalam Islam

“Awalnya masyarakat menolak dan kebetulan saya adalah sekdes di Desa tokorondo dan menjadi tugas berat bagi saya karena masyarakat menolak, kenapa Pendeta harus datang di desanya torang, karena kami mayoritas muslim dan itu menjadi tantangan bagi saya” ungkapnya. Lewat komunikasi intens dia berhasil meyakinkan warga untuk terbuka menerima anak muda dan tokoh agama yang berbeda dengan mereka.

Diskusi alot KBB : Peserta lokalatih KBB melakukan simulasi kasus . Foto : Dok. PGI/Basrul

Pdt. Jimmy Sormin dari PGI mengatakan, Poso adalah wilayah yang penting untuk belajar tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan karena sejarah dan dinamikanya. Kehadiran lokalatih KBB dimaksudkan untuk meneruskan kisah kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sudah pernah ada di Poso namun terhenti dan cenderung mulai memudar paska konflik.  Selain itu lokalatih ini juga diharapkan juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemenuhan hak asasi manusia dalam hal beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Husni Mubarok, wakil direktur PUSAD Paramadina menyebutkan pemilihan peserta lokalatih dari warga khususnya tokoh agama dikarenakan tokoh agama tidak sering dimutasi dan memiliki komunitas khusus sehingga bisa menguatkan dan menyebarluaskan ide mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Konflik dan Kekerasan ; Peristiwa-peristiwa yang Masih Sering Terjadi

Pasca konflik, terutama setelah tahun 2007, kabupatem Poso memang terlihat lebih aman dan damai. Namun selain aksi-aksi terorisme kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Santoso dan para penerusnya sampai akhir 2021 lalu, masih banyak peristiwa yang sebenarnya peristiwa sederhana namun selalu dikaitkan dengan konflik dan isu KBB.

Dalam pemetaan konflik bernuansa KBB, para peserta lokalatih menceritakan masih adanya peristiwa-peristiwa yang perlu direspon agar tidak menjadi konflik kekerasan. Peserta dari wilayah Poso Kota, menceritakan sebuah peristiwa di Desa Malei, kecamatan Lage ketika seorang anak muda mabuk yang beragama Kristen masuk kedalam area camping Pramuka dari sekolah yang kebetulan Islam. Si pemuda mabuk  dilarang masuk area perkemahan marah-marah dan membuat keributan. Informasi tentang peristiwa ini dengan cepat menyebar dengan narasi anak muda Kristen memukul anak muda Islam. Ini mirip cerita yang dihembuskan saat awal mula konflik Poso. Peristiwa ini kemudian diselesaikan dengan kehadiran ketua MUI Poso untuk mendinginkan suasana.

Baca Juga :  Sound Keliling Desa, Mengubah Wajah Lemusa

Di Desa Toini kecamatan Poso Pesisir, cerita tentang perselisihan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan agama namun dinarasikan sebagai perseteruan Islam-Kristen juga terjadi tahun 2020. Seorang anak muda menjadi korban salah pukul dari sekelompok pemuda. Peristiwa salah pukul ini  langsung menimbulkan ketegangan karena narasi yang disebarkan adalah anak muda Islam dipukul anak muda Kristen. Peristiwa ini kemudian diselesaikan dengan pengerahan sepasukan Polisi dan kehadiran beberapa orang tokoh agama untuk mendinginkan suasana. Cerita lainnya mengenai pemakaman seorang mualaf secara Kristen yang menimbulkan ketegangan antar keluarga .

Menyimak Materi : Para peserta lokalatih KBB menyimak materi tentang HAM dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang disampaikan oleh Pdt. Jimmy dari PGI. Foto : Dok. PGI/Basrul

Konflik bukan hanya antar agama yang berbeda. Perselisihan dan konflik yang menimbulkan kekerasan di dalam agama yang sama , tidak kalah rumitnya. Pdt. Herlina dari wilayah Tentena menceritakan konflik antar gereja di Desa Kelei yang berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Atau cerita mengenai kelompok persekutuan doa yang mengganggu jadwal ibadah lainnya. Ada juga cerita mengenai perebutan wilayah ibadah dalam kelompok Islam.

Namun konflik, dibicarakan dalam lokalatih ini bukan dalam nada negatif. Sebaliknya, konflik dilihat sebagai sebuah ruang untuk menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan. Husni mengatakan, banyaknya kasus kekerasan dari sebuah konflik disebabkan karena sedikitnya opsi penyelesaian yang ditawarkan. Karena itu diperlukan lebih banyak orang yang bisa punya kemampuan memediasi persoalan di komunitas.

“Jadi kalau opsi penyelesaian konflik banyak , maka pilihan kekuatan (untuk menyelesaikan masalah) itu tidak muncul karena melihat ada peluang penyelesaian” ujarnya menjawab pernyataan dari peserta bahwa kekerasan juga dibutuhkan dalam penyelesaian konflik. Menurutnya, pilihan melakukan tindakan kekerasan muncul karena pesimis negara tidak bisa mengatasi.

“Saya berharap kita tidak berhenti mencari cara-cara penyelesaian konflik.  Jika negara membantu menyelesaikan konflik, syukur. Tapi kalau negara tidak mampu atau membiarkan, kenapa kita tidak cari jalan sendiri? ”

Baca Juga :  Baku Tukar Motor, Pohintuwo Lembah Bada di Masa Pandemi
Pertunjukan Damai : Peserta lokalatih KBB menampilkan pertunjukan dengan tema perdamaian dalam lokalatih KBB . Foto : Dok. Mosintuwu/Pian

Husni melanjutkan dengan menyebutkan pentingnya melakukan analisis kebutuhan , yaitu kebutuhan bertahan ( makanan, tempat tinggal, keamanan) , kebutuhan kondisi positif ( ketenteraman, kerukunan, kesetaraan, kesejahteraan ) , kebutuhan identitas ( makna hidup, pengakuan , hak layanan ) , kebutuhan kebebasan ( otonomi, berkespresi, perlindungan kebebasan ) . Memahami dan melakukan analisis atas kebutuhan dalam sebuah konflik akan membantu memahami akar konflik dan menemukan ruang pilihan-pilihan penyelesaian yang mungkin dilakukan.  Selama 4 hari, para peserta belajar untuk mendengarkan sebuah masalah dengan metode aktif mendengar, menganalisis konflik, hak asasi manusia dan memahami aset komunitas dalam pengembangan perdamaian. Lian Gogali, ketua Institut Mosintuwu  menceritakan bagaimana aktivitas sehari-hari, ingatan kehangatan antar komunitas, aktivitas kebudayaan merupakan aset bersama komunitas untuk perdamaian yang berkeadilan dan berkelanjutan di Kabupaten Poso.

Duta Damai di Poso

Berbagai upaya menjadikan Poso benar-benar damai memerlukan semakin banyak orang untuk terlibat untuk mewujudkannya. Lokalatih KBB diharapkan menjadi salah satu langkah untuk menciptakan ruang-ruang baru mewujudkannya.  Karena itu, para peserta lokalatih berkomitmen melanjutkannya dalam aktivitas bersama paska lokalatih.

PESERTA : sejumlah peserta lokalatih fasilitator kebebasan beragama dan berkeyakinan di Poso. Foto : Dok.PGI/Pian

Sambaaraya Pakaoso, demikian kelompok kolaborasi para tokoh agama untuk mewujudkan kerjasama lintas agama bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Kabupaten Poso. Kelompok Sambaaraya berniat untuk melakukan kemah perdamaian yang melibatkan anak-anak muda lintas agama di Kabupaten Poso khususnya wilayah Poso Kota, Lage dan Tentena. Sementara itu kelompok Pakaroso mengambil ide pengelolaan sampah dengan metode ecobrick sebagai jalan masuk untuk ruang bertemu dan berkolaborasi antar anak muda lintas agama di wilayah Poso Pesisir.

Niat baik untuk melanjutkan kolaborasi lintas agama ini diperkuat dengan upaya-upaya untuk menjalin silaturahmi antar tokoh agama. Pdt. Ratna , ketua klasis dari Poso Pesisir dalam wawancara dengan radio Mosintuwu menyebutkan harapannya agar hubungan silaturahmi antar tokoh agama perlu diadakan terus menerus karena mampu mengurai prasangka dan kecurigaan sehingga bisa menyebarkannya pada komunitas.  Kerinduan para tokoh agama agar warga Poso melanjutkan hubungan seperti yang terjadi antara AC. Kruyt dan Baso Ali terasa lebih dekat perwujudannya.

1 KOMENTAR

  1. Assalamu A’laikum Dan Salom buat semua sahabat To Poso. Ketika usai membaca tulisan diatas, jujur sebagai orang di Poso merasa bahagia dan semangat membaca tulisan yg memuat ttg kisah suka dan dukanya dikala itu (Pra Konflik, saat dan pasca konflik). Semua tdk lagi teejebak pada masa suram dimasa itu, namun sebaliknya semua se0akat bahwa masa lalu adalah pelajaran berharga utk bangkit membangun daerah dalam semangat keragaman. Kedua bahwa generaai pelanjut misi mulia ini semakin menunjukkan identitas dan optimisme tinggi dalam memajukan dan memperkuat kegidupan dama8 ini ditengah keberagaman. Sebab semua menyadari bahwa semua itu adalah Anugrah yg Tuhan Berikan utk diemban demi terwujudnya kehidupan yg damai sejahtera, adil dan berkeadaban diatas swmangat kebhinekaan dan keragaman. Semoga sem7a sahabat senantiasa mendaoatkan pahala atas kebaikan yg telah, sedang dan akan ditorehkan dibumi ini.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda