Pejuang-pejuang Tana Poso

1
7816

Sejarah adalah milik para pemenang. Karena itupula catatan tentang pejuang dan pahlawan di suatu wilayah adalah catatan yang dibuat oleh pemenang. Pada akhirnya catatan sejarah tentang pejuang Tana Poso tidak dibicarakan, bahkan dipinggirkan hampi rlenyap. Upaya untuk mendekonstruksi sejarah Poso menurut tutur masyarakat aka  rrumput menemukan kisah perjuangan luar biasa yang menggambarkan bagaimana Tana Poso dipertahankan, diperjuangkan.

Wilayah ini disebut Poso pada abad ke 12. Poso berasal dari bahasa Pamona berarti KEKUATAN (Perdebatan mengenai arti kata Poso yang selalu dikutip oleh para aktivis,peneliti dan akademisi akan diuraikan tinjauan kritisnya pada bahasan mengenai sejarah Poso). Adalah kisah pejuang Tana Poso-lah yang menggambarkan bagaimanaTana Poso menjadi kekuatan yang memiliki makna mendalam bagi komunitas yang mendiaminya selama berabad-abad.

Islam adalah agama yang pertama masuk di wilayah ini, yakni di Wotu pada tahun 1583, sementara Misionaris Kristen (Kruyt) masuk ke wilayah pedalaman pada tahun 1892 (Pertemuan Islam dan Kristen yang harmonis dan indah dimulai saat Kruyt diterima dan diberikan petunjuk bahkan diantarkan oleh Baso Ali – sekarang keturunan keluarga Odjobolo, tokoh Islam, ke wilayah pedalaman untuk menyebarkan agama Kristen). Sebagai seorang berkewarganegaraan Belanda, Kruyt tunduk pada perintah Kerajaan Belanda.

Baca Juga :  Sulap Rotan Punya Harga Jual, Rura Menginspirasi Warga Poso

Dalam rangka meluaskan ekspansinya dan menundukkan wilayah Poso, Kerajaan Belanda memerintahkan Kruyt mewakili Kerajaan Belanda untuk pergi ke Wotu, dan meminta agar Poso dilepaskan. Namun kedatangan Kruyt tidak disambut oleh penguasa Wotu. Hal ini pertama-tama karena hubungan antara Wotu dan Poso adalah hubungan yang sederajat, tidak saling menguasai atau menundukkan. Wotu memiliki wilayah kedaulatan tersendiri, demikian pula Poso dan demikian pula Luwu. Hubungan antara ketiga wilayah ini saat itu saling mengakui dan menghargai wilayah kedaulatan masing-masing. Namun, bila Poso memiliki urusan yang berkaitan dengan Luwu, Poso akan mengurusnya melalui Wotu.

Demikian pula bila Luwu memiliki urusan dengan Poso maka akan melalui Wotu. Kesepakatan untuk saling melindungi bahkan disimbolkan dengan penanaman bambu kuning di Korobono dan biji mangga di Tanumbeaga (sekarang di atas Desa Taripa). Bambu kuning dan biji mangga ini menjadi simbol satunya Luwu dan Poso (baca:Pamona). Namun, kepergian Kruyt dalam statusnya sebagai perwakilan Kerajaan Belanda bukan misionaris ke Wotu bukan tanpa maksud, karena disertai dengan isu yang dihembuskan oleh kolonial Belanda bahwa Tana Poso adalah jajahan Luwu dan Wotu. Isu ini dimaksudkan untuk memecah belah kesepakatan kedaulatan yang sudah terjalin antar wilayah demi meluluskan ekspansi kolonial Belanda.

Baca Juga :  Petisi di Hari Perempuan Internasional : Hentikan Stigma pada Perempuan

Penolakan Luwu atas permintaan Kerajaan Belanda disambut dengan melakukan serangan besar-besaran ke Wotu. Macoa Wotu ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Hingga saa tini tidak pernah ada kisah yang terdengar pasca penangkapan Macoa Wotu yang mempertahankan kesepakatan kedaulatan. Penangkapan Macoa Wotu menimbulkan perlawanan di berbagai wilayah di Tana Poso. Yang terkenal adalah perlawanan Tabatoki di Pebato, perlawanan Tompayau di Kandela dan perlawanan Umanasoli di Peore ( bersama dengan Raja Mori, Marunduh).

1 KOMENTAR

  1. Sejarah adalah milik komuninitas dan entitas yg mmiliki agresifitas kreatif yg menulis cerita jd sejarah. Seperti halnya Wotu, aslinya adalah Pamona tp dibelakang hari kemudian dieksploitasi jadi kedatuan luwu yg berbasis superioritas Bugis. Tp bnrkah demikian adanya? Bukankah Wareq tlh mengalami berapa fase? Wotu, Cerekang, Malangke dan Palopo. Jika politik mengilhami ambisi hegemoni mk ceritapun akan dicatatkan jd sejarah, entah bnr ato tdk, toh semua sudah terasumsikan demikian. Lantas dimanakah posisi masyarakat akar rumput misal Pamona dan Luwu dlm entitas budaya dan etnik? Sedang Bugis tlh dibesarkan demikian hebatnya.
    Ini bukan sentimen etnisitas tp bagaimana sebuah pengakuan entitas bahkan sub entitas sekalipun. Marilah mengubah sejarah dgn kelurusan niat. Bukan hanya pd wareq kedatuan semata, tp lihatlah akar rumput dari rumpun pembentuk kebesaran Luwu.
    Luwu bukan hanya milik Bugis semata, (mungkin) tp kumpulan entitas. Jgn ada polarisasi krn adanya klaim sepihak.
    Salam wija to luwu.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda