Kartini : Habislah Gelap, Terbitkan Terang Kartini : After Darkness to A Light

0
1994
Foto by : @nobodycorp.

Oleh : Lian Gogali

Foto by : @nobodycorp.

Apa yang diingat orang setiap tanggal 21 April yang dikenal dengan perayaan Hari Kartini? Kebaya dan Sanggul. Setidaknya hal ini terlihat dari banyak perayaan Hari kartini yang seringkali diadakan oleh pemerintah, termasuk oleh ibu-ibu PKK. Kata yang lain yang mengingatkan orang adalah emansipasi. Emansipasi dimengerti sebagai memberikan ruang bagi perempuan untuk bisa berpartisipasi aktif dalam masyarakat.  Kedua cara berpikir ini merupakan ironi besar di Perayaan Kartini.

Gagasan Kartini dikenal setelah surat-suratnya yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Atas inisiatif pribadi, Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon, mengumpulkan surat menyurat Kartini dan diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht, atau dalam bahasa Indonesia berarti “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku yang diterbitkan pada tahun 1911 merupakan keputusan pribadi Abendanon yang istrinya merupakan salah satu sahabat Kartini yang dikirimi surat. Door Duisternis tot Licht cetakan ke-4, berisi 105 pucuk surat Kartini, yang didalamnya terdapat kutipan dari catatan harian Kartini, sajak, dan Nota tentang pendidikan dan pengajaran, yang dimaksudkan untuk dikirimkannya kepada pemerintah Nederland. Dalam kata pengantarnya, Mr. Abendanon mengatakan bahwa penerbitan surat-surat Kartini ini adalah “sumbangan bagi perwujudan apa yang diperjuangkan”. Apa yang diperjuangkan Kartini? Dalam kumpulan surat-surat Kartini ini terdapat dua pokok pembicaraan Kartini, yaitu : kebebasan perempuan dan pendidikan pribumi.

Kebebasan Perempuan

Kerinduan akan adanya kebebasan perempuan tercermin dalam surat-surat Kartini kepada sahabatnya Estelle Zeehandelaar dan Ny. Abendanon. Menjadi perempuan pada jaman Kartini sangat terikat pada sistem patriakhi dan sistem feodalisme dimana perempuan bukan hanya mahluk nomor dua tetapi sekaligus budak laki-laki. Perempuan berada dalam lapisan terbawah sebagai orang yang diperhitungkan setelah lapisan status sosial, status politik, status ekonomi dan laki-laki. Meskipun sesorang memiliki status sosial, ekonomi dan bahkan keluarganya memiliki status politik (pejabat), tetapi jika dia adalah perempuan maka tidak memiliki hak apapun. Tidak punya hak berbicara, tidak ada hak memiliki pendidikan, bahkan tidak punya hak terhadap tubuhnya sendiri. Kartini sendiri adalah anak dari seorang bupati Jepara, namun sebagai perempuan, hidupnya diatur oleh ayahnya.

Pada usia 12 tahun, Kartini dipingit (tidak diperbolehkan keluar dari rumah) selama 4 tahun. Dalam suratnya, Kartini menjelaskan situasi itu “Waktu aku berumur dua belas tahun aku pun dipulangkan ke rumah – aku harus masuk ke dalam “kotak”; aku dikurung di dalam rumah dan sama sekali terputus hubungan dengan dunia luar, yang tak boleh kumasuki lagi, kalau tidak di samping seorang suami, seorang pria yang sama sekali tak kukenal, yang dipilihkan orangtua kami tanpa sepengetahuan kami. Sahabatku orang Eropa – sebagaimana kudengar di kemudian hari – telah mencoba berbagai daya untuk mengubah pendirian Ayah agar menarik keputusannya yang kejam terhadapku, si bocah yang ceria itu, tapi sia-sia usaha mereka – orangtuaku tiada dapat diubah –, dan masuklah aku ke dalam penjaraku. Empat tahun panjang-panjang telah kulewatkan dalam kurungan empat tembok tebal, tanpa melihat dunia luar. Bagaimana aku lewatkan masa itu aku tak tahu, yang aku ketahui hanyalah bahwa masa itu mengerikan”  (Surat, Jepara 25 Mei 1899, kepada Estella) . Kartini, memahami dengan benar bagaimana nasib perempuan yang tidak bebas karena pengalamannya sendiri. Seperti dalam penjara, katanya.

Gagasan tentang pentingnya kebebasan perempuan berakar pada pandangan Kartini bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama sebagai manusia. Merayakan hari Kartini adalah merayakan gagasan tentang kesetaraan. Gagasan kesetaraan akan menempatkan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, dalam bekerja, bersuara, berpikir, singkatnya memiliki hak yang sama dalam mengembangkan diri di bidang ekonomi, sosial , budaya dan politik yang kesemuanya adalah hak asasi manusia. Kenyataan bahwa sudah ada perempuan yang mendapatkan akses pendidikan, memiliki posisi politik dalam pemerintahan masih harus dihadapkan dengan kenyataan masih banyaknya kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Masih banyaknya kekerasan terhadap perempuan dan anak berakar pada pandangan yang bias gender terhadap perempuan bukan sebagai manusia tetapi mahluk yang dapat dirusak tubuh dan hidupnya, karena itu kekerasan seksual (misalnya) adalah kejahatan kemanusiaan bukan sekedar kejahatan asusila. Dalam hal inilah merayakan hari Kartini adalah juga sebuah peringatan tentang perjuangan untuk kebebasan perempuan masih harus diperjuangkan.

Kebaya dan sanggul telah memlintir, memutarbalikkan gagasan Kartini tentang kebebasan perempuan; tentang pendidikan bagi jalan kebebasan. Alih-alih hendak meneruskan gagasan Kartini, perayaan yang demikian hanyalah permukaan saja yaitu meniru gaya berpakaian Kartini (berkebaya dengan rambut disanggul). Padahal, berkebaya dengan rambut disanggul pada jaman Kartini adalah simbol  bagaimana perempuan diatur dan dimiliki oleh laki-laki. Kebaya secara filosofis mengatur gerak-gerik perempuan untuk tidak bebas; sanggul melambangkan kesopanan dan ketaatan perempuan pada aturan-aturan yang dibuat oleh sistem patriakhi. Dengan kata lain, merayakan Hari Kartini dengan kebaya dan sanggul saja secara tidak langsung mengkhianati gagasan Kartini yang ditulisnya dalam surat-suratnya: kesetaraan, emansipasi.

Baca Juga :  Rekomendasi Kongres Perempuan Poso : Membangun Ekonomi Solidaritas

Pendidikan adalah Pembebasan

Pendidikan adalah pintu bagi kebebasan. Kira-kira demikian pandangan Kartini yang kemudian memotivasinya untuk sedapat mungkin mendapat akses pendidikan hingga harus susah payah membujuk ayahnya. Kartini memang kemudian mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan Sekolah Rendahan (sekarang setingkat dengan Sekolah Dasar – SD). Akses pendidikan yang dipunyai oleh Kartini ini pertama-tama karena pamannya, Ario Tjondronegoro yang saat itu Bupati Demak, serta ayahnya, R.M. Adipati Sosroningrat adalah pejabat yang menyadari kekuatan utama kemajuan suatu bangsa adalah ilmu pengetahuan sehingga secara sengaja memberikan akses pendidikan pada anak-anaknya, termasuk Kartini. Sangat sulit mendapatkan akses pendidikan saat itu, terutama perempuan selain karena tidak berhak juga karena perempuan hanya diharuskan untuk  mempersiapkan diri untuk dinikahi. Kesulitan untuk mendapatkan pendidikan bukan hanya datang dari kolonial Belanda tetapi juga oleh para pejabat saat itu.

Kartini dalam Nota menyebutkan “…orang Jawa, terutama kaum aristokratnya, bagi dirinya lebih suka dihidangi nasi putih di atas meja makannya, tapi tak rela melihat orang lain demikian juga; bagi orang lain dianggapnya nasi merah sudah lebih dari cukup. “pertahankan kebodohan khalayak ramai, orang pun akan tetap berkuasa atas mereka!” demikian semboyan banyak, kebanyakan pejabat tinggi yang makan hati melihat orang lain juga berusaha mendapatkan ilmu dan pengetahuan”( Nota, Jepara, Januari 1903).   Nota yang ditulis Kartini ini menggambarkan adanya ketakutan , baik oleh kolonial maupun para pejabat tinggi yang diangkat oleh kolonial saat itu, jika rakyat kebanyakan mengenyam pendidikan maka mereka akan memiliki kemerdekaan. Apalagi jika itu perempuan.

Kartini dalam usianya yang sangat muda yaitu 21 tahun ketika mulai menuliskan surat-suratnya, telah memberikan gagasan pentingnya pendidikan sebagai sebuah kekuatan bahkan sumber kekuasaan. Karena itu pula, saat selesai bersekolah di Sekolah Rendahan (yang dalam pengakuan Kartini merupakan kenangan hidupnya yang terindah) Kartini berinisiatif untuk mencari sumber-sumber bacaan yang bisa memperkaya pengetahuannya. Pengetahuan menurut Kartini akan membebaskan pikiran manusia yang dibelenggu dan diperbudak oleh orang yang memiliki pengetahuan. Penundukkan dan kepasrahan untuk ditindas dan didiskriminasi adalah karena ketidaktahuan dan kebodohan. Saat itu tidak ada radio yang memberikan informasi-informasi, tidak ada perpustakaan apalagi tokoh buku. Kartini menggunakan semua jenis bacaan yang memberikan pengetahuan-pengetahuan baru: majalah, koran, buku, dari hal-hal utama sampai iklan, dan – peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah jajahan. Pendidikan, bagi Kartini, membukakan berbagai kemungkinan bagi perempuan untuk memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Pendidikan bagi perempuan menempatkan perempuan dapat setara dengan laki-laki dalam memperjuangkan hidupnya. Pendidikan, bagi Kartini adalah untuk semua kelas sosial, juga untuk perempuan.

Merayakan Hari Kartini adalah merayakan terbukanya akses pendidikan terhadap perempuan yang memberikan ruang bagi perempuan untuk maju dan berkembang. Karena itu pula merayakan Hari Kartini menegaskan penting dan mendesaknya melanjutkan gagasan pendidikan untuk perempuan.  Salah satu bukti kemajuan perempuan adalah keterlibatan perempuan secara aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, bukan sebagai pelengkap atau memenuhi kuota saja tetapi dapat memiliki posisi strategis pengambil keputusan. Dalam hal ini  kata emansipasi merujuk pada partisipasi aktif perempuan dalam posisi yang penting segala bidang, meninggalkan jauh kebelakang pendapat bahwa tugas perempuan hanya di dapur atau melayani suami.

Emansipasi, jika dimaknai sebagai memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif dalam masyarakat juga telah menghilangkan makna kemanusiaan. Yaitu, bahwa perempuan memiliki peran aktif dalam masyarakat bukan karena diberikan kesempatan tetapi karena itu adalah haknya sebagai manusia, hak asasi. Demikian halnya kesetaraan bukan pemberian, tetapi hak sebagai manusia perempuan. Kartini dengan terang-terangan pernah mengutip Max Havelaar untuk menggambarkannya “ Tugas manusia adalah menjadi manusia”

Kartini Masa Kini             

Merayakan Kartini adalah merefleksikan kembali gagasan-gagasan Kartini tentang kebebasan perempuan dan pendidikan sebagai pintu kebebasan. Jika kenyataannya kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering terjadi, maka merayakan Hari Kartini adalah sebuah momentum untuk membebaskan perempuan dan anak-anak dari kekerasan. Demikian pula jika akses pendidikan bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin, terutama lagi para perempuan masih sulit dan dibatasi, maka merayakan Hari Kartini adalah membangun sebuah gerakan kesadaran pendidikan kritis bagi perempuan, bagi masyarakat untuk bisa memerdekakan mereka dari ketertindasan, diskriminasi termasuk dari penjajahan modern (kapitalisme). Dengan begitu, tepatlah judul yang diberikan pada kumpulan surat-surat Kartini , habiskanlah gelap karena kebodohan, terbitkanlah terang pembebasan, kemerdekaan manusia, perempuan.

 Pernah diterbitkan di Surat Kabar : Radar Poso, 23 April 2013

Baca Juga :  10 Tahun Mosintuwu : Membangun Gerakan tanpa Amplop dan Uang Duduk

Oleh : Lian Gogali

Foto by : @nobodycorp.

Apa yang diingat orang setiap tanggal 21 April yang dikenal dengan perayaan Hari Kartini? Kebaya dan Sanggul. Setidaknya hal ini terlihat dari banyak perayaan Hari kartini yang seringkali diadakan oleh pemerintah, termasuk oleh ibu-ibu PKK. Kata yang lain yang mengingatkan orang adalah emansipasi. Emansipasi dimengerti sebagai memberikan ruang bagi perempuan untuk bisa berpartisipasi aktif dalam masyarakat.  Kedua cara berpikir ini merupakan ironi besar di Perayaan Kartini.

Gagasan Kartini dikenal setelah surat-suratnya yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Atas inisiatif pribadi, Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon, mengumpulkan surat menyurat Kartini dan diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht, atau dalam bahasa Indonesia berarti “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku yang diterbitkan pada tahun 1911 merupakan keputusan pribadi Abendanon yang istrinya merupakan salah satu sahabat Kartini yang dikirimi surat. Door Duisternis tot Licht cetakan ke-4, berisi 105 pucuk surat Kartini, yang didalamnya terdapat kutipan dari catatan harian Kartini, sajak, dan Nota tentang pendidikan dan pengajaran, yang dimaksudkan untuk dikirimkannya kepada pemerintah Nederland. Dalam kata pengantarnya, Mr. Abendanon mengatakan bahwa penerbitan surat-surat Kartini ini adalah “sumbangan bagi perwujudan apa yang diperjuangkan”. Apa yang diperjuangkan Kartini? Dalam kumpulan surat-surat Kartini ini terdapat dua pokok pembicaraan Kartini, yaitu : kebebasan perempuan dan pendidikan pribumi.

Kebebasan Perempuan

Kerinduan akan adanya kebebasan perempuan tercermin dalam surat-surat Kartini kepada sahabatnya Estelle Zeehandelaar dan Ny. Abendanon. Menjadi perempuan pada jaman Kartini sangat terikat pada sistem patriakhi dan sistem feodalisme dimana perempuan bukan hanya mahluk nomor dua tetapi sekaligus budak laki-laki. Perempuan berada dalam lapisan terbawah sebagai orang yang diperhitungkan setelah lapisan status sosial, status politik, status ekonomi dan laki-laki. Meskipun sesorang memiliki status sosial, ekonomi dan bahkan keluarganya memiliki status politik (pejabat), tetapi jika dia adalah perempuan maka tidak memiliki hak apapun. Tidak punya hak berbicara, tidak ada hak memiliki pendidikan, bahkan tidak punya hak terhadap tubuhnya sendiri. Kartini sendiri adalah anak dari seorang bupati Jepara, namun sebagai perempuan, hidupnya diatur oleh ayahnya.

Pada usia 12 tahun, Kartini dipingit (tidak diperbolehkan keluar dari rumah) selama 4 tahun. Dalam suratnya, Kartini menjelaskan situasi itu “Waktu aku berumur dua belas tahun aku pun dipulangkan ke rumah – aku harus masuk ke dalam “kotak”; aku dikurung di dalam rumah dan sama sekali terputus hubungan dengan dunia luar, yang tak boleh kumasuki lagi, kalau tidak di samping seorang suami, seorang pria yang sama sekali tak kukenal, yang dipilihkan orangtua kami tanpa sepengetahuan kami. Sahabatku orang Eropa – sebagaimana kudengar di kemudian hari – telah mencoba berbagai daya untuk mengubah pendirian Ayah agar menarik keputusannya yang kejam terhadapku, si bocah yang ceria itu, tapi sia-sia usaha mereka – orangtuaku tiada dapat diubah –, dan masuklah aku ke dalam penjaraku. Empat tahun panjang-panjang telah kulewatkan dalam kurungan empat tembok tebal, tanpa melihat dunia luar. Bagaimana aku lewatkan masa itu aku tak tahu, yang aku ketahui hanyalah bahwa masa itu mengerikan”  (Surat, Jepara 25 Mei 1899, kepada Estella) . Kartini, memahami dengan benar bagaimana nasib perempuan yang tidak bebas karena pengalamannya sendiri. Seperti dalam penjara, katanya.

Gagasan tentang pentingnya kebebasan perempuan berakar pada pandangan Kartini bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama sebagai manusia. Merayakan hari Kartini adalah merayakan gagasan tentang kesetaraan. Gagasan kesetaraan akan menempatkan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, dalam bekerja, bersuara, berpikir, singkatnya memiliki hak yang sama dalam mengembangkan diri di bidang ekonomi, sosial , budaya dan politik yang kesemuanya adalah hak asasi manusia. Kenyataan bahwa sudah ada perempuan yang mendapatkan akses pendidikan, memiliki posisi politik dalam pemerintahan masih harus dihadapkan dengan kenyataan masih banyaknya kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Masih banyaknya kekerasan terhadap perempuan dan anak berakar pada pandangan yang bias gender terhadap perempuan bukan sebagai manusia tetapi mahluk yang dapat dirusak tubuh dan hidupnya, karena itu kekerasan seksual (misalnya) adalah kejahatan kemanusiaan bukan sekedar kejahatan asusila. Dalam hal inilah merayakan hari Kartini adalah juga sebuah peringatan tentang perjuangan untuk kebebasan perempuan masih harus diperjuangkan.

Kebaya dan sanggul telah memlintir, memutarbalikkan gagasan Kartini tentang kebebasan perempuan; tentang pendidikan bagi jalan kebebasan. Alih-alih hendak meneruskan gagasan Kartini, perayaan yang demikian hanyalah permukaan saja yaitu meniru gaya berpakaian Kartini (berkebaya dengan rambut disanggul). Padahal, berkebaya dengan rambut disanggul pada jaman Kartini adalah simbol  bagaimana perempuan diatur dan dimiliki oleh laki-laki. Kebaya secara filosofis mengatur gerak-gerik perempuan untuk tidak bebas; sanggul melambangkan kesopanan dan ketaatan perempuan pada aturan-aturan yang dibuat oleh sistem patriakhi. Dengan kata lain, merayakan Hari Kartini dengan kebaya dan sanggul saja secara tidak langsung mengkhianati gagasan Kartini yang ditulisnya dalam surat-suratnya: kesetaraan, emansipasi.

Baca Juga :  Perempuan, Mereka yang Ciptakan Lapangan Kerja

Pendidikan adalah Pembebasan

Pendidikan adalah pintu bagi kebebasan. Kira-kira demikian pandangan Kartini yang kemudian memotivasinya untuk sedapat mungkin mendapat akses pendidikan hingga harus susah payah membujuk ayahnya. Kartini memang kemudian mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan Sekolah Rendahan (sekarang setingkat dengan Sekolah Dasar – SD). Akses pendidikan yang dipunyai oleh Kartini ini pertama-tama karena pamannya, Ario Tjondronegoro yang saat itu Bupati Demak, serta ayahnya, R.M. Adipati Sosroningrat adalah pejabat yang menyadari kekuatan utama kemajuan suatu bangsa adalah ilmu pengetahuan sehingga secara sengaja memberikan akses pendidikan pada anak-anaknya, termasuk Kartini. Sangat sulit mendapatkan akses pendidikan saat itu, terutama perempuan selain karena tidak berhak juga karena perempuan hanya diharuskan untuk  mempersiapkan diri untuk dinikahi. Kesulitan untuk mendapatkan pendidikan bukan hanya datang dari kolonial Belanda tetapi juga oleh para pejabat saat itu.

Kartini dalam Nota menyebutkan “…orang Jawa, terutama kaum aristokratnya, bagi dirinya lebih suka dihidangi nasi putih di atas meja makannya, tapi tak rela melihat orang lain demikian juga; bagi orang lain dianggapnya nasi merah sudah lebih dari cukup. “pertahankan kebodohan khalayak ramai, orang pun akan tetap berkuasa atas mereka!” demikian semboyan banyak, kebanyakan pejabat tinggi yang makan hati melihat orang lain juga berusaha mendapatkan ilmu dan pengetahuan”( Nota, Jepara, Januari 1903).   Nota yang ditulis Kartini ini menggambarkan adanya ketakutan , baik oleh kolonial maupun para pejabat tinggi yang diangkat oleh kolonial saat itu, jika rakyat kebanyakan mengenyam pendidikan maka mereka akan memiliki kemerdekaan. Apalagi jika itu perempuan.

Kartini dalam usianya yang sangat muda yaitu 21 tahun ketika mulai menuliskan surat-suratnya, telah memberikan gagasan pentingnya pendidikan sebagai sebuah kekuatan bahkan sumber kekuasaan. Karena itu pula, saat selesai bersekolah di Sekolah Rendahan (yang dalam pengakuan Kartini merupakan kenangan hidupnya yang terindah) Kartini berinisiatif untuk mencari sumber-sumber bacaan yang bisa memperkaya pengetahuannya. Pengetahuan menurut Kartini akan membebaskan pikiran manusia yang dibelenggu dan diperbudak oleh orang yang memiliki pengetahuan. Penundukkan dan kepasrahan untuk ditindas dan didiskriminasi adalah karena ketidaktahuan dan kebodohan. Saat itu tidak ada radio yang memberikan informasi-informasi, tidak ada perpustakaan apalagi tokoh buku. Kartini menggunakan semua jenis bacaan yang memberikan pengetahuan-pengetahuan baru: majalah, koran, buku, dari hal-hal utama sampai iklan, dan – peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah jajahan. Pendidikan, bagi Kartini, membukakan berbagai kemungkinan bagi perempuan untuk memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Pendidikan bagi perempuan menempatkan perempuan dapat setara dengan laki-laki dalam memperjuangkan hidupnya. Pendidikan, bagi Kartini adalah untuk semua kelas sosial, juga untuk perempuan.

Merayakan Hari Kartini adalah merayakan terbukanya akses pendidikan terhadap perempuan yang memberikan ruang bagi perempuan untuk maju dan berkembang. Karena itu pula merayakan Hari Kartini menegaskan penting dan mendesaknya melanjutkan gagasan pendidikan untuk perempuan.  Salah satu bukti kemajuan perempuan adalah keterlibatan perempuan secara aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, bukan sebagai pelengkap atau memenuhi kuota saja tetapi dapat memiliki posisi strategis pengambil keputusan. Dalam hal ini  kata emansipasi merujuk pada partisipasi aktif perempuan dalam posisi yang penting segala bidang, meninggalkan jauh kebelakang pendapat bahwa tugas perempuan hanya di dapur atau melayani suami.

Emansipasi, jika dimaknai sebagai memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif dalam masyarakat juga telah menghilangkan makna kemanusiaan. Yaitu, bahwa perempuan memiliki peran aktif dalam masyarakat bukan karena diberikan kesempatan tetapi karena itu adalah haknya sebagai manusia, hak asasi. Demikian halnya kesetaraan bukan pemberian, tetapi hak sebagai manusia perempuan. Kartini dengan terang-terangan pernah mengutip Max Havelaar untuk menggambarkannya “ Tugas manusia adalah menjadi manusia”

Kartini Masa Kini             

Merayakan Kartini adalah merefleksikan kembali gagasan-gagasan Kartini tentang kebebasan perempuan dan pendidikan sebagai pintu kebebasan. Jika kenyataannya kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering terjadi, maka merayakan Hari Kartini adalah sebuah momentum untuk membebaskan perempuan dan anak-anak dari kekerasan. Demikian pula jika akses pendidikan bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin, terutama lagi para perempuan masih sulit dan dibatasi, maka merayakan Hari Kartini adalah membangun sebuah gerakan kesadaran pendidikan kritis bagi perempuan, bagi masyarakat untuk bisa memerdekakan mereka dari ketertindasan, diskriminasi termasuk dari penjajahan modern (kapitalisme). Dengan begitu, tepatlah judul yang diberikan pada kumpulan surat-surat Kartini , habiskanlah gelap karena kebodohan, terbitkanlah terang pembebasan, kemerdekaan manusia, perempuan.

 Pernah diterbitkan di Surat Kabar : Radar Poso, 23 April 2013

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda