Semangat Belajar di Sekolah Perempuan, Rela Jalan Kaki 5 KM dan Numpang Truka 5km walk and a truck journey in the Women School

0
1512

Belajar memang tidak mengenal usia, ungkapan ini bisa dilihat dari sejumlah perempuan yang tergabung dalam sebuah pendidikan alternatif yaitu sekolah perempuan. Sekolah Perempuan adalah sekolah alternative bagi perempuan yang didirikan oleh Institut Mosintuwu sejak tahun 2010. Tempat belajar bersama di Sekolah Perempuan dilaksanakan secara berpindah-pindah di 6 kecamatan. Kendala transportasi atau biaya tidak menghalangi mereka untuk datang, kendati harus berjalan kaki hingga 5 kilometer atau menumpang mobil truk untuk menuju sekolah.

Sekolah ini sebenarnya tidak seperti kebanyakan ruang kelas tempat siswa atau mahasiswa belajar. Di sekolah perempuan yang pesertanya sebagian besar adalah ibu rumah tangga ini cukup duduk lesehan, beberapa kali sekolah dilakukan di alam terbuka, di rumah, di kantor desa juga di beberapa rumah ibadah. Di setiap pertemuan, mereka berdiskusi mengenai topik yang tersusun dalam sebuah kurikulum pendidikan layaknya sebuah sistem pendidikan modern namun disini dikemas secara sederhana.

Roslin Kolu, seorang perempuan yang sudah berumur rela berjalan kaki sejauh hampir 5 kilometer dari rumahnya di dusun Toaro, kalurahan Sawidago, Pamona Utara, ke sekolah perempuan di kelurahan Pamona. Jarak tidak menjadi halangan dia. Belajar bagaimana agar cakap berkomunikasi dengan lebih percaya diri dan memiliki pandangan luas menjadi alasan mengapa Roslin rela berkeringat untuk bisa berdiskusi dan mendengarkan materi yang disampaikan Jhon Lusikooy, salah seorang pengajar di sekolah perempuan Mosintuwu.

Bukan hanya Roslin, yang mau bersusah payah untuk mendapatkan ilmu, meski sudah tidak muda lagi, Samsia, yang berasal dari kelurahan Tegal Rejo, Poso Kota Utara, bahkan harus menumpang sebuah mobil truk untuk bisa sampai ke sekolah perempuan. Selain Samsia, beberapa orang perempuan lainnya juga harus menumpang mobil open kap untuk bisa berdiskusi dengan perempuan lainnya.

Baca Juga :  Karnaval Hasil Bumi Wujud Syukur pada Alam dan Sang Pencipta

Sekolah perempuan Mosintuwu, sudah berdiri sejak 2009 silam, merupakan tempat berhimpunnya perempuan di Poso untuk mendapatkan pengetahuan, bukan hanya bagaimana membuat kue atau masakan lain, di sekolah itu mereka belajar ilmu hukum, bagaimana berpolitik, bertutur dan sejarah serta adat istiadat Poso. Sekolah alternative ini memiliki cita-cita mentransformasi pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat memperjuangkan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan sipil politik, terutama bagi perempuan. Menurut Lian Gogali, pendiri Sekolah Perempuan Mosintuwu, konsep belajar bersama yang dilakukan di Sekolah Perempuan bukan hanya untuk mendapatkan pengetahuan yang selama ini tidak didapatkan, tetapi juga membuka ruang kebersamaan antar komunitas yang sebelumnya memiliki trauma, dendam, rasa tidak percaya satu sama lain pasca konflik. Pengetahuan yang didapatkan dalam proses belajar bersama ini, demikian lanjut Lian, menjadi jembatan bagi mereka untuk mengerti dan memahami, mengurai dendam, membangun kepercayaan, lalu menciptakan perdamaian bersamaan dengan bagaimana mereka mengadvokasi diri sendiri dan komunitas untuk menjaga Poso yang damai dan adil.

Hasil Sekolah Perempuan sangat mengejutkan. Dua orang ibu rumah tangga, lulusan Sekolah Menengah Pertama, mencalonkan diri menjadi anggota legislative, dan semua anggota Sekolah Perempuan sudah mengikuti pertemuan-pertemuan mengambil keputusan di desa, kecamatan. Di setiap wilayah sekolah perempuan, ibu-ibu lulusan Sekolah Perempuan telah melakukan advokasi kasus-kasus kekerasan, dan saat ini terdapat 10 kelompok kebun organik yang dikelola oleh ibu-ibu Sekolah Perempuan. Hal yang terpenting, sebagai wilayah pasca konflik berdarah, Sekolah Perempuan menjadi ruang penting untuk membangun kembali kepercayaan antar komunitas dan mewujudkan perdamaian. Ratusan ibu-ibu Sekolah Perempuan yang berasal dari 24 desa di Kabupaten Poso, beragama Islam, Kristen dan Hindu mengikat tali persaudaraan melalui sekolah perempuan. Mereka menjadi bukti bahwa perdamaian sejati di Poso sangat mungkin, dan dimulai dari perempuan.

Baca Juga :  Pembongkaran Yondo mPamona, Warga Bincangkan Sejarah dan Nilai yang Hilang

Dimuat di Radar Poso, tanggal 8/05/2013.
Learning certainly doesn’t recognise age. This statement can be seen in the number of women who are engaged in alternative education at the women’s school. The women’s school is an alternative school for women that was established by Mosintuwu Institute in 2010. Group learning places at the women’s school have been established in 6 sub-districts. Neither transportation restraints nor costs stop the students from coming, even though some must walk 5 kilometres or catch a ride in a truck to reach the school.

This school is quite different from most classrooms where school or university students study. At the women’s school, where most participants are housewives, they make do sitting on the floor. Several times lessons have been held in the open air, in houses, in village offices and in places of worship. At each meeting, they discuss topics which have been put together into a curriculum suitable for a modern education system, although here it is packaged simply.

Roslin Kolu is an older woman willing to walk as far as 5 km from her house in Toaro village to the women’s school in Pamona village. Distance is no obstacle for her. Learning how to communicate more confidently and to gain a wider perspective is the reason why Roslin is willing to sweat for the chance to discuss and listen to material delivered by Jhon Lusikooy, one of the teachers at Mosintuwu women’s school. Roslin is not the only woman who’s willing to make a big effort to obtain knowledge. Despite her advancing age, Samsia, who is from the Tegal Rejo district, North Poso, has to ride in a truck to reach the women’s school. In addition to Sampsia, several other women also have to ride in an open roof vehicle for the chance to have discussions with other women.

Baca Juga :  LAULITA, Antara Mitos dan Logos

Mosintuwu women’s school, which was established in 2010 is a meeting place for women in Poso to gain knowledge about far more than making cakes or other dishes. At the school they study law, how to participate in politics, and they speak about the history and local customs of Poso. This alternative school has aspirations to transform knowledge and skills into the ability to struggle for economic, social, cultural, civil and political rights, especially for women.

The results of the women’s school are very surprising. Two housewives, junior high school graduates, have put themselves forward as candidates to become legislative members. In each area of the women’s school, the school’s graduates have conducted advocacy in cases of violence, and currently there are 10 organic garden which are managed by women from the school. Most importantly, in an area recovering from brutal conflict, the women’s school is an important space for redeveloping trust between communities and creating peace. Hundreds of women from the school, from the 24 villages in Poso Regency and of Muslim, Christian and Hindus faiths, bind the ties of community solidarity through the women’s school. They are proof that genuine peace in Poso is definitely possible, and it starts with women.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda