Raru Topuha, Menghidupkan Ekonomi Desa dari Hasil Hutan

0
660
Raru dan suaminya sedang menyelesaikan anyaman bakul dari rotan yang diambil dari hutan . Foto : Dok. Mosintuwu/RayRarea

Raru gelisah. Desanya dikenal memiliki tanah yang subur dan hutan yang baik. Selama bertahun-tahun warga dari desa mengandalkan hutan untuk menjaga pasokan air, memberikan bahan untuk mengembangkan perekonomian warga.

“Sayangnya sekarang, di Tomehipi sudah mulai terjadi kerusakan hutan. Padahal sudah ada penetapan hutan desa seluas 1,903 hektar yang harus dilindungi, yang bisa kita olah, ini akan mengganggu bukan hanya kelestarian alam tapi juga sumber ekonomi” cerita Raru.

Desa Tomehipi memiliki tanah pertanian yang subur, tapi masih banyak warganya belum sejahtera. Bagi Raru, tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan kekayaan alam itu dengan manajemen waktu.

 “Orang lain bisa mengolah kebun, tapi yang lain tidak melakukan apapun, jadi tidak menggunakan waktu sebaik-baiknya. Bisa saya katakan, ada orang yang sebelumnya dianggap di belakang, menjadi terdepan. Padahal masih banyak lahan yang bisa diolah di desa Tomehipi” katanya dalam sebuah perbincangan bersama redaksi mosintuwu.com.

Di Tomehipi, banyak kebun yang sudah ada tanamannya sekarang tidak lagi terolah. Ini terjadi sampai tahun 2021 lalu.

Banyak kendala juga yang dialami petani sehingga membuat mereka kurang semangat mengolah kebun. Salah satu sebabnya, ternak yang berkeliaran bebas. Tanaman mereka, padi dan kakao kerap rusak oleh ternak mulai dari kerbau, sapi hingga babi yang tidak digembalakan dengan baik. Banyak hewan peliharaan seperti kerbau, sapi dan babi di kecamatan Lore Barat, ternak dari desa Tuare yang ada disebelah barat ditambah ternak warga Tomehipi yang dibiarkan berkeliaran merusak tanaman padi hingga kakao.

Baca Juga :  Memaknai Kembali Identitas di Festival Mosintuwu

Hewan ini merusak sawah dan kebun-kebun yang ada dipinggir sungai Laeriang, salah satu sungai terpanjang di Sulawesi yang melintas di depan desa Tomehipi. Hewan-hewan yang tidak digembalakan ini turut merusak tanaman jagung dan kakao milik keluarga Raru. 

“Jadinya kita olah saja, tapi tidak ada hasilnya”kata dia.

Untuk mengatasi masalah ini, sudah beberapa kali pemerintah desa Tomehipi dan desa Tuare berkomunikasi untuk membicarakannya, baik melalui surat, maupun pertemuan informal meminta agar  mengeluakan kebijakan supaya kerbau-kerbau yang berkeliaran di kebun-kebun warga di tertibkan.  Sebenarnya sudah ada hukuman bagi pemilik ternak yang merusak sawah dan kebun. Bahkan nilai dendanyasudah ditetapkan, 3 kaleng beras untuk satu are sawah yang dirusak. Namun memang agak susah juga untuk menegakkan ini.

“Sampai sekarang kita belum lihat hasilnya”kata Raru. Menurutnya, kalau persoalan pengaturan ternak ini tidak cepat teratasi, perekonomian di desanya sulit maju.

Perempuan Harus Terlibat Membangun Desa 

Raru Topuha adalah fasilitator Sekolah Pembaharu Desa (SPD) di kecamatan Lore Barat. Dia tinggal di desa Tomehipi, sebuah desa kecil yang wilayahnya dikelilingi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Sebenarnya Raru bukan penduduk asli desa ini. Dia ikut suaminya. Raru lahir dan besar di desa Lengkeka, ibukota kecamatan Lore Barat. Sekitar 5 kilometer jaraknya dari Tomehipi.

Aktif di Institut Mosintuwu sebagai fasilitator Sekolah Pembaharu Desa (SPD) sejak tahun 2019, awalnya banyak yang tidak mengetahui apa sebenarnya yang diperjuangkan Raru. Ada pula yang masih belum mengerti mengapa dia mau mendorong peran perempuan untuk terlibat dalam pembangunan desa.  

Baca Juga :  Kebun Bersama : Gerakan Kembali Berkebun, Belajar dari Sejarah Wabah Poso

Bersama perempuan lain, mereka bergerak mendapatkan kesempatan memutuskan hal-hal penting di desa, termasuk mendesak agar suara perempuan didengarkan secara serius dalam proses pembangunan desa. Bukan hanya soal akses dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Raru mulai mengajak warga disekitar rumahnya memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam dan mengolah kembali lahan-lahan yang sebelumnya sudah dibuka untuk kebun.

Sejak tahun 2019, Raru bergabung di Institut Mosintuwu. Disini dia mendapat tambahan pengetahuan tentang desa. Dengan bekal pengetahuan itu dia kemudian bertekad ikut membangun desa. Caranya, menyuarakan pendapat dalam setiap pertemuan desa.

“Apa yang saya rasa tidak cocok dilakukan oleh pemerintah desa saya protes”katanya. Yang diprotes kadang kala hal yang jarang diperhatikan orang. Seperti ketika pemerintah desa lakukan pertemuan untuk perencanaan pembangunan tanpa melalui musyawarah desa. 

Memang ada tantangan yang dihadapinya. Sebagai orang yang tidak lahir di desa Tomehipi, ada yang menganggap dia sebagai orang luar. Pandangan ini jadi semacam tantangan bagi Raru. Namun dia mematahkan pandangan itu. Selain jadi fasilitator sekolah perempuan di Tomehipi dan 3 desa lain di Lore Barat, dia juga adalah ketua kelompok tani perempuan desa. Raru uga jadi kader Posyandu dan ketua Kelompok Perempuan Madonde. Madonde adalah kelompok pengrajin rotan yang dibentuk di desa Tomehipi.

Baca Juga :  Dokumen Warisan Geologi, Langkah Menuju Geopark Danau Poso

Raru bisa melalui semua tantangan karena tidak pernah merasa minder. meskipun dia hanya lulus SMP. Dia terus maju, namun tidak ingin telrihat tampil di depan. 

Raru dan Martince, fasilitator Sekolah Pembaharu Desa saat menyusuri wilayah Lore Barat untuk mengorganisir anggota Sekolah Pembaharu Desa. Foto : Dokumen Pribadi

Perusakan Hutan Ancam Kerajinan Rotan 

Di Tomehipi Raru memimpin kelompok Perempuan Madonde, jumlah anggotanya 15 orang. Mereka mengolah rotan yang masih mudah ditemukan di hutan desa untuk jadi beragam produk. Hasilnya lumayan bisa menambah penghasilan warga. 

Dari penjualan kerajinan itu, Raru bisa membayar biaya sekolah anaknya, mulai dari SMP, SMA sampai kuliah.

“Kerajinan hasil hutan sebenarnya punya potensi besar kalau bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya kalau semua orang punya kemauan”katanya tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mereka usahakan.

Tapi sayangnya sekarang, di desa Tomehipi sudah mulai terjadi kerusakan hutan. Padahal sudah ada penetapan hutan desa seluas 1,903 hektar yang harus dilindungi, yang bisa diolah warga. Oleh warga Tomehipi, sejak tahun 2020 hutan desa ditanami Kemiri dan Jati yang bisa berproduksi. 

Raru berharap, hutan desa yang sudah ditanami bisa memastikan mereka bisa tetap punya sumber penghidupan dimasa mendatang. Dimana sumber-sumber pertanian mereka yang ada di pinggir sungai Laeriang erancam oleh rencana masuknya investasi PLTA yang menjadikan sungai itu sebagai sumber penggerak turbin yang akan menghasilkan listrik sebesar 720 MW.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda