Membangun “Rumah” Perlindungan Perempuan dan Anak

0
1834

“Jika anda ingin tahu bagaimana peradaban sebuah masyarakat, lihatlah bagaimana mereka memperlakukan perempuan” Bacha Kan, seorang tokoh dari Pakistan pernah mengatakannya. Ya, mimpi tentang desa yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah mimpi tentang  peradaban masyarakat yang adil dan damai. Mimpi itu yang dirajut dalam bersama oleh lulusan sekolah perempuan yang bergabung dalam tim rumah perlindungan perempuan dan anak ( RPPA). Ide tim ini, menurut Ketua  Mosintuwu, Lian Gogali, adalah membangun gerakan bersama masyarakat atas kesetaraan dan kemanusiaan, dimana tidak ada kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan dan anak di desa.

Jalan panjang membangun mimpi tersebut dimulai dengan membangun kesepahaman konsep dan komitmen tim RPPA. Hal ini dimulai dengan mempersiapkan tim RPPA menjadi pejuang anti kekerasan terhadap perempuan dan anak di desanya. Tanggal 25 – 29 Januari 2016, 19 anggota tim RPPA dari 17 desa di 10 kecamatan mengikuti ketrampilan pendampingan dan manajemen kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Dodoha Mosintuwu.  Keterbatasan sumber daya dan pertimbangan optimalisasi pembelajaran menyebabkan mereka yang mengikuti training diutamakan pada mereka yang telah memulai langkah awal bekerja untuk perlindungan anak dan perempuan di desanya, termasuk pertimbangan sikap kooperatif pemerintah desa dan institusi kepolisian.

Sondang Sidabutar, psikolog praktisi lapangan yang telah bekerja lebih dari 15 tahun di berbagai tempat di Indonesia, menfasilitasi proses training yang dilakukan sejak pukul 08.00 hingga 20.00 . Training yang dilaksanakan dengan metode kreatif dan menggunakan bahan-bahan dari sampah ini membicarakan topik-topik , antara lain tahap usia dan tugas perkembangan manusia (bayi-dewasa);  prinsip dasar pemulihan integratif untuk perempuan dan anak korban kekerasan; dampak kekerasan pada perempuan dan anak; pemetaan dan potret kondisi dan kebutuhan pemulihan korban kekerasan; prinsip dan konsep dasar ketrampilan pendampingan. Teori tentang pendampingan korban kekerasan ini dipertajam dengan melatih ketrampilan peserta. Empati, observasi, memberikan tanggapan sensitif dan memberdayakan, memfasilitasi pengambilan keputusan, komunikasi asertif, konseling dan pengantar kegiatan pendukung untuk anak , adalah ketrampilan yang dibicarakan bersama-sama dengan peserta training.

Baca Juga :  Megilu 7 Hari

“Belajar mendengarkan korban” Sondang menekankan berulang kali. Kecenderungan pendamping memberikan nasehat bahkan kotbah pada korban menjadi salah satu tantangan agar pendampingan tidak mengobyekkan korban. “Saya tahu susah menjadi pendamping” ujar ibu Margareth dari Desa Kilo, “ seringkali kita mau mendampingi dianggap hanya gila urusan. Begitu didampingi, kita kesulitan berkomunikasi, belum lagi jika anggota keluarga menutupi bahkan cenderung membiarkan kekerasan” lanjutnya.

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di desa maupun pengalaman pribadi menjadi bahan bersama anggota tim untuk melakukan bedah kasus dan pemetaan kasus. Cerita tentang penolakan keluarga korban, dicabutnya pelaporan kasus oleh korban, keterlibatan tokoh dalam melindungi pelaku, menjadi bahan diskusi seru. Dalam diskusi anggota tim RPPA diajak menganalisa kasus bukan hanya pada peristiwanya tapi juga konteks ekonomi dan sosial budaya dimana korban berada. “Sebagian besar korban yang tidak melapor justru karena pelaku-nya adalah keluarganya sendiri. Diancam dan malu karena dianggap aib seringkali jadi alasan. Bahkan ada pelaku yang dilindungi oleh orang terdekat dari korban sendiri dengan alasan ekonomi” Ibu Evi menceritakan pengalamannya.

Ada harapan yang muncul pada akhir training. Meskipun awal, tim RPPA menyepakati kerja bersama untuk kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan pengamatan Sondang yang telah berulangkali membantu Mosintuwu dalam mengembangkan RPPA, ditemukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran adalah tiga jenis kekerasan yang paling sering terjadi di Kabupaten Poso. Menindaklanjuti training, disepakati untuk melakukan kegiatan sosialisasi di sekolah-sekolah, kampus dan perkumpulan/pertemuan dalam desa dengan mengangkat tiga topik tersebut.

Membangun perlindungan terhadap perempuan dan anak di desa-desa di Kabupaten Poso, adalah membangun rumah yang aman bagi setiap orang. Rumah yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, akan membentuk generasi yang mencintai keadilan dan mendapatkan haknya.

Baca Juga :  Mosikola Teologi : Berteologi yang Kontekstual Membebaskan


“Jika anda ingin tahu bagaimana peradaban sebuah masyarakat, lihatlah bagaimana mereka memperlakukan perempuan” Bacha Kan, seorang tokoh dari Pakistan pernah mengatakannya. Ya, mimpi tentang desa yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah mimpi tentang  peradaban masyarakat yang adil dan damai. Mimpi itu yang dirajut dalam bersama oleh lulusan sekolah perempuan yang bergabung dalam tim rumah perlindungan perempuan dan anak ( RPPA). Ide tim ini, menurut Ketua  Mosintuwu, Lian Gogali, adalah membangun gerakan bersama masyarakat atas kesetaraan dan kemanusiaan, dimana tidak ada kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan dan anak di desa.

Jalan panjang membangun mimpi tersebut dimulai dengan membangun kesepahaman konsep dan komitmen tim RPPA. Hal ini dimulai dengan mempersiapkan tim RPPA menjadi pejuang anti kekerasan terhadap perempuan dan anak di desanya. Tanggal 25 – 29 Januari 2016, 19 anggota tim RPPA dari 17 desa di 10 kecamatan mengikuti ketrampilan pendampingan dan manajemen kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Dodoha Mosintuwu.  Keterbatasan sumber daya dan pertimbangan optimalisasi pembelajaran menyebabkan mereka yang mengikuti training diutamakan pada mereka yang telah memulai langkah awal bekerja untuk perlindungan anak dan perempuan di desanya, termasuk pertimbangan sikap kooperatif pemerintah desa dan institusi kepolisian.


Sondang Sidabutar, psikolog praktisi lapangan yang telah bekerja lebih dari 15 tahun di berbagai tempat di Indonesia, menfasilitasi proses training yang dilakukan sejak pukul 08.00 hingga 20.00 . Training yang dilaksanakan dengan metode kreatif dan menggunakan bahan-bahan dari sampah ini membicarakan topik-topik , antara lain tahap usia dan tugas perkembangan manusia (bayi-dewasa);  prinsip dasar pemulihan integratif untuk perempuan dan anak korban kekerasan; dampak kekerasan pada perempuan dan anak; pemetaan dan potret kondisi dan kebutuhan pemulihan korban kekerasan; prinsip dan konsep dasar ketrampilan pendampingan. Teori tentang pendampingan korban kekerasan ini dipertajam dengan melatih ketrampilan peserta. Empati, observasi, memberikan tanggapan sensitif dan memberdayakan, memfasilitasi pengambilan keputusan, komunikasi asertif, konseling dan pengantar kegiatan pendukung untuk anak , adalah ketrampilan yang dibicarakan bersama-sama dengan peserta training.

Baca Juga :  Pemda Poso Abai, Cagar Budaya di Poso Semakin Terancam

“Belajar mendengarkan korban” Sondang menekankan berulang kali. Kecenderungan pendamping memberikan nasehat bahkan kotbah pada korban menjadi salah satu tantangan agar pendampingan tidak mengobyekkan korban. “Saya tahu susah menjadi pendamping” ujar ibu Margareth dari Desa Kilo, “ seringkali kita mau mendampingi dianggap hanya gila urusan. Begitu didampingi, kita kesulitan berkomunikasi, belum lagi jika anggota keluarga menutupi bahkan cenderung membiarkan kekerasan” lanjutnya.


Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di desa maupun pengalaman pribadi menjadi bahan bersama anggota tim untuk melakukan bedah kasus dan pemetaan kasus. Cerita tentang penolakan keluarga korban, dicabutnya pelaporan kasus oleh korban, keterlibatan tokoh dalam melindungi pelaku, menjadi bahan diskusi seru. Dalam diskusi anggota tim RPPA diajak menganalisa kasus bukan hanya pada peristiwanya tapi juga konteks ekonomi dan sosial budaya dimana korban berada. “Sebagian besar korban yang tidak melapor justru karena pelaku-nya adalah keluarganya sendiri. Diancam dan malu karena dianggap aib seringkali jadi alasan. Bahkan ada pelaku yang dilindungi oleh orang terdekat dari korban sendiri dengan alasan ekonomi” Ibu Evi menceritakan pengalamannya.


Ada harapan yang muncul pada akhir training. Meskipun awal, tim RPPA menyepakati kerja bersama untuk kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan pengamatan Sondang yang telah berulangkali membantu Mosintuwu dalam mengembangkan RPPA, ditemukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran adalah tiga jenis kekerasan yang paling sering terjadi di Kabupaten Poso. Menindaklanjuti training, disepakati untuk melakukan kegiatan sosialisasi di sekolah-sekolah, kampus dan perkumpulan/pertemuan dalam desa dengan mengangkat tiga topik tersebut.

Membangun perlindungan terhadap perempuan dan anak di desa-desa di Kabupaten Poso, adalah membangun rumah yang aman bagi setiap orang. Rumah yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, akan membentuk generasi yang mencintai keadilan dan mendapatkan haknya.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda