Kurikulum Sekolah Perempuan : Perempuan Agen Perdamaian dan Keadilan

1
4907
Sekolah Perempuan Mosintuwu Angkatan 1. Foto : dok. Mosintuwu

Salah satu penerbit yang terkenal di Jogja dengan buku-buku berisi kritik sosial pernah menerbitkan buku dengan judul “ Orang Miskin dilarang Sekolah” . Buku ini mengingatkan betapa diskriminatifnya pendidikan di Indonesia yang mengakibatkan orang-orang miskin sulit mendapatkan akses bersekolah.

Hal yang sama dalam konteks berbeda juga terjadi pada perempuan. Perempuan, dalam konteks masyarakat patriakhi seringkali adalah pihak yang dinomorduakan untuk mendapatkan akses bersekolah. Ada semacam asumsi bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, toh akan kembali ke dapur saja.   Demikian pula dalam dinamika ekonomi, sosial, budaya dan politik di masyarakat, perempuan “dilarang” atau “tabu” , atau “aneh” , “janggal” jika terlibat. Apalagi mereka adalah perempuan akar rumput, yang tidak memiliki status ekonomi dan sosial yang tinggi di hadapan masyarakat.

Kehadiran sekolah perempuan Mosintuwu bukan hanya mengisi ruang alternative pendidikan bagi perempuan akar rumput tetapi menjawab kebutuhan keterlibatan perempuan secara aktif dalam pembangunan; memperjuangkan hak agar tidak lagi didiskriminasi, disubordinasi, atau mengalami penindasan. Cita-cita tersebut didukung oleh kurikulum sekolah perempuan yang dirancang untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan perempuan pada upaya perjuangan atas hak ekonomi, sosial, budaya dan politik mereka.

Mengikuti perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan politik di Kabupaten Poso dan sekitarnya, serta di Indonesia dan dunia, topik  dalam kurikulum Sekolah Perempuan mengalami perkembangan ( Baca: Workshop Kurikulum dan Modul Sekolah Perempuan). Terdapat tiga tahapan di sekolah perempuan, yaitu kurikulum dasar, kurikulum lanjutan dan kurikulum khusus.

Kurikulum dasar Sekolah Perempuan, mengembangkan 9 materi utama, yaitu:

  1.  Agama, Toleransi dan Perdamaian
  2. Keadilan Gender
  3. Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Politik
  4. Hak Layanan Masyarakat
  5. Perempuan dan Budaya
  6. Perempuan dan Politik
  7. Ketrampilan berbicara, bernalar dan menulis
  8. Ekonomi Solidaritas
  9. Kesehatan Seksual dan Hak Reproduksi

Kurikulum dasar dilanjutkan dengan kurikulum lanjutan, yang akan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan perempuan dalam melakukan advokasi,. Hal ini terlihat dari materi dan topik bahasan yang terdiri dari:

  1. Manajemen organisasi
  2.  Perencanaan partisipatif
  3.  Pengelolaan sda
  4.  Ekonomi solidartasi
  5.  Advokasi dan litigasi
  6.  Monitoring dan evaluasi
  7.  Teknik komunikasi
Baca Juga :  Mewariskan Ilmu Pengetahuan dan Toleransi, Semangat dari Haul Guru Tua

Pengembangan tahap dua Sekolah Perempuan diharapkan dapat melahirkan kelompok perempuan pemimpin baru dalam desa yang mampu terlibat aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa. Tahap kedua dari sekolah perempuan ini akan menjadi bagian dari menindaklanjuti hasil Kongres Perempuan Poso yang mendorong perempuan akar rumput berpolitik aktif dalam menentukan masa depan ekonomi, sosial, budaya di desanya, sekaligus bagian dari merespon hadirnya UU Desa.

Tidak hanya sampai disitu, mempraktekkan dengan ketrampilan tertentu difasilitasi melalui kurikulum khusus Sekolah Perempuan.  Topik-topik bahasan khusus tersebut terdiri dari:

  1. Teknik pemetaan desa
  2. Pengelolaan badan usaha milik desa,
  3. Analisis Dampak Lingkungan .

Tahapan ke tiga dari sekolah perempuan, bermaksud untuk mendorong kelompok perempuan akar rumput bersama-sama dengan masyarakat di desa berdaulat atas ekonomi, sosial, budaya dan politik di desa.  Pada tahapan ketiga ini juga akan dikembangkan program-program khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan dari konteks masing-masing desa, misalnya : warung informasi, pos pengaduan, program paralegal.

Wajah baru kurikulum Sekolah Perempuan Mosintuwu menegaskan bahwa kelompok perempuan masyarakat akar rumput  membangun bersama ruang-ruang yang memungkinkan untuk dapat: pertama mengingatkan stakeholder di desa, kecamatan hingga kabupaten untuk kembali pada kepentingan adanya keadilan bagi rakyat , kedua mempengaruhi kebijakan-kebijakan di tingkatan desa, kecamatan hingga kabupaten agar sesuai dengan kepentingan kesejahteraan rakyat, dan  ketiga,  kemampuan untuk merebut kedaulatan rakyat atas ekonomi, sosial, budaya dan politik demi perdamaian dan keadilan bagi rakyat.

Pendidikan di Sekolah Perempuan bukanlah pendidikan formal. Berkaca pada pengalaman sehari-hari para peserta sekolah untuk dapat menjawab kebutuhan dan kepentingan mereka agar tidak dimiskinkan, dimarginalkan berlapis, sebaliknya mereka dimanusiakan.  Dengan demikian, perempuan membangun model perdamaian dan perjuangan untuk keadilan. Bukankah untuk itulah pendidikan diperuntukkan?

One of the well-known publishers in Jogja with books containing social criticism ever published a book entitled “The Poor prohibited to School”. This book reminded how discriminatory education in Indonesia, where the poor difficult to have access to school.

Baca Juga :  Menolak Budaya Kekerasan Terhadap Perempuan

The same thing in different contexts also occur for a women. Women, in the context of patriarchal society is often diminished to gain access to school. There is a kind of assumption that women do not need a school, they will anyway going back to the kitchen. Similarly, the dynamics of economic, social, and political culture in society, women “forbidden” or “taboo”, or “weird”, “strange” if  they want to involved. Moreover if they are grassroots women, who do not have the economic and social status in the society.

Women School, attendance are not only fills an alternative space for grassroots women’s education but to answer the needs of the active involvement of women in development; fighting for the right to no longer be discriminated, subordinated, or oppressed. This idea supported by  the curriculum that designed to develop the knowledge and skills of women in efforts to fight for the rights of economic, social, cultural and political.

Following the development of economic, social, cultural and political in Poso and surrounding areas, as well as in Indonesia and the world, the topics in the curriculum of the School of Women change. (Read: Women School Workshop Curriculum and Modules). There are three stages in the women school, which is the basic curriculum, advanced curriculum and specialized curriculum.

The basic curriculum, develops 9 main topics:

1 Religion, Tolerance and Peace

2 Gender Justice

3. Economic, Social, Cultural and Political Rights

4.  Rights on Social Community Services

5. Women and Culture

6. Women and Politics

7. Speaking , Reasoning and writing skills

8. Economic Solidarity

9. Sexual Health and Reproductive Rights

The basic curriculum followed by the advanced curriculum, which will develop the knowledge and skills of women in advocacy,. This can be seen from the material and topics are as follows:

1. Management organization

2. Participatory Planning

3. Management of natural resources

4 Economic solidarity

Baca Juga :  Irmawati : Cerita Semalam dan Transformasi Kepemimpinan

5. Advocacy and litigation

6. Monitoring and evaluation in development

7. Techniques of Communication

Stage two of the curriculum expected to creating a new group of women in a village leader who is able to be actively involved in the planning, implementation and monitoring of rural development. This is also part of the follow up of the Congress of Women Poso which encourages grassroots women active in politics economic, social, cultural in their village, as well as part of responding to the presence of the  Law Village.

Not only there, practice with particular skills is facilitated through a special curriculum. Specific discussion topics consist of:

1. Village mapping technique

2. Management of village-owned enterprises,

3. Sosial Analysis.

Stages three of the women school, intends to encourage grassroots women’s groups together with the community in their village to have sovereignty over economic, social, cultural and political. In this third stage will also develop specific programs tailored to the needs and interests of the context of each village, for example: center of information, paralegal program.

The new face of Women School curriculum asserts that grassroots community group of women together to build spaces that allows it to be:  first, to remind stakeholders at village, district to district to return to the interests of justice for the people.  Second, influencing policies at the village level, district to district to match the interests of social welfare. Third, the ability to seize sovereignty over economic, social, cultural and political interests of peace and justice for the people.

Education in the Women School isn’t a formal education. The women school using everyday experience of participants to be able to answer their needs and interests , so that they are not impoverished, marginalized anymore. With that intention, the women could be the role model of peace and justice. Isn’t what education was for?

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda