Memutus Rantai KDRT di Sekolah Perempuan

0
1450

Suara riuh ibu-ibu Sekolah Perempuan Lage disekitarnya sedikitpun tidak menganggu kosentrasi ibu Mina menghayati perannya. Hari itu, suaminya marah besar. Niatnya cuma meminta uang untuk biaya sekolah anaknya yang sudah mau masuk ujian. Bukannya mendapatkannya, kepalanya dipukul dengan sangat keras. Ibu Mina tidak bisa menangis karena hanya akan menambah buruk hati suaminya sehingga hanya menunduk sambil menahan sesak didada. Tanpa disadarinya dia sudah berada di rumah ketua adat bersama dengan suaminya dan mendengar nasehat bahwa dirinya sebagai istri harus memahami kerja keras suaminya dan harus melayani suaminya. Dia memberanikan diri berbicara “saya hanya meminta dana untuk sekolah anak kami” Tapi suaranya tidak didengar.

Mama Enang yang berperan sebagai suami, nampak senyum-senyum puas. Adegan ditutup dengan jabatan tangan antara suami istri, pertanda masalah sudah dianggap selesai.

Sementara itu di ruangan bekas taman kanak-kanan yang menjadi tempat utama sekolah perempuan Bukit Bambu, sebuah adegan tentang seorang suami yang mabuk hingga memukul istri dihadapan anaknya sedang diperankan dengan baik oleh para ibu-ibu. Nasehat dari seorang tokoh agama agar keluarga saling rukun dan damai mengakhiri adegan yang dihayati oleh para pemerannya itu. Pada akhir pementasan, salah seorang ibu pemeran menyelutuk “ Ini susah. Setiap kali bertengkar, dipukul, lalu didoakan, trus damai sementara lalu nanti tunggu satu minggu terulang lagi. Bagaimana ini?” Rupanya masih tidak puas dengan penyelesaian adegan yang sebenarnya dipilih oleh ibu-ibu itu sendiri.

Baca Juga :  Training Perempuan dan Isu Kritis UU Desa

Kekerasan dalam rumah tangga adalah topik utama adegan drama yang dibuat oleh ibu-ibu di sekolah perempuan dalam sesi Adil Gender. Kelas dibagi dalam beberapa kelompok untuk membuat naskah drama dengan topik KDRT berdasarkan pengalaman yang mereka alami atau mereka lihat selama ini. Beragam persoalan terkait KDRT di wilayah Kabupaten Poso yang berusaha dipotret dalam adegan drama ibu-ibu Sekolah Perempuan ini pada akhirnya menggambarkan bahwa proses penyelesaian kasus KDRT masih sangat bias gender. Keputusan adat dan penanganan hukum sering tidak berpihak terhadap korban, dalam hal ini perempuan.

Sekolah Perempuan MOSINTUWU dalam Kurikulum Adil Gender salah satunya membincangkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam dua perspektif, yakni adat dan hukum. Keduanya dikaji berdasarkan pengalaman para ibu-ibu sekolah perempuan dan dikritisi. Di hampir semua kelas di empat wilayah besar Sekolah Perempuan muncul perdebatan mengenai pelaksanaan denda adat dalam kasus KDRT.  Beban bagi perempuan dirasakan lebih berat daripada laki-laki, dikarenakan perempuan berada dalam konsep “memikul adat” sementara laki-laki memberikan adat. Hal ini seringkali dipersulit oleh kenyataan bahwa pengambil keputusan dalam adat adalah laki-laki (yang tidak memiliki perspektif gender). Selain itu terdapat indikasi pemberian denda adat menjadi bagian dari bisnis kecil.

Baca Juga :  Perempuan Desa MenulisWomen's Writing

Kesulitan lain yang juga ditemui adalah kenyataan bahwa penyelesaian kasus KDRT dari pendekatan hukum. Perasaan tidak nyaman sebagai keluarga, tekanan dari pihak keluarga dan kesalahpahaman mengenai proses penanganan hukum yang rumit dan panjang, termasuk kurangnya pelayanan menyebabkan banyak korban memilih untuk menyelesaikannya secara adat meskipun hal itu dirasakan tidak adil.

Memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga adalah ide utama yang kemudian mencoba dikembangkan oleh para anggota sekolah perempuan dalam sesi ini. Kehadiran narasumber  yakni budayawan, tokoh agama, aktivis perempuan dan tim perlindungan perempuan dan anak dari pihak kepolisian memperkaya warga sekolah perempuan untuk kemudian memilih berdiri pada barisan depan upaya memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam refleksi di akhir sesi, beberapa kertas bertuliskan tekad : “menciptakan rumah aman bagi perempuan”;”berjuang bersama perempuan memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga”; “Memutus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, lingkungan kerja, komunitas”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda