Ayo Baca dan Bermain di Rumah Anak

0
1600

Ruangan itu tiba-tiba penuh dan riuh dengan suara dan celoteh anak-anak. Di lantai terhampar buku-buku, pensil, spidol, crayon dan kertas-kertas. Beberapa memilih mencoret-coret sebuah kertas, yang lain membaca. Di beberapa sudut beberapa anak saling bernegosiasi agar buku bacaannya ditukar. Anak-anak yang lebih besar mendekati anak-anak yang lebih kecil untuk membantu memilih buku-buku, dibimbing membaca atau sekedar mengomentari gambar-gambar di buku. Dua orang memilih bermain gitar dan bernyanyi. Seorang anak kecil berteriak-teriak menawarkan diri memukul gendang kecil. Tidak henti-hentinya suara tawa di teras ruangan yang kemudian mereka sebut rumah baca. Buku-buku bacaan yang meskipun sedikit telah mengumpulkan anak-anak dari berbagai wilayah, baik anak-anak eks pengungsi maupun anak-anak warga lokal.Waktu seakan sangat berharga sehingga seringkali mereka seakan berebutan datang lebih cepat agar bisa mendapatkan buku-buku yang ada karena terbatas jumlahnya. Sesekali mereka menyebutnya rumah bermain karena mereka bisa membawa mainan mereka sendiri dari rumah dan berbagi dengan yang lain.

Setiap hari Sabtu, rumah kecil yang sering menjadi kantor Institut MOSINTUWU menjadi rumah bagi anak-anak. Di rumah ini mereka boleh bermain, berkreativitas, mengembangkan talenta, bahkan merencanakan apa saja untuk mereka buat dan kembangkan sendiri. “kak, besok boleh kita menonton film?” “boleh menari?” “boleh bawa teman?dia mau suka membaca tapi bukunya cuma dipinjam sama teman” “boleh bawa mainan?” atau bertanya.

Baca Juga :  Festival KawaninyaTotal Solar Eclipse Festival

AT Mahmud, pencipta lagu  pernah mengatakan“Anak-anak tidak pernah salah. Yang keliru dan justru tidak siap adalah para orang tua karena mereka tidak mampu menyediakan ruang  bagi  anak-anak untuk bermain dan mengekspresikan diri” Ucapan ini merespon pertanyaan terkait banyaknya anak-anak yang terseret dalam pergaulan bebas, termasuk ketika lebih mengetahui lagu-lagu orang dewasa. Dalam konteks pasca konflik, kondisi fisik dan psikologi anak-anak lebih memprihatinkan. Bukan saja karena sejarah konflik kekerasan yang berkepanjangan menimbulkan trauma yang mengerikan, yang sewaktu-waktu muncul dalam bentuk sikap curiga, rasa tidak percaya diri, ketakutan, dan sebagainya. Namun juga karena perhatian pembangunan pasca konflik, terutama di wilayah Kabupaten Poso dan Morowali lebih mengutamakan pembangunan fisik yang tidak mempertimbangkan kondisi sosial warga apalagi memberikan ruang-ruang ekspresi bagi anak-anak. Hal ini diperparah dengan sistem kapitalisme, globalisasi yang menghancurkan tanah-tanah tempat bermain anak-anak, menggantinya dengan bangunan-bangunan super pusat perbelanjaan atau kantor-kantor megah.  Belum lagi teknologi informasi yang menyeret mereka pada perkembangan kepribadian yang individual.

Baca Juga :  Relawan Saling Jaga: Mobil Hampir Masuk Jurang dan Harapan Seorang Nenek Panti Jompo

Rumah bagi anak menjadi bagian dari upaya menterjemahkan ruang-ruang bagi anak pasca konflik.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda